Kamis, 15 Maret 2012

| Menuhankan Nafsu |

… ada satu bentuk perbuatan syirik lain yang sangat halus dan tipis sekali batasannya. 
Yaitu ‘menuhankan’ hawa nafsu. Perbuatan ini sulit terdeteksi, karena ia tidak kasat mata. Ia berada dan bersembunyi dalam diri kita. Tempatnya terkadang ada di hati, dan terkadang bersembunyi dalam pikiran kita. Dia juga bisa bersembunyi di balik baju ‘kepentingan’, ‘keinginan’ serta ‘nafsu biologis’ 
yang melekat pada diri kita.



Perbuatan menyekutukan Allah itu banyak ragamnya. Diantaranya adalah, percaya pada kekuatan dan kehebatan dari seorang makhluk, yang notabene adalah ciptaan Allah. Bentuk perbuatannya bisa berupa, misalnya, percaya pada kesaktian yang dimiliki seorang dukun. Percaya kalau seorang dukun punya kesaktian saja, sebetulnya sudah termasuk ke dalam kategori menyekutukan Allah. Apalagi kalau sampai mengikuti dan tunduk pada apa yang telah diperintahkan sang dukun.
Disebut menyekutukan Allah karena, dalam perbuatan tersebut ada sebuah pengakuan --- baik secara langsung ataupun tidak langsung --- yang ditujukan bukan kepada Allah sebagai satu-satunya Zat Yang Memiliki dan Mempunyai Kekuatan. Padahal, jelas-jelas, semua sumber kehidupan di dunia ini, yang menciptakan, merawat dan mengaturnya adalah Allah ‘Azza wa Jalla.
       Dalam skala yang lebih luas  lagi, percaya pada kehebatan dari sebuah teknologi yang dibuat manusia, juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Apalagi kalau kepercayaannya terhadap benda itu telah membuat ia menjadi sangat tergantung. Artinya, jika alat tersebut tidak ada, maka ia merasa jalan hidupnya menjadi terganggu. Seakan-akan, jalan keluar dari persoalannya, dapat ia temukan atau ada pada keberadaan benda tersebut.
   Begitu juga halnya dengan mempercayai keangkeran sebuah pohon, benda-benda keramat atau senjata yang diyakini dapat membuat orang menjadi sakti mandraguna serta percaya pada keampuhan sebuah  azimat. Yakin kalau menggunakan azimat bisa jadi orang hebat dan ampuh, jelas telah masuk dalam kategori perbuatan syirik. Sebab, ia mengandalkan azimat, bukan Allah sebagai sumber kekuatannya.
    Selain itu, ada satu bentuk perbuatan syirik lain yang sangat halus dan tipis sekali batasannya. Yaitu ‘menuhankan’ hawa nafsu. Perbuatan ini sulit terdeteksi, karena ia tidak kasat mata. Ia berada dan bersembunyi dalam diri kita. Tempatnya terkadang ada di hati, dan terkadang bersembunyi dalam pikiran kita. Dia juga bisa bersembunyi di balik baju ‘kepentingan’, ‘keinginan’ serta ‘nafsu biologis’ yang melekat pada diri kita.
     Mempertuhankan hawa nafsu, biasanya sering dialami orang-orang yang secara materi, hidupnya longgar atau bahkan berlebihan. Karena adanya kelonggaran dan berlebihan itulah, yang acapkali membuat ia jadi gampang terhijab untuk memberikan sebuah penilaian secara objektif.
    Akibatnya, ketika tindakan yang sebetulnya dalam pandangan syari’at agama masuk dalam kategori sebagai perbuatan dosa, namun karena  terhijab, lalu perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan baik dan pantas untuk dilakukan. Begitu pula sebaliknya.
    Dalam kaitannya dengan mempertuhankan hawa nafsu itu, salah seorang tokoh sufi ternama asal Balkhi, Afganistan bagian utara, yaitu Maulana Jalaluddin Muhammad, atau yang lebih dikenal dengan nama Jalaluddin Rumi mengatakan:
“Pada zaman kenabian dulu, perbuatan syirik yang dilakukan kaum kafir, sangat jelas sekali. Yaitu menyembah berhala. Sedang, perbuatan syirik yang dilakukan kaum muslimin bukan menyembah berhala, melainkan menyembah hawa nafsunya sendiri. Karena itu, berhati-hatilah dengan bujuk rayu hawa nafsu. Sebab hawa nafsu itu, cenderung membawa pada kerusakan, kecuali nafsu yang telah diberi rahmat oleh Allah!” 
            Bagaimana dengan kita?

| Musuh Manusia |

Kalau memang kita yakin bahwa Allah jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada seorang dukun, 
maka seharusnya, kita tidak perlu lagi memberi sedikitpun ruangan dalam kerangka berpikir kita untuk mempercayai, meyakini dan mengikuti apa yang telah dikatakan seorang dukun.
            Kalau, misalnya, kita masih tetap memberi ruangan --- meski cuma sedikit --- untuk mengakui 
‘kehebatan’ seorang dukun, maka itu berarti kita telah terjebak ke dalam   
sikap menduakan keyakinan kepada Al-Khaliq.




    Disadari atau tidak, kita acapkali sering ‘dikecoh’ oleh cara berpikir yang kita pakai sendiri. Misalnya, ketika kita melihat dan menyikapi bagaimana praktek perdukunan yang ada di sekitar kita. Kita terkadang, tanpa sadar, seringkali terbawa arus yang berkembang di masyarakat. Yaitu menganggap praktek perdukunan itu memang benar-benar nyata dan ada.
Bahkan tak jarang, kita juga sering mengakui kehebatan seorang dukun, yang sebetulnya hanya ‘mengaku-aku’ punya daya linuwih. Tapi, anehnya, pada kesempatan yang sama, ternyata kita juga yakin kalau Allah itu adalah Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Kuat. Pasalnya, semua yang hidup dan mati di dunia ini, ada dalam genggaman-Nya. Termasuk sang dukun yang kita yakini itu sendiri.
      Sepintas, memang tidak ada yang salah dari pernyataan dan sikap kita itu. Tapi, kalau kita mau mencermatinya lagi, maka dalam pernyataan dan sikap kita itu, ada kerancuan berpikir yang  cukup fatal.
Perhatikanlah, misalnya, bagaimana di satu sisi kita percaya (minimal ‘mengakui’) tentang ‘kehebatan’ seorang dukun. Tapi, pada sisi yang lain, kita yakin kalau Allah lebih hebat daripada seorang dukun. Namun, dalam pratek kesehariannya, kita masih juga mau mendengar advis dari seorang dukun.
    Kalau memang kita yakin bahwa Allah jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada seorang dukun, maka seharusnya, kita tidak perlu lagi memberi sedikitpun ruangan dalam kerangka berpikir kita untuk mempercayai, meyakini dan mengikuti apa yang telah dikatakan seorang dukun.
    Kalau, misalnya, kita masih tetap memberi ruangan --- meski cuma sedikit --- untuk mengakui ‘kehebatan’ seorang dukun, maka itu berarti kita telah terjebak ke dalam  sikap menduakan keyakinan kepada Al-Khaliq.
Memang, secara dzahir, tindakan kita yang telah menduakan Allah itu tidak begitu nampak. Apalagi jika kita masih menganggap, keyakinan pokok kita pada Allah, masih sterill dan utuh. Tapi, siapa yang bisa menjamin, bahwa keyakinan pokok kita itu masih sterill dan utuh? Sementara, kita sadar betul, dalam praktek hidup keseharian kita, masih ada tindakan kita yang memberi ruang ‘pengakuan’ terhadap seorang dukun. Itu artinya, tindakan kita saat itu sudah termasuk ke dalam perbuatan telah menduakan Allah.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena kita masih sering berteman dengan musuh abadi manusia. Apa musuh abadi manusia itu? Yakni, hawa nafsu kita sendiri, yang  notabene selalu ingin ‘membenarkan’ tindakan kita yang sebetulnya salah. Padahal, jauh-jauh hari Allah telah mengingatkan manusia, sebagaimana yang tercantum dalam surat Shaad ayat 38: “ …, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”
    Lalu bagaimana jalan keluarnya? Hapus semua ‘keyakinan’ dan ‘pengakuan’ kita terhadap praktek perdukunan. Kembali ke syari’at agama secara benar. Perangi musuh abadi yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan yang penting, jangan berteman dengan musuh abadi manusia. Yaitu hawa nafsu dan setan. Sebab, hal itu sama saja dengan telah menduakan Allah. Dengan cara seperti itu, insya Allah kita akan selamat.

Rabu, 14 Maret 2012

| Sama Makhluk kok Takut? |

Memang ‘aneh’ betul manusia itu. Kepada Zat yang telah menciptakannya, ia tidak takut. 
Tapi kepada sesama makhluk, ia justeru takut. Lihat saja, misalnya, bagaimana ulah para pelaku korupsi dalam 
menutup-nutupi perbuatannya agar tidak diketahui publik. Gila, memang! Kepada publik dia takut, tapi kepada Allah dia tidak takut kalau perbuatannya itu akan dicatat dan dimintai pertanggungjawabannya kelak di Padang Mahsyar.




 

  Dalam kehidupan kita sehari-hari, banyak sekali ‘keanehan’ sering terjadi di sekitar kita. Misalnya, banyak orang yang terjebak oleh rasa takut yang tidak pada tempatnya. Seperti, takut kepada pimpinan, takut kalau perbuatan buruknya diketahui masyarakat, atau takut kepada benda-benda keramat yang diyakini memiliki khadam. Padahal, mereka itu adalah makhluk ciptaan Allah. Tapi, anehnya, kepada Allah ‘Azza wa Jalla sendiri, mereka tidak pernah merasa takut barang sedikitpun. Bahkan tak jarang, mereka justeru  acapkali ‘meremehkan-Nya’.
    Contohnya adalah, tatkala mereka akan atau telah melakukan sebuah perbuatan dosa --- seperti berbohong, mencuri, korupsi, membunuh, berzina atau ketika meninggalkan kewajiban sebagai seorang hamba --- tak ada sedikitpun rasa takut. Buktinya, perbuatan dosa tersebut, meskipun mereka tahu itu tidak boleh dilakukan, tapi kenyataannya, mereka tetap melanggarnya juga.
    Uniknya, ketika perbuatan dosa itu telah mereka lakukan, tak ada sedikit pun terbersit dalam hati mereka rasa penyesalan, sebagai cermin dari rasa takut kepada Al-Khaliq. Malah sebaliknya, tak jarang, setelah berbuat maksiat kepada Allah, dengan ‘bangganya’ mereka bercerita kepada orang-orang tentang bagaimana bentuk perbuatan yang telah mereka lakukan itu. Seakan-akan, di hari akhirat nanti, apa yang telah mereka perbuat itu tak bakal mendapat hukuman dari Allah.
  Memang ‘aneh’ betul manusia itu. Kepada Zat yang telah menciptakannya, ia tidak takut. Tapi kepada sesama makhluk, ia justeru takut. Lihat saja, misalnya, bagaimana ulah para pelaku korupsi dalam menutup-nutupi perbuatannya agar tidak diketahui publik. Gila, memang! Kepada publik dia takut, tapi kepada Allah dia tidak takut kalau perbuatannya itu akan dicatat dan dimintai pertanggungjawabannya kelak di Padang Mahsyar.
Atau, perhatikan juga bagaimana sikap para pekerja yang rasa takutnya kepada pimpinannya melebihi rasa takutnya kepada Allah. Dia takut akan dimarahi pimpinannya, jika perbuatan buruknya sampai diketahui. Tapi, sekali lagi, kepada Allah yang selalu melihat, memperhatikan dan mencatat semua gerak-geriknya --- termasuk apa yang ada di dalam hatinya, baik yang dia nyatakan atau dia sembunyikan --- dia tidak takut.
Padahal sudah jelas, dalam Al-Qur’an Allah telah memperingatkan mereka dalam surat At-taubah ayat 13: “Mengapa kamu takut kepada mereka, padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti!”
     Karena itu, mulai sekarang, mari kita berbenah diri dengan cara belajar meletakkan rasa takut kita sesuai dengan tempatnya. Jangan karena sebab takut kepada makhluk, lalu mengakibatkan kita jadi terjerembab ke dalam lembah neraka. Allah-lah satu-satunya Zat yang patut kita takuti dan taati!

| Berterima Kasih |

… kalau saja orang yang mendapat hukuman secara langsung itu mau belajar mengupas hikmah di balik ‘hukuman’ yang diberikan Allah ketika dia masih berada di dunia, seharusnya dia malah berterima kasih
kepada Allah. Pasalnya kenapa? Karena itu berarti, Allah masih menyayangi dan mencintainya.



 Manusia, jika hubungannya dengan Allah sedang ‘bermasalah’, biasanya cenderung menganggap Allah sebagai sosok yang kejam, tidak mau peduli dan berlaku tidak adil atas dirinya. Anggapan itu muncul karena, orang yang sedang ‘bermasalah’ itu acapkali memaknai ‘kebijakan’ Allah sebagai satu bentuk hukuman atas kekeliruan yang telah diperbuatnya.
Anggapan itu semakin menjadi-jadi manakala, misalnya, pada saat yang sama, dia tengah menyaksikan ada orang yang juga telah melakukan kesalahan serupa, tapi tidak mendapat hukuman langsung dari Allah. Dia mengira, jika tidak dihukumnya orang yang melakukan kesalahan serupa dengan dia itu, betul-betul karena faktor orang tersebut tidak dihukum, sebagaimana yang sedang dia alami.
Padahal, sebetulnya, kalau saja orang yang mendapat hukuman secara langsung itu mau belajar mengupas hikmah di balik ‘hukuman’ yang diberikan Allah ketika dia masih berada di dunia, seharusnya dia malah berterima kasih kepada Allah. Pasalnya kenapa?
Karena itu berarti, Allah masih menyayangi dan mencintainya. Sebab, sangat boleh jadi, hukuman itu disegerakan di dunia, karena Allah tidak ingin ketika hamba-Nya datang menghadap, menjadi terganjal pertemuannya saat itu oleh persoalan kesalahan yang telah atau pernah dia lakukan  tatkala masih berada di dunia.
Memang, sepintas kesannya Allah nampak kejam, tidak adil dan tidak mau peduli dengan kondisi kita saat itu. Tapi, sesungguhnyalah, di balik hukuman yang kita terima ketika di dunia itu, Allah ‘Azza wa Jalla justeru ingin menyelamatkan kita saat Pengadilan Sejati digelar di tengah padang perjumpaan dengan Allah di hari akhirat nanti.
Adapun terhadap orang yang ‘ditunda’ hukumannya ketika dia masih berada di dunia, bukan berarti bahwa Allah lebih sayang padanya. Melainkan, malah sebaliknya. Allah tidak ingin, ketika hamba-Nya yang acapkali ‘membangkang’ dan tidak mau sujud pada Allah itu, datang menghadap untuk ‘membanggakan’ perbuatannya di Padang Mahsyar.
Bahkan, dalam sebuah kisah disebutkan, ahli maksiat yang belum dihukum Allah di dunia, memang sengaja dibuat seperti itu. Tujuannya, agar semua amal kebaikan yang pernah dia lakukan di dunia, bisa dibayar langsung oleh Allah ketika dia masih berada di dunia. Sehingga, tatkala dia menghadap Allah, dia sudah tidak punya lagi timbangan kebajikan yang harus ‘dilunasi’ Allah.
Sedang terhadap orang yang mendapat hukuman selama dia masih berada di dunia, masih menurut kisah yang sama, justeru karena Allah ingin menghabiskan masa hukuman amal buruknya itu saat dia masih berada di dunia. Sehingga, ketika dia menghadap Allah, dia sudah tidak punya beban dan tanggungan kesalahan lagi. Jadi ketika momentum perjumpaan dengan Allah di Pengadilan Sejati nanti digelar, dia murni menghadap untuk mempersembahkan amal kebajikannya selama berada di dunia.
Jika demikian halnya, mengapa kita masih sering menganggap Allah kejam, tidak sayang, tidak peduli dan tidak mau tahu dengan permasalahan kita ketika di dunia? Bukankah kita seharusnya berterima kasih kepada Allah? Semoga kita termasuk sebagai hamba yang bisa bersyukur atas segala kenikmatan yang telah Allah berikan pada kita. Amien. ■

| Suka Ngedumel |

Memang unik manusia itu. Dumeh rampung belajar ilmu kanuragan sehingga bisa berjalan di atas air, 
dia baru mau bersyukur. Sedang ‘hadiah’ Allah berupa kenikmatan bisa berjalan di atas tanah, tidak mau disyukuri.
Padahal, sangat boleh jadi, kehebatannya bisa berjalan di atas air itu, justeru kelak dapat mendatangkan 
penyakit hati sombong. Sedang mereka tahu bahwa Allah paling tidak suka dengan 
orang yang di dalam hatinya ada penyakit sombong.


   Manusia, pada umumnya, lebih sering ngedumel (keluh-kesah) daripada bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Aneh memang manusia itu. Sudah jelas-jelas sering ditolong Allah, selalu saja merasa tak pernah mendapat pertolongan Allah. Setiap hari diberi rezeki dan berbagai kenikmatan lainnya oleh Allah, selalu saja merasa tak pernah diberi atau merasa tidak cukup.
    Diberi kenikmatan sehat, tak mau bersyukur. Diberi penyakit, yang muncul malah sikap ngedumel  dan nggresulo. Jarang pernah terjadi, ketika diberi Allah kenikmatan berupa penyakit, manusia mau bersyukur. Yang lebih sering terjadi justeru malah sebaliknya. Seakan-akan, selama dia hidup di dunia ini, Allah tidak pernah memberi kebajikan atas dirinya.
    Jatah kenikmatan bisa hidup sehat selama puluhan tahun, hilang seketika, manakala Allah mengubah nikmat sehat itu menjadi sebuah penyakit. Diberi ‘hadiah’ sakit tidak bisa berjalan hanya beberapa hari saja, langsung membuat dia menjadi kehilangan rasa terima kasihnya kepada Allah yang telah memberi kesehatan bisa berjalan sebelum dia sakit.
    Padahal, sangat boleh jadi, kenikmatan Allah dalam bentuk tidak bisa jalan itu, sebenarnya justeru untuk menolong dirinya agar ingat pada sekian banyak kenikmatan yang pernah diterimanya dari Allah. Bukan malah sebaliknya, memaknai ‘hadiah’ itu sebagai hukuman dari Allah atas dirinya.
     Memang unik manusia itu. Dumeh rampung belajar ilmu kanuragan sehingga bisa berjalan di atas air, dia baru mau bersyukur. Sedang ‘hadiah’ Allah berupa kenikmatan bisa berjalan di atas tanah, tidak mau disyukuri. Padahal, sangat boleh jadi, kehebatannya bisa berjalan di atas air itu, justeru kelak dapat mendatangkan penyakit hati sombong. Sedang mereka tahu bahwa Allah paling tidak suka dengan orang yang di dalam hatinya ada penyakit sombong.
        Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak faktor penyebabnya. Diantaranya, yang paling pokok adalah, karena kurangnya rasa syukur kepada Allah. Akibat kurang syukur itu, kenikmatan yang sebenarnya lebih dari cukup, dianggap tidak ada sama sekali. Sehingga, seandainya kenikmatan tersebut kalau didzahirkan besarnya laksana gunung merapi, di matanya hanya bernilai kecil. Karena kurang syukur itulah, akhirnya ada hijab yang menutup penglihatan mata dzahir dan mata batinnya. Yang besar dianggap kecil. Yang kecil dianggap tidak ada sama sekali. Na’udzubillahi mindzaaliik!
     Bagaimana jalan keluarnya? Kata Allah, bangun syukur! Atinya, seberapapun pemberian Allah pada kita, harus disyukuri. Dengan begitu, kata Allah, kelak Dia akan menambah dan melipatkan kesyukuran kita itu dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah atau pernah kita terima sebelumnya.
       Selain mendapat tambahan kenikmatan dari Allah, dengan bangun kesyukuran itu, kita juga nanti akan mendapat ‘hadiah’ dari Allah dalam bentuk memperoleh ketenangan dan kesabaran. Dua hal yang disebut belakangan ini, sebetulnya merupakan kunci keselamatan iman-islam kita dalam menghadapi setiap masalah yang muncul.
Sehingga, apapun jenis masalah yang bakal kita hadapi, jika kita sering bangun kesyukuran kepada Allah, maka kelak Allah jugalah yang akan memback-up kita dalam menghadapi masalah itu. Tidak maukah Anda diback-up oleh Allah? ■

Selasa, 13 Maret 2012

| Berprasangka Baik |

… syarat untuk dikabulkannya sebuah do’a, tidaklah mudah. Menurut sejumlah ulama salaf, 
agar do’a kita segera diijabah Allah, maka dibutuhkan adanya kebersihan jasmani 
maupun rohani pada diri kita. Artinya, kalau jasmani kita sudah bersih dari hadast kecil maupun besar, 
dan rohani kita juga bersih dari segala jenis penyakit hati, maka do’a yang kita ajukan, 
insya Allah akan diijabah Allah.



            Suatu ketika, ada orang yang sambat dengan saya. Sebut saja namanya Fulan. Dia muring-muring pada Allah. Pasalnya, dia merasa Allah telah bersikap tidak adil pada dirinya. Padahal, menurut pengakuannya, hampir semua yang dilarang Allah sudah dia tinggalkan. Dan apa yang diperintahkan Allah, telah dia kerjakan. Tapi, Allah kok tetap tidak mau mengabulkan permohonan yang dia ajukan.
“Pagi, siang, malam hingga ketemu pagi lagi, saya berdo’a terus minta agar Allah memberikan kekayaan pada diri saya. Tapi tak pernah dikabulkan. Sementara, tetangga sebelah rumah saya, tidak pernah salat, tidak pernah ngaji, suka buat onar di kampung dan sering minum-minuman keras, hidupnya justeru dibikin Allah kaya-raya dan serba berkecukupan. Kalau begini caranya, buat apa saya berdo’a, kalau kemudian ternyata Allah tidak mau mengabulkan permohonan saya,” kata si Fulan.
            Apa yang dialami Fulan, sangat boleh jadi, juga pernah dialami oleh kebanyakan di antara kita. Seakan-akan, jika kita telah mengikuti semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah, otomatis apa yang kita butuhkan, langsung akan dikabulkan Allah saat itu juga.
       Padahal, syarat untuk dikabulkannya sebuah do’a, tidaklah mudah. Menurut sejumlah ulama salaf, agar do’a kita segera diijabah Allah, maka dibutuhkan adanya kebersihan jasmani maupun rohani pada diri kita. Artinya, kalau jasmani kita sudah bersih dari hadast kecil maupun besar, dan rohani kita juga bersih dari segala jenis penyakit hati, maka do’a yang kita ajukan, insya Allah akan diijabah Allah.
      Persoalannya sekarang ialah, bisakah kita menjamin bahwa secara jasmani, tubuh kita telah benar-benar bersih dari pengaruh hadast besar maupun kecil? Pertanyaan berikutnya, bisakah kita menjamin bahwa secara rohani, diri kita telah benar-benar terbebas dari pengaruh penyakit hati?
     Jika memang jasmani dan rohani kita telah benar-benar sterill dari pengaruh hadast besar, hadast kecil dan segala jenis penyakit hati, lalu mengapa do’a yang kita ajukan itu, belum juga dikabulkan Allah? Ada apa pada diri kita, sehingga Allah belum berkenan untuk mengabulkan permohonan yang kita ajukan? Pertanyaan inilah, yang semestinya kita renungkan secara lebih mendalam.
    Sebab, kalau pertanyaan tersebut telah kita temukan jawabannya dengan benar, maka insya Allah kita nanti akan selamat dari penyakit hati yang lebih parah lagi. Yaitu, berprasangka buruk kepada Allah, karena belum dikabulkannya do’a kita.
    Yang perlu kita ingat baik-baik adalah, Allah selalu mengabulkan setiap do’a yang diajukan hamba-Nya. “Aku (Allah) mengabulkan permohonan orang yang mendo’akan apabila ia berdo’a kepada-Ku …” (Qs. Al-Baqarah ayat 186). Dalam surat Al-Mu’min ayat 60, dengan tegas Allah berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu.
Jadi, kalau pun Allah belum berkenan untuk mengabulkannya ketika kita masih di dunia ini, maka hal itu bukan karena Allah ingkar janji. Tapi, mutlak karena Dia berkehendak untuk menyelamatkan kita dari jurang kerusakan yang lebih parah lagi.
Sebab, Allah lebih tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk kita terima ketika masih berada di dunia ini. Maka itu, yakinlah, Allah selalu baik pada kita. Hanya kita saja yang tak pernah mau belajar untuk bersabar dan berprasangka baik kepada-Nya.

| Cinta Allah |

… tidak mudah untuk melakukan ‘perniagaan’ cinta dengan Allah. Sebab, untuk melakukan ‘perniagaan’ cinta dengan Allah, dibutuhkan adanya kebersihan hati dan keyakinan yang kuat terhadap Allah itu sendiri.  
Tanpa dua hal tersebut, sulit bagi seorang hamba untuk
bisa melakukan ‘perniagaan’ dengan Allah.



     Pada dasarnya, aktivitas hidup kita selama di muka bumi ini, mirip seperti kisah panjang dari sebuah perjalanan ‘transaksi’ antara seorang hamba dengan Allah. Adapun yang ‘diperniagakan’ itu adalah bentuk-bentuk perbuatan kita, baik kepada sesama makhluk maupun kepada Allah sendiri. Sejauhmana ‘perniagaan’ yang kita lakukan itu nanti akan membawa manfaat atau tidaknya pada diri kita, sangat bergantung pada sejauhmana  kita memaknai proses ‘transaksi’ itu sendiri.
    Jika tujuan dari ‘perniagaan’ yang kita lakukan itu adalah untuk mencari dan mendapat keuntungan duniawi semata, maka Allah nanti akan memberikan keuntungan itu dalam bentuk kenikmatan yang kita butuhkan di dunia ini. Tidak akan berkurang sedikitpun.
   Allah sendiri telah berfirman dalam surat Hud  ayat 15: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan (baca: perniagaan) mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Sedang, jika ‘perniagaan’ itu kita lakukan untuk mendapat dan meraih cinta-Nya, maka kelak Allah akan memberi semua keuntungan dari ‘perniagaan’ kita itu. Tidak saja selama kita masih berada di dunia, tapi juga akan Dia berikan tatkala kita berada di hari akhirat nanti.
Dalam surat At-Taubah ayat 111, Allah menyatakan: “Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka.”
Memang, tidak mudah untuk melakukan ‘perniagaan’ cinta dengan Allah. Sebab, untuk melakukan ‘perniagaan’ cinta dengan Allah, dibutuhkan adanya kebersihan hati dan keyakinan yang kuat terhadap Allah itu sendiri. Tanpa dua hal tersebut, sulit bagi seorang hamba untuk bisa melakukan ‘perniagaan’ dengan Allah.
    Konsekuensi dari persyaratan itu adalah, kita dituntut untuk senantiasa mengobarkan api cinta yang ada dalam diri kita sendiri. Api cinta itulah yang nanti akan ‘menukar’ semua kenikmatan dan kesenangan duniawi dengan kesenangan akhirat. Jika sudah seperti itu, maka hari-hari yang akan kita lalui pun, biasanya akan selalu diwarnai oleh linangan air mata.
Pasalnya, jalan cinta menuju Allah itu penuh dengan ujian, bukan jalan pujian. Kegagalan kita dalam menghadapi ujian itulah, yang kemudian akan membuat kita selalu berlinang air mata. Apalagi kalau kita salah dalam memaknai ujian tersebut.
Coba saja kita perhatikan bagaimana perjalanan cinta yang ditempuh Rasulullah SAW. ‘Perniagaan’ cinta yang beliau lakukan kepada Allah, tidak saja telah ‘mengurangi’ perhatiannya kepada dunia, tetapi juga telah mendistorsikan perhatian beliau pada diri dan keluarganya sendiri. Sehingga, apapun yang dilakukan Rasulullah, disitu pasti ada Allah. ■