… ada satu bentuk perbuatan syirik lain yang
sangat halus dan tipis sekali batasannya.
Yaitu ‘menuhankan’ hawa nafsu. Perbuatan ini sulit terdeteksi, karena ia tidak kasat mata. Ia berada dan
bersembunyi dalam diri kita. Tempatnya
terkadang ada di hati, dan terkadang bersembunyi dalam pikiran kita. Dia juga
bisa bersembunyi di balik baju ‘kepentingan’, ‘keinginan’ serta ‘nafsu
biologis’
yang melekat pada diri kita.
Perbuatan menyekutukan Allah itu banyak ragamnya.
Diantaranya adalah, percaya pada kekuatan dan kehebatan dari seorang makhluk,
yang notabene adalah ciptaan Allah. Bentuk perbuatannya bisa berupa,
misalnya, percaya pada kesaktian yang dimiliki seorang dukun. Percaya
kalau seorang dukun punya kesaktian saja, sebetulnya sudah termasuk ke dalam
kategori menyekutukan Allah. Apalagi kalau sampai mengikuti dan tunduk pada apa
yang telah diperintahkan sang dukun.
Disebut menyekutukan Allah karena, dalam perbuatan
tersebut ada sebuah pengakuan --- baik secara langsung ataupun tidak langsung
--- yang ditujukan bukan kepada Allah sebagai satu-satunya Zat Yang Memiliki
dan Mempunyai Kekuatan. Padahal, jelas-jelas, semua sumber kehidupan di dunia
ini, yang menciptakan, merawat dan mengaturnya adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
Dalam skala yang lebih luas lagi, percaya pada kehebatan dari sebuah
teknologi yang dibuat manusia, juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan syirik.
Apalagi kalau kepercayaannya terhadap benda itu telah membuat ia menjadi sangat
tergantung. Artinya, jika alat tersebut tidak ada, maka ia merasa jalan
hidupnya menjadi terganggu. Seakan-akan, jalan keluar dari persoalannya, dapat
ia temukan atau ada pada keberadaan benda tersebut.
Begitu juga halnya dengan
mempercayai keangkeran sebuah pohon, benda-benda keramat atau senjata yang
diyakini dapat membuat orang menjadi sakti mandraguna serta percaya pada
keampuhan sebuah azimat. Yakin
kalau menggunakan azimat bisa jadi orang hebat dan ampuh, jelas telah
masuk dalam kategori perbuatan syirik. Sebab, ia mengandalkan azimat,
bukan Allah sebagai sumber kekuatannya.
Selain itu, ada satu bentuk
perbuatan syirik lain yang sangat halus dan tipis sekali batasannya.
Yaitu ‘menuhankan’ hawa nafsu. Perbuatan ini sulit terdeteksi, karena ia tidak
kasat mata. Ia berada dan bersembunyi dalam diri kita. Tempatnya terkadang ada
di hati, dan terkadang bersembunyi dalam pikiran kita. Dia juga bisa
bersembunyi di balik baju ‘kepentingan’, ‘keinginan’ serta ‘nafsu biologis’
yang melekat pada diri kita.
Mempertuhankan hawa nafsu, biasanya
sering dialami orang-orang yang secara materi, hidupnya longgar atau bahkan
berlebihan. Karena adanya kelonggaran dan berlebihan itulah, yang acapkali
membuat ia jadi gampang terhijab untuk memberikan sebuah penilaian
secara objektif.
Akibatnya, ketika tindakan yang
sebetulnya dalam pandangan syari’at agama masuk dalam kategori sebagai
perbuatan dosa, namun karena terhijab,
lalu perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan baik dan pantas untuk
dilakukan. Begitu pula sebaliknya.
Dalam kaitannya dengan mempertuhankan
hawa nafsu itu, salah seorang tokoh sufi ternama asal Balkhi, Afganistan bagian
utara, yaitu Maulana Jalaluddin Muhammad, atau yang lebih dikenal dengan nama
Jalaluddin Rumi mengatakan:
“Pada zaman kenabian dulu, perbuatan syirik yang
dilakukan kaum kafir, sangat jelas sekali. Yaitu menyembah berhala. Sedang,
perbuatan syirik yang dilakukan kaum muslimin bukan menyembah berhala,
melainkan menyembah hawa nafsunya sendiri. Karena itu, berhati-hatilah dengan
bujuk rayu hawa nafsu. Sebab hawa nafsu itu, cenderung membawa pada kerusakan,
kecuali nafsu yang telah diberi rahmat oleh Allah!”
Bagaimana dengan kita? ■