Rabu, 29 Februari 2012

| Membeli Nikmat Dengan Syukur? |

         Seorang kawan datang menemui saya dan mengeluarkan setumpuk keluhan. Tampaknya, ia sedang pusing dengan masalah kesulitan ekonomi yang tengah melanda keluarganya. Ia berkisah, bahwa ia sudah mendatangi beberapa ustad dan orang-orang yang ia pandang cukup mumpuni dalam soal agama. Tujuannya tiada lain adalah, untuk minta didoakan agar ia  bisa terlepas dari himpitan kesulitan keuangan yang dideritanya. Beberapa di antara mereka ada yang memberi amalan-amalan tertentu dan sebagian lagi menyuruhnya bersedekah. Namun, ada satu hal yang agaknya telah membuat ia menjadi gusar. Semua orang yang ia datangi itu memiliki pesan yang sama. Yakni, ia disuruh bersabar.
            ”Saya disuruh bersabar. Padahal, aslinya, sabar itu sudah menjadi makanan saya setiap hari,” ujarnya masih dengan nada gusar. Kemudian saya memintanya untuk membuka Al-Qur`an surat Ibrahim ayat 7. Dalam ayat tersebut disebutkan, bahwa Allah telah membuat sebuah maklumat. Yakni, barang siapa mau bersyukur, maka akan ditambahkan nikmat baginya. Ia tercenung sejenak ketika membaca ayat tersebut. Detik berikutnya ia bergumam sendiri, “Kalau begitu, berarti saya harus memperbanyak syukur ya, agar semakin banyak nikmat yang diberikan Allah untuk saya?”
            Agaknya, resep itu baru saja ia ketahui. Namun, sejatinya, resep itu sudah kerapkali dipakai banyak orang dan tak jarang pula resep itu terlontar dari mulut siapa saja yang tengah kita ajak bicara, meski pengetahuannya tentang agama terbilang sedikit. Sebab, itu adalah resep yang lagi ngetrend didengung-dengungkan oleh banyak orang. Terutama di masa-masa serba sulit seperti sekarang ini.
            Sekilas, memang tidak ada yang keliru dari resep tersebut. Apalagi hal itu jelas-jelas disebutkan di dalam firman Allah. Akan tetapi, dalam aplikasinya, banyak orang jadi sedikit terprovokasi oleh hawa nafsunya sendiri. Dikatakan demikian karena, sebetulnya, hawa nafsulah yang memiliki banyak keinginan. Dan itu berarti, kita mengharapkan nikmat Allah yang lebih banyak lagi. Pada gilirannya, kita jadi menganggap bahwa kesyukuran sebagai alat untuk membeli nikmat Allah. Kira-kira seperti itulah pemahaman yang diyakini oleh kawan saya tadi. Ia memandang, jika ia memperbanyak kesyukurannya, maka akan semakin banyak pula nikmat Allah yang akan ia peroleh. Alhasil, bukan kesyukuran yang menjadi fokus utamanya, tetapi nikmat Allah yang dijanjikan itulah yang sangat ia harapkan, sehingga ia baru mau bersyukur. Sementara kata nikmat itu sendiri ia artikan sebagai kesenangan duniawi, atau lebih spesifik lagi, kesenangan dalam hal ekonominya.
Tujuan Bersyukur
            Dampak dari pemahaman seperti itu adalah, orang bisa jadi akan emoh (tidak mau) bersyukur tatkala ia melihat nikmat yang diinginkan oleh hawa nafsunya itu belum juga kunjung datang. Lalu ia akan menganggap bahwa resep dari ayat Al-Qur’an itu tidak mujarab. Sekarang, mari kita coba meluruskan tentang tujuan kita bersyukur. Apakah tujuan kita bersyukur itu agar kita bisa memperoleh nikmat yang lebih banyak, ataukah kita bersyukur itu karena kita merasa bahwa kita telah memperoleh nikmat Allah yang begitu banyak?
            Apabila kita bersyukur dengan tujuan agar memperoleh nikmat Allah yang lebih banyak lagi, maka itu berarti kita belum memahami arti sebuah kesyukuran. Di samping itu, juga berarti bahwa kita belum melihat kebesaran nikmat Tuhan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya saja, kelahiran kita ke bumi ini dari yang tadinya tidak ada, merupakan suatu karunia nikmat Tuhan yang tak ternilai. Belum lagi karunia lainnya, seperti udara yang kita hirup, penglihatan, pendengaran dan anggota tubuh lainnya serta hati yang kita miliki. Kemudian segala makanan dan minuman yang pernah masuk ke dalam tubuh kita ini, pun belum kita hitung sebagai nikmat Tuhan. Demikian pula dengan lisan kita yang diberi kemampuan untuk memujiNya, belum kita hitung sebagai nikmatNya. Termasuk keimanan yang dimasukkan ke dalam hati kita masing-masing, belum juga kita hitung sebagai nikmat dariNya.
            Jika demikian, di manakah gerangan dalam ruang kehidupan kita ini yang di situ tidak ada nikmat Tuhan? Apabila seseorang menghajatkan seluruh hidupnya hanya diisi dengan beribadah untuk bersyukur kepadaNya atas semua nikmat itu, maka tentu saja hal itu tak akan cukup. Lalu bagaimana mungkin kita ingin ’membeli’ nikmat yang lebih banyak lagi dengan kesyukuran kita, padahal untuk membayar nikmat yang telah kita peroleh saja, belum cukup dengan beribadah sepanjang umur kita? Oleh karena itu, mulai sekarang, mari kita belajar mengubah niat kita dalam bersyukur. Jangan sampai niat kita bersyukur itu adalah untuk memperoleh tambahan nikmat yang lebih banyak. Akan tetapi, bersyukurlah atas segala nikmat yang telah kita peroleh, tanpa memikirkan hadiah tambahan nikmat yang akan diberikan Allah atas diri kita.
Lima Kategori Orang Bersyukur
            Apabila kita menilik berbagai macam latar belakang orang yang bersyukur itu, maka ada lima jenis orang yang bersyukur. Pertama, orang yang bersyukur ketika memperoleh sesuatu yang membuatnya menjadi senang atau gembira. Misalnya, senang ketika mendapat hadiah atau sewaktu menerima amplop gajian. Bersyukur pada saat yang menyenangkan hati seperti itu, sudah barang tentu suatu hal yang lumrah. Artinya, kita sadar betul bahwa kesenangan atau kegembiraan itu karena kasih sayang dan nikmat Allah. Apabila ada orang yang sampai lupa bersyukur ketika senang, maka ia termasuk orang yang lupa diri atau lupa pada Zat yang telah memberinya kesenangan itu.
            Kedua, orang yang bersyukur ketika ingat masa lalu. Misalnya, seseorang bersyukur karena kini ia sudah memiliki rumah, kendaraan pribadi, bisa mencicipi makanan  lezat, serta hidup serba terpenuhi. Sebab, ia teringat masa lalunya, di mana ia waktu itu belum memiliki rumah sendiri, hidupnya serba kekurangan dan sarat dengan kesusahan. Hal ini pun lumrah. Sudah sepatutnyalah seseorang bersyukur atas keberhasilan yang sudah ia peroleh. Apalagi mengingat adanya perubahan yang signifikan di dalam hidupnya, dari yang tadinya serba kekurangan menjadi serba kecukupan.
            Ketiga, orang yang selalu mencari celah agar dapat bersyukur. Artinya, seseorang bersyukur bukan semata-mata karena sesuatu kesenangan yang ia peroleh, namun dalam kesusahan pun, ia tetap berjuang mencari celah agar bisa bersyukur. Misalnya, seseorang yang kehilangan uang, sudah barang tentu ia  akan merasa sedih. Ia akan kecewa, karena keperluan yang semestinya dapat terpenuhi dengan adanya uang itu, justru jadi tertunda karena uangnya hilang. Namun, ia masih bersyukur, sebab hanya uangnya saja yang hilang, sedangkan barang-barangnya yang lain masih utuh alias tidak hilang.
            Keempat, orang yang selalu bersyukur di segala keadaan. Orang seperti ini tidak mengenal kondisi. Meskipun ia tertimpa suatu musibah, ia tetap bersyukur. Ia bersyukur bukan karena ia melihat masih banyak nikmat Allah lainnya yang telah ia terima. Sebab, kesyukuran untuk hal semacam itu merupakan suatu bentuk kesyukuran yang lainnya lagi. Ia bersyukur atas musibah yang menimpanya  itu, karena ia merasa yakin bahwa tidaklah Allah menimpakan musibah kepadaNya, melainkan pasti karena itulah yang terbaik bagi diriNya saat itu. Di sinilah letak pentingnya menanamkan prasangka baik kepada Allah. Sehingga, di balik sebuah musibah sekalipun, kita tetap bisa melihat kebaikan Allah atas diri kita. Untuk itulah, maka datangnya musibah itu, tetap perlu untuk disyukuri. Mereka yang bisa melakukan kesyukuran semacam ini, adalah orang-orang yang diberi kemampuan olehNya untuk melihat hikmah di balik kejadian.    
            Kelima, orang yang bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain. Bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita adalah hal yang sudah sepatutnya dilakukan. Namun, bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain – sementara kita sendiri tampaknya tidak memperoleh nikmat yang sama bentuknya seperti orang lain itu – merupakan suatu hal yang memerlukan kelapangan hati. Apalagi jika orang yang memperoleh nikmat Allah itu adalah orang yang membenci diri kita atau pernah berlaku kurang baik kepada kita.
Sudah barang tentu, akan sulit jadinya jika kita mensyukuri atas nikmat yang ia peroleh, padahal ia adalah orang yang memusuhi kita. Oleh karena itu, hanya sedikit orang yang bisa melakukannya. Yaitu orang yang di dalam hatinya dilimpahi oleh Allah rasa kasih sayang yang besar terhadap sesama. Sehingga, ketika ia melihat seseorang memperoleh nikmatNya, ia tidak melihat pada aspek siapa yang telah memperoleh nikmat itu. Melainkan ia melihat adanya kasih sayang Allah kepada makhlukNya. Sedang, setiap kita melihat adanya kasih sayang Allah, maka sudah sepatutnyalah kita syukuri.
Kelima macam orang yang bersyukur tadi, bukanlah berdiri sendiri dan bersifat baku. Boleh jadi, seseorang memiliki seluruh karakteristik di atas, atau hanya beberapa point saja. Namun, dari kelima point tersebut di atas, barangkali Anda dapat melihat point mana saja yang patut dimiliki dan point mana saja yang sebaiknya dimiliki. Semuanya kembali kepada perjuangan kita masing-masing dalam menempatkan kesyukuran sebagai sebuah jalan untuk beribadah kepadaNya.
Empat Macam Cara Bersyukur
Adapun jika dilihat dari cara  yang ditempuh oleh seseorang dalam bersyukur, dapat kita kelompokkan menjadi empat macam. Pertama, bersyukur dengan mengucapkan hamdalah. Kata alhamdulillah merupakan kalimat pujian kepada Allah. Kalimat ini umum dipakai untuk menunjukkan rasa kesyukuran seorang hamba kepada Allah. Bersyukur seperti ini, biasa disebut dengan bersyukur secara lisan. Kedua, bersyukur dengan melakukan ibadah sunnah. Cara ini pun biasanya dipakai oleh mereka yang ingin melengkapi rasa syukurnya. Menurut pahamnya, dengan melakukan ibadah sunnah, seperti shalat malam atau puasa sunnah, maka rasa syukurnya akan diterima oleh Allah.
Ketiga, bersyukur dengan cara bersedekah atau berderma. Cara ini tak jarang kita temui pada mereka yang merasa senang dengan keberhasilannya. Sehingga, ia rela mengeluarkan sedekah atau berderma sebagai tanda kesyukurannya. Ketiga cara tersebut tidak ada yang keliru. Semuanya, sudah barang tentu, sah-sah saja dilakukan oleh seorang hamba untuk menunjukkan rasa kesyukurannya. Namun, di samping ketiga cara tersebut, ada cara keempat yang juga sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba Allah. Yakni, bersyukur dengan cara belajar memfungsikan secara baik semua nikmat Allah yang telah ia terima.
Misalnya, Allah telah menganugerahkan mata kepada kita, maka fungsikanlah mata itu dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh kebaikan. Setiap mata kita melihat sesuatu, maka sudah sepatutnya jika apa yang kita lihat itu diolah sedemikian rupa oleh hati, dalam rangka untuk mengingat dan bersyukur kepada Allah. Demikian pula dengan pendengaran, berikut anggota-anggota tubuh lainnya seperti tangan, kaki dan lain-lain. Kesemuanya difungsikan untuk kebaikan dan mengingat Allah serta bersyukur kepadaNya. Termasuk juga hati kita ini. Sudah sepatutnyalah kita fungsikan dengan baik agar kita bisa selalu ingat dan bersyukur kepadaNya.
Kesyukuran dengan cara seperti itu, akan membawa diri kita pada suatu proses pembenahan diri yang berlangsung secara terus-menerus. Hal inilah yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 12. Dalam ayat itu disebutkan, “Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri.” Alhasil, tak ada yang diuntungkan dari kesyukuran kita itu melainkan diri kita sendiri. Bersyukur dengan cara memfungsikan seluruh anggota tubuh kita ini agar berbuat untuk kebajikan, serta membuat kita dapat selalu ingat dan bersyukur kepadaNya, pada dasarnya, hasilnya akan kembali kepada diri kita sendiri juga. Kita sendirilah yang akan merasakan dampak dari kesyukuran kita itu.
      Dikatakan demikian, karena dengan berfungsinya seluruh anggota tubuh secara benar – dalam pengertian menuju ke arah terwujudnya insan kaamil –, maka kita akan semakin dekat kepadaNya. Demikian itulah yang disebut sebagai nikmat yang bertambah. Sebab, sejatinya, kita dapat memfungsikan anggota tubuh secara benar itu, tak lain dikarenakan adanya kemurahan dan pertolongan rahmat Allah atas diri kita pula.***

| Menuruti Akal, Melemahnya Iman |

      Seorang yang sangat rasional sekalipun, tidak akan mampu membuktikan secara ilmiah bahwa makhluk gaib itu ada,” ujar seorang kawan ketika ia menyaksikan sebuah film bertema horor yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Memang demikianlah adanya. Akal manusia itu  memang bukanlah alat yang bisa digunakan untuk membuktikan segala kebenaran. Sebab, sebagai ciptaan, sudah barang tentu, manusia pasti memiliki keterbatasan. Termasuk keterbatasan akalnya.
    Karena keterbatasan akal pikiran manusia itulah, maka tidak semua kebenaran dapat dan harus dibuktikan dengan akal. Misalnya, kebenaran tentang adanya makhluk gaib yang telah diciptakan oleh Allah, hanya dapat kita ketahui melalui Al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Oleh karena kita meyakini kebenaran Al-Qur’an dan hadis, maka kita meyakini akan adanya makhluk gaib yang telah diciptakan lebih dulu daripada bangsa manusia. Dari sinilah, kemudian kita dapat meyakini beberapa kisah yang ada dan berkembang di seputar makhluk gaib. Apabila ilmu agama yang kita miliki di dalam menyikapi persoalan dunia gaib itu kurang memadai, maka sangat boleh jadi, keyakinan kita pun bisa saja jadi tergelincir dan akhirnya membawa kita ke dalam kesesatan.
    Sebagian orang yang meyakini keberadaan makhluk gaib itu, terutama di dunia barat sana, ada yang berupaya memberikan bukti ilmiah tentang keberadaan makhluk gaib. Yakni dengan membuat alat yang bisa mendeteksi aura negatif yang ada di suatu ruangan. Barangkali seperti alat detektor logam.  Hanya saja, alat tersebut bekerja untuk mendeteksi kelembaban ruangan di suatu tempat. Jika suhunya di bawah ukuran kelembaban tertentu, maka di situ dianggap ada makhluk gaibnya. Sebab, makhluk gaib itu diyakini senang berada di tempat yang lembab.
Akan tetapi, sekali lagi, hal ini dilakukan karena terlebih dahulu mereka sudah meyakini, bahwa makhluk gaib itu memang ada. Juga, mereka sudah meyakini lebih dulu, bahwa makhluk gaib itu ada dan suka berdomisili di tempat-tempat yang lembab. Padahal, secara ilmiah, kita juga tak bisa membuktikan bahwa makhluk gaib itu suka di tempat-tempat yang lembab. Kecuali, makhluk gaib di situ dimaknai sebagai bakteri atau kuman penyakit, yang senang berada di tempat yang lembab dan tidak kasat mata.
Menguatkan Keyakinan
          Sampai di sini, kita dapat mengambil benang merah, bahwasanya, ada saatnya di mana akal hadir hanya untuk menguatkan keyakinan yang sudah ada. Alhasil, penggunaan akal dalam hal ini adalah sebagai alat untuk menambah atau menguatkan keyakinan. Kebenaran yang diperoleh melalui akal manusia, adalah salah satu alat untuk memperkuat pondasi keyakinan yang telah kita miliki. Apabila seseorang menggunakan akal untuk mengutak-atik keyakinannya, maka yang muncul adalah keragu-raguan. Sebab, yang namanya keyakinan itu, tidak harus sejalan dengan akal.
        Misalnya, Anda sudah yakin bahwasanya Allah telah mengharamkan daging babi. Kemudian, keyakinan ini Anda utak-atik lagi dengan mencari penyebab, mengapa daging babi itu diharamkan. Akal pun akan bekerja mencari alasan. Alhasil, ditemukanlah alasannya. Misalnya, karena ternyata, secara ilmiah, di dalam daging babi itu ditemukan mengandung telur cacing pita yang merugikan kesehatan manusia. Jika akal hanya berhenti sampai di sini, keyakinan Anda barangkali belum tergoyahkan.
Akan tetapi, yang namanya akal itu, wataknya tidak bisa berhenti untuk mencari. Ia akan terus-menerus memunculkan pertanyaan dan mencari jawabannya, hingga pertanyaan yang dimunculkannya tidak bisa ia jawab lagi, barulah ia akan berhenti. Bahkan sudah buntu sekalipun, jika tidak diambil alih oleh keyakinan itu sendiri, maka akal masih akan terus bertanya dan mencari jawabannya.
         Dalam contoh daging babi tadi, setelah menemukan alasan yang berkaitan dengan cacing pita dalam daging babi, maka akal akan mencari jawaban perihal bagaimana caranya untuk menghilangkan atau mematikan cacing pita di dalam daging babi. Apabila hal ini berhasil dilakukan, maka akal bisa berkata, ”berarti daging babi halal, jika cacing pitanya sudah tidak ada.” Dalam kawasan inilah, akal yang telah diperturutkan terus-menerus tanpa kendali keyakinan tadi, pada akhirnya bisa membuat keyakinan itu sendiri menjadi lemah.
         Barangkali, Anda masih ingat tentang kisah bagaimana Nabi Ibrahim as mencari Tuhan? Dalam kisah itu dikatakan, bahwa beliau mencari Tuhan dengan menggunakan akalnya. Beliau mengira benda-benda di langit adalah Tuhan. Setiap dugaan akalnya muncul, dimentahkan lagi oleh akalnya sendiri setelah memikirkan tentang kelemahan pada bintang, bulan dan matahari. Pada akhirnya apa yang terjadi? Allah SWT menuntunnya untuk kembali pada keyakinan. Yakni, beliau bersujud memohon kepada Tuhan Yang Sebenarnya agar diberi petunjuk. Pada tataran ini, akal berfungsi sebagai pemberi bukti untuk masuknya keyakinan.
Fungsi Akal
       Kadang-kadang, akal dan keyakinan atau keimanan itu seringkali kelihatan seperti berseberangan. Misalnya, kasus orang yang bersedia untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Atau, contoh lainya, seseorang yang merelakan dirinya dipaku di tiang salib. Semua itu mereka lakukan demi memenuhi apa yang telah menjadi keyakinannya. Jika kita menggunakan akal untuk mencerna tindakan mereka, maka sangat boleh jadi akal kita tidak akan mampu untuk memahaminya.
Bagaimana mungkin seseorang rela melukai dirinya sendiri atau bahkan menghilangkan nyawanya begitu saja? Bahkan, akal seorang profesor sekali pun, tidak akan bisa memahami tindakan mereka. Namun, jika kita memasuki ke dalam wacana keyakinan mereka, maka kita akan bisa mencerna alasan apa yang membuat mereka bersedia melakukan hal itu. Dalam hal ini, keyakinan itu telah berada di luar batas cerna sang akal.
Apabila dicontohkan pada kisah Nabi Ibrahim as tadi, maka akal itu berfungsi untuk memberikan bukti kepada beliau. Yaitu, bahwa Tuhan itu memang betul-betul ada. Namun, ketika kita masuk dalam kawasan tentang siapakah Tuhan itu, di manakah Dia, bagaimana wujudNya, maka semua itu diambil alih oleh keyakinan. Manusia tidak lagi menggunakan akal. Sebab, jika akal yang digunakannya, maka boleh jadi akan menggoyahkan keyakinan dan tidak mustahil akan menghilangkan keyakinan itu sendiri.
            Hal inilah yang barangkali membuat sebagian orang di dunia ini ada yang tidak begitu yakin tentang keberadaan Tuhan. Sebab, akal masih menguasai diri mereka dan tak ada celah bagi masuknya keyakinan atau keimanan tentang adanya Tuhan. Dalam hal ini, akal itu sendirilah yang pada gilirannya akan berubah menjadi ’tuhan’. 
Menuntun Keyakinan
      Salah seorang kawan pernah berkata, ”Akal itu penting, sebab Allah mengutamakan orang-orang yang berakal.” Tidak ada yang keliru dengan pandangan ini. Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah beberapa kali menyindir orang-orang yang tidak mau beriman kepadaNya dengan perkataan ”Apakah kamu tidak berakal/berpikir?” Sindiran Allah itu menunjukkan bahwa akal yang dianugerahkan Allah itu harus dipakai, agar bisa menjadi yakin.
Orang bisa menjadi yakin itu, jika ada bukti. Bukti itu, atas petunjuk dariNya, dapat dicari sendiri oleh akal. Sebagaimana halnya dalam kisah Nabi Ibrahim as ketika mencari Tuhan. Akal beliau membaca tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Melihat keteraturan alam, memberikan bukti kepadanya bahwa semua itu pastilah karena ada Zat yang menciptakannya.
      Di samping itu, bukti tersebut juga bisa diberikan langsung oleh Tuhan melalui RasulNya. Hal itulah yang kita kenal dengan istilah mu’jizat-mu’jizat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Terkadang, ada pula orang yang mengalami kejadian luar biasa, kemudian menjadi bukti baginya untuk menambah keyakinannya kepada Tuhan.
Kesemua bukti itu, baik yang dicari oleh akal maupun yang diberikan langsung oleh Allah, pada gilirannya, memang perlu diolah oleh akal itu sendiri untuk menuntun keyakinan agar bisa sampai pada kesejatianNya. Namun, ada batas-batas tertentu di mana akal harus berhenti memainkan perannya dan diambil alih oleh keyakinan. Orang yang berilmulah yang dapat mengetahui batas-batas itu. Sebab, ilmu itu meliputi apa yang dimiliki akal dan apa yang dimiliki hati.
     Dengan kata lain, pada dasarnya, akal itu dapat digunakan selama berfungsi untuk menambah keyakinan atau menjadi jalan bagi masuknya keyakinan. Sedangkan ilmu, digunakan untuk meningkatkan kualitas keimanan. Apabila kita tidak memiliki ilmu, maka keyakinan kita bisa menjadi rusak atau tersesat.
Sedang jika kita hanya memperturutkan akal, maka keyakinan atau keimanan kita bisa luntur atau melemah. Sebaliknya, orang yang tidak menggunakan akalnya sama sekali, maka ia pun gampang terseret ke dalam keyakinan yang fanatik. Biasanya, keyakinan semacam itu kurang mempedulikan keyakinan orang lain. Akibatnya, penghormatan terhadap sesama makhluk pun jadi terabaikan.
      Alhasil, orang yang tidak menggunakan akalnya, maka sulit baginya untuk bisa memperoleh ilmu yang bermanfaat. Sedangkan orang yang berilmu, maka sudah barang tentu, ia tergolong orang yang memfungsikan akalnya. Oleh karena itu, sebaik-baik orang beriman adalah, mereka yang memiliki akal yang terkendali dan ilmu yang bermanfaat. Dan yang terbaik di antara mereka itu adalah, orang yang memiliki kedua hal tersebut disertai dengan hati yang damai. ***

| Meski Salah, Tetap Bisa Jadi Modal |

Ponpes Biba'a Fadlrah, Sananrejo, Turen, Malang, Jawa Timur (2012)
         Melihat kesalahan diri sendiri merupakan pekerjaan yang cukup sulit bagi orang yang senang mempersulit kehidupannya. Sebaliknya, orang yang menjalani kehidupan ini dengan santai, lapang dada dan banyak bersyukur, maka ia akan lebih mudah untuk bisa melihat kesalahannya sendiri.
Apabila kita sudah bisa melihat kesalahan diri sendiri, maka kita akan sulit untuk menghakimi kesalahan orang lain. Sebab, pada dasarnya, kesalahan orang lain itu tidak jauh berbeda dengan kesalahan diri kita sendiri. Inti kesalahan kita sama saja dengan orang lain. Barangkali yang berbeda hanya bentuk dan tampilan atau kemasannya saja. Bahkan, sangat boleh jadi, kesalahan kita tampak jauh lebih banyak dari kesalahan orang lain.
          Terkait dengan bagaimana sikap seorang terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain itu, paling tidak, dapat digolongkan menjadi tiga macam. Pertama, ada orang yang senang melihat orang lain berbuat salah. Sebab, dengan demikian, ia akan menjadi seolah tampak benar. Padahal, sejatinya, dia justru tengah menjauh dari kebenaran itu sendiri. 
Kedua, ada pula yang melihat orang yang melakukan kesalahan itu seperti melihat  musuh yang sangat dibencinya. Padahal, sebetulnya, ia tidak terkena dampak langsung dari kesalahan yang dilakukan oleh orang lain tersebut. Orang yang seperti ini, pada dasarnya, ia sama saja tengah menciptakan sebuah ’peperangan’ di dalam alam kalbunya sendiri.
       Ketiga, sebagian kecil orang, ada yang melihat kesalahan orang lain itu sebagai sebuah pelajaran berharga yang patut diambil hikmahnya. Orang dengan kategori seperti inilah yang kelak akan masuk ke dalam kelompok kaum beruntung. Sebab, mereka tak perlu menjalani kesalahan yang sama terlebih dahulu untuk bisa memperoleh sebuah pelajaran berharga. Cukup dengan belajar dari kesalahan orang lain, ia sudah dapat memetik hikmah yang akan menuntunnya menuju jalan kebajikan.
        Menilik ketiga macam perilaku orang dalam menyikapi kesalahan orang lain tersebut, tampaknya, jenis yang ketiga inilah yang sepatutnya kita miliki. Yakni, melihat kesalahan orang lain bukan untuk ditepuki atau dicela, apalagi dihina, melainkan untuk diambil hikmahnya sebagai pelajaran di dalam  mengarungi kehidupan di muka bumi ini.
Cara Melihat Kesalahan
          Adapun dalam kaitannya dengan bagaimana cara seseorang melihat kesalahan dirinya sendiri, juga ada tiga macam sikap yang berbeda. Pertama, orang yang melihat kesalahannya seperti momok. Mereka takut terhadap kesalahannya sendiri dan juga takut jika kesalahannya itu diketahui oleh orang lain. Apabila kesalahannya itu sampai diketahui orang lain, atau baru sekedar dugaannya saja -– bahwa kesalahannya telah diketahui orang –-, maka rasa takutnya kian bertambah besar.
          Mereka yang tergolong dalam tipe macam ini, biasanya, jika telah melakukan suatu kesalahan, lebih senang mengurung diri. Bahkan, tidak sedikit orang yang kemudian mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Mereka menganggap, kesalahan atau dosa itu sebagai sesuatu yang tidak patut untuk dilakukan oleh manusia.
Pada tataran tertentu, pemikiran semacam itu ada benarnya. Apabila kita berpandangan bahwa sebagai hamba, manusia itu tidak pantas berbuat dosa kepadaNya, itu memang benar. Namun, jika kita berpandangan bahwa manusia itu harus suci dari dosa, maka hal inilah yang perlu diluruskan.
      Sebab, pada dasarnya, manusia itu sudah ditakdirkan untuk berbuat dosa. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda: ”Demi Allah yang jiwaku di tanganNya, sekiranya kalian tidak melakukan perbuatan dosa, niscaya Allah akan memusnahkan kalian dan menggantinya dengan kaum yang berbuat dosa. Namun kemudian mereka meminta ampun (kepada Allah) dan mereka diampuni (olehNya).”
        Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ra di atas merupakan pertanda bagi umat manusia, bahwasanya, kesalahan atau dosa itu adalah bagian dari kisi-kisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, yang terpenting adalah, bukan bagaimana agar manusia itu tidak memiliki dosa atau kesalahan –- karena hal itu jelas tidak mungkin dapat dilakukan –-, melainkan apa yang akan dilakukan setelah berbuat kesalahan atau dosa.
Takut terhadap kesalahan atau dosa yang pernah dilakukan, bukanlah sebuah jalan penyelesaian. Tetapi lebih cenderung sebagai alat pembelajaran agar kesalahan yang sama tidak  perlu terulang kembali. Sedangkan penyelesaiannya adalah dengan cara bertobat. Rasulullah saw pernah mengingatkan kita, bahwa setiap sakit itu ada obatnya. Sedangkan obatnya kesalahan atau dosa itu adalah memohon ampunan Allah atau bertobat.
          Adapun tipe kedua dari orang yang melihat kesalahannya sendiri adalah, orang yang tidak mau mengakui kesalahannya dan bahkan berusaha keras untuk menutup-nutupi dengan cara mengajukan berbagai alasan yang membuat dirinya jadi seolah-olah tampak benar. Mereka yang tergolong tipe ini, biasanya, adalah orang yang sangat mempedulikan persoalan citra dirinya di hadapan orang lain. Ia ingin dipandang sebagai orang yang selalu berbuat benar dan tidak pernah salah.
Bahkan, tak sedikit di antara mereka yang berupaya mencari kambing hitam untuk menisbatkan sebab kesalahannya --- baik itu ‘kambing’ yang memang sudah hitam maupun yang jelas-jelas putih, tapi diupayakan agar tampak jadi hitam, --- secara tanpa disadari, ego mereka yang cukup tinggi itu telah membuat mereka jadi menuhankan diri sendiri, mengabaikan hak orang lain dan selalu mengunggulkan diri sendiri.
Kesalahan Sebagai Modal
          Sedangkan tipe yang ketiga adalah orang yang melihat kesalahannya sebagai modal untuk memperbaiki diri. Mereka yang tergolong tipe ini, tidak menjadikan suatu kesalahan sebagai alat untuk menyesali diri secara berkepanjangan. Juga tidak berupaya menyembunyikan kesalahannya karena takut citranya menjadi buruk. Yang ia pikirkan hanyalah citra dirinya di hadapan Tuhan. Ia lebih senang melihat kesalahannya sebagai modal untuk memperbanyak sukur, mempertebal keimanan dan membenahi carut-marut yang ada di hatinya.
          Apabila kita melihat sebuah kesalahan sebagai modal untuk memperbaiki diri, maka sudah barang tentu, insya Allah kita akan lebih bisa belajar untuk menjadi orang yang berlapang dada dalam menghadapi masalah. Termasuk untuk berpikir tenang dalam mencari penyelesaian masalah, berbesar hati untuk mengakui kesalahan yang telah dilakukan dan bertekad kuat dalam menempuh jalan menuju tobat.
Kunci untuk bisa melihat kesalahan sebagai modal memperbaiki diri adalah, pertama, kita harus selalu ingat, bahwa seberapa pun besarnya kesalahan atau dosa yang telah kita lakukan, ampunan Allah itu jauh lebih besar lagi. Oleh karena itu, tak ada kata terlambat untuk bertobat, sebelum maut datang menjemput. Apalagi dalam sebuah hadis qudsi Allah ’Azza wa Jalla telah berfirman: “Andaikan hambaKu itu datang dengan dosa sepenuh bumi, maka Aku akan mengampuninya sebanyak itu pula.”
      Kunci yang kedua adalah, melihat kesalahan itu sebagai sebuah jalan untuk menuju kebaikan. Dengan adanya kesalahan itulah, Allah menunjuki hati kita untuk belajar membenahi diri sendiri. Sedang kunci yang ketiga adalah, mensyukuri akan adanya kemurahan pertolongan Allah kepada kita, sehingga kita dapat memperoleh hidayah dan diberi kemampuan olehNya untuk bisa belajar dari kesalahan yang pernah kita lakukan sebelumnya. ***

| Hati Satu = Hati Semua Orang |


         Suatu sore, putra bungsu saya yang baru berumur lima tahun, namanya Alhan, tiba-tiba menangis. Setelah diusut, ternyata ia menangis karena tidak bisa memenangkan sebuah game yang tengah ia mainkan melalui video game. Saya kemudian berkata, ”Jika persoalan game membuat adik menangis, lebih baik gamenya dimatikan saja. Semestinya game itu membuat kita senang, bukan malah menangis.”
     Rupa-rupanya, kata-kata saya itu bukan meredakan tangisnya, tetapi malah justru membuat tangisnya semakin bertambah keras. Saya diam. Kini giliran putra bungsu saya itu yang berbicara dalam sedu-sedannya, ”Bunda itu tidak boleh marah. Marah itu tidak baik. Alhan tidak suka dimarahi.” Saya diam dan senyum dikulum. Saya merasa lucu mendengar kata-katanya yang menasihati saya dan sekaligus menyatakan pendapatnya. Namun dalam hati, saya mengiyakan apa yang dikatakan oleh mulut kecilnya yang lucu itu.
       Masih dalam diam saya itu, Azka, yaitu putra sulung saya, juga ikut menimpali. Ia berkata, ”Bunda sih marahin adik. Adik jadi ’nangis tuh.” Meski sebetulnya perkataan saya tadi tidak bernada marah, tetapi karena kata-kata itu barangkali melukai hati putra bungsu saya, maka ia jadi menangis. Rupanya, tangisan si bungsu membuat hati kakaknya pun jadi ikut terluka. Sehingga, ia mengungkapkan rasa empatinya. Saya juga ikut merasakan kesedihan mereka.  Akhirnya, saya pun meminta ma’af kepada mereka. ”Bunda minta maaf jika kata-kata bunda telah membuat hati kalian menjadi sedih,” ujar saya.
      Sekelumit kisah tersebut sejatinya mengandung pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwasanya, jika kita mengetahui hati seseorang sedang terluka, maka alangkah baiknya jika kita ikut berempati dan merasa bersalah karena telah membuat hati orang itu jadi terluka. Namun, untuk bisa merasakan hati orang lain terluka, tentu kita harus melihat orang lain itu sebagaimana kita melihat diri sendiri. Artinya, kita memposisikan diri kita pada posisi orang lain itu. Dalam kenyataannya, banyak orang yang berbuat seperti itu. Akan tetapi, hanya berhenti pada perasaan empatinya saja. Tidak dilanjutkan ke tingkat praktik. Yaitu berupaya belajar menghormati perasaan orang lain agar tidak terluka.
Sifat Dasar Hati
          JIKA kita menilik sebuah sabda yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw --- bahwasanya kita itu tak ubahnya seperti satu tubuh --- maka pada dasarnya, kita itu memiliki hati yang satu. Bukti bahwa hati kita itu satu, tampak dari sifat dasar hati yang tidak ingin disakiti dan tidak menginginkan segala sesuatu yang buruk dan busuk. Setiap hati senang pada segala sesuatu yang indah dan manis.
Kata-kata yang indah dan manis, sikap yang indah dan manis, tutur kata yang indah dan manis, hadiah-hadiah yang indah dan manis. Tak ada hati yang dengan sukarela ingin disakiti, dan tak ada hati yang tidak merasa sakit ketika ia disakiti. Itulah sifat dasar hati. Sedang semua hati memiliki sifat dasar yang sama. Dengan demikian, pada dasarnya, hati satu orang adalah sama dengan hati semua orang.
          Apabila kita sepakat bahwa hati itu sama dan satu, maka mengapa sampai ada orang yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja menyakiti hati orang lain? Padahal, jika kita menyakiti hati orang lain, maka sebetulnya kita pun tengah menyakiti hati kita sendiri. Sebab, kita adalah satu tubuh. Hati orang lain adalah sama dengan hati kita juga. Apa sebabnya? Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita jarang menggunakan bahasa hati dan lebih cenderung menyukai bahasa akal.
          Bahasa hati adalah bahasa yang halus, peka dan lebih mengutamakan nilai rasa. Orang yang menggunakan bahasa hati, biasanya akan melahirkan pribadi yang halus, peka dan memiliki nilai rasa yang berkualitas. Orang yang mendengarkan orang yang menggunakan bahasa hati, secara perlahan-lahan akan terbuka kepekaan hatinya, tersentuh kehalusan hatinya dan mengalir nilai rasa dalam dirinya. Coba saja Anda mendengar orang yang berbicara dengan bahasa hati, maka hati Anda pun insya Allah akan ikut hanyut, ikut tersentuh dan menggeliat kepekaannya.
          Maka dari itu, semakin sering orang mendengarkan orang berbicara dengan bahasa hati, maka akan semakin membangkitkan nilai kepekaan, kehalusan dan nilai rasa dalam hatinya. Hati menjadi terasa damai, tenang dan nyaman. Apalagi bagi orang yang menggunakan bahasa hati itu sendiri, maka hatinya akan semakin diliputi oleh ketenangan yang memukau.
          Berbeda dengan orang yang mengabaikan bahasa hati dan hanya menggunakan bahasa akalnya. Maka, yang kita dengar sangat boleh jadi selalu berhawa panas, menuntut, memojokkan dan ingin mengalahkan. Sebab, akal memang tidak boleh mengalah untuk bisa memperoleh sebuah kemenangan. Sedangkan hati, cenderung lebih suka memilih mengalah. Namun, justru karena suka mengalah itulah, maka ia bisa memperoleh kemenangan. Hal itu dikarenakan hati hanya menginginkan kedamaian, bukan kemenangan.
Membutuhkan Penguatan
          KENDATI demikian, bukan berarti bahasa akal tak punya arti sama sekali. Bahasa akal itu juga dibutuhkan dalam suatu lingkungan yang membutuhkan penguatan secara logis. Namun, jika ingin bahasa akal itu bisa diterima dengan damai oleh hati orang lain, bukan hanya diterima oleh akalnya saja, maka gunakanlah bahasa akal yang dibungkus dalam bahasa hati.
       Artinya, yang Anda inginkan bukan sebuah kemenangan atas orang lain. Tetapi kemenangan atas diri Anda sendiri. Sehingga yang muncul adalah kedamaian. Tak heran jika Rasulullah saw pernah mengisyaratkan, bahwa seseorang yang mengalah dalam sebuah perdebatan, meskipun ia benar, maka itu jauh lebih baik baginya.
       Hati yang damai itulah yang bisa memahami hati orang lain. Kedamaian hati itu pulalah yang membuat seseorang bisa melihat kesatuan hatinya dengan hati orang lain. Pada kawasan ini, kita akan dapat lebih mudah memahami, bahwa manakala kita menyakiti hati satu orang, maka pada dasarnya kita telah menyakiti hati-hati yang lainnya. Sebab, setiap hati tak ada yang ingin disakiti.
Sebaliknya, tatkala Anda menimbulkan rasa damai pada hati satu orang, maka sejatinya Anda telah mengalirkan rasa damai pada hati-hati yang lainnya. Sebab, setiap hati selalu gandrung pada kedamaian. Agar kita bisa menimbulkan kedamaian bagi orang lain, maka buatlah hati kita sendiri terlebih dahulu menjadi damai. Hati kita akan bisa menjadi damai jika kita selalu dekat kepada yang bisa memberikan kedamaian itu sendiri. Tiada kedamaian yang lebih indah daripada kedamaian yang diberikan oleh Zat Yang Memiliki Kedamaian itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita belajar mendekatkan hati kita kepada Yang Maha Memiliki Kedamaian hakiki, agar kita dapat merasakan kedamaian dan mengalirkan kedamaian kepada hati saudara-saudara kita di bumi ini. ***

| Bekerja Untuk Menyebarkan Rezeki |


         Yang namanya rezeki, sudah merupakan kebutuhan pokok tak tertulis bagi setiap makhluk Tuhan. Tak ada seorang pun yang tidak kebagian rezeki di muka bumi ini. Semuanya sudah ditentukan rezekinya oleh Zat Yang Maha Memberi Rezeki. Jika ada orang yang mengaku tidak punya rezeki, maka itu pertanda bahwa orang tersebut tidak pandai bersyukur kepada Tuhan.
          Bayangkan saja. Sejak dari dalam kandungan, seorang manusia sudah ditentukan tentang berapa banyak rezeki yang pas diperuntukkan baginya. Maka, bagaimana mungkin ketika ia sudah lahir dan tumbuh menjadi manusia dewasa, tiba-tiba mengaku tidak memperoleh rezeki sama sekali? Apakah ia menganggap Tuhan bermain-main dalam menciptakan dirinya dan berbuat aniaya terhadap dirinya?
          Jangankan manusia yang diberi jabatan sebagai khalifah di muka bumi ini. Makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan pun, sudah ditentukan kadar rezekinya oleh Sang Pemberi Rezeki. Oleh karena itu, sebaik-baik perbuatan yang dilakukan seorang hamba adalah, bagaimana caranya agar ia dapat selalu bersyukur kepadaNya.
          ”Bagaimana saya dapat bersyukur, jika kehidupan saya ini masih suka menyusahkan orang?” tanya seorang lelaki yang gusar dengan keadaan dirinya. ”Coba lihat keadaan saya ini. Sehari-harinya hanya menumpang di rumah orangtua. Makan pun masih ditanggung orangtua. Padahal saya sudah berkeluarga,” lanjutnya dengan tampang kusut dan semakin kelihatan kusam lantaran pancaran kekecewaannya terhadap kehidupan yang tengah ia jalani.
”Saya kurang usaha apa lagi? Berbagai lamaran pekerjaan yang ada, sudah saya datangi semua. Tetapi tak ada yang berhasil. Selalu sial terus. Saya ingin sekali bisa mencari rezeki untuk menafkahi keluarga saya sendiri. Tapi, sampai sekarang, saya toh masih saja merepotkan orangtua,” ujarnya dengan nada pesimis.
Jika persoalan rezeki yang dianggap belum memadai sesuai dengan keinginan kita seperti itu, maka rasa-rasanya tidak ada orang yang bisa merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Sebab, ukuran kecukupan itu bersifat  sangat elastis, seiring dengan keinginan manusia yang selalu bertambah.
Misalnya, jika sebelumnya merasa kurang cukup karena harus memasak dengan kayu, maka timbul keinginan untuk mempunyai kompor minyak tanah. Sudah punya kompor minyak tanah, masih merasa kurang cukup, karena ingin punya kompor gas. Sudah punya kompor gas, merasa kurang cukup lagi, karena ingin punya kompor listrik. Begitu seterusnya.
Setiap keinginan akan selalu melebar dan bertambah karena faktor adanya perasaan tidak merasa cukup tadi.

Telah Direncanakan Allah
Bagaimana dengan kasus lelaki tadi yang ingin mencari rezeki karena tidak ingin merepotkan orangtuanya? Jika keinginan tersebut dijadikan sebagai pemacu semangat agar ia menjadi pantang menyerah dalam berupaya untuk memperoleh rezeki bagi diri dan keluarganya, maka keinginan tersebut insya Allah akan menjadi pembuka jalan baginya untuk memperoleh rezeki itu sendiri. Akan tetapi, jika keinginannya itu dilandaskan pada perasaan keakuannya --- yaitu merasa dirinya mampu mencari rezeki dan hanya karena gengsi menumpang hidup bersama orangtua serta cenderung mengandalkan kemampuan dirinya --- maka di situ akan menjadi persoalan besar.
Mengapa demikian? Sebab, yang namanya rezeki itu, kedatangannya bukanlah ditentukan oleh kemampuan seseorang di dalam mencari rezeki itu sendiri. Seseorang bisa memperoleh rezeki, dikarenakan memang Tuhan telah merencanakan rezeki itu untuk diberikan kepadanya. Bukan semata-mata karena orang tersebut mampu berusaha. Akan tetapi, karena kemurahan Allah-lah, maka ia dapat memperoleh rezeki.
”Jika demikian halnya, lalu buat apa seseorang mencari rezeki? Setahu saya, kalau seseorang itu tidak bekerja, maka ia tidak akan dapat memperoleh uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya yang bersifat mendasar,” ujar seorang kawan yang terbilang sudah sukses dalam mengolah bisnis rumah makannya.
Tak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Tidak ada seorang pun yang dapat memenuhi kebutuhannya secara layak, jika ia tidak bekerja. Akan tetapi, jika kita cermati dengan seksama, maka ada dua celah fatal yang terlewati dari pendapat tersebut. Pertama, ia lalai belajar dari tanda-tanda yang diberikan Allah kepadanya. Ketika ia sakit kepala dan tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka ia tidak dapat memperoleh penghasilan yang banyak seperti ketika ia dalam kondisi sehat. Ia sendiri sadar betul, jika kesehatannya rapuh, akan mempengaruhi aktivitas kerjanya. Dan pada gilirannya, akan berpengaruh pula terhadap penghasilannya.
Hal itu membuktikan bahwa, kesehatan adalah modalnya untuk bekerja dan berusaha. Lalu siapakah yang telah memberinya kesehatan yang prima, tubuh yang segar, dan juga akal sehat yang membuatnya bisa memanage usahanya itu? Jika ia mengatakan bahwa semua itu karena hasil dari kerja kerasnya dalam memelihara kesehatan dan karena ilmu yang dimilikinya, maka ia menjadi tak ubahnya seperti Qarun.
Anda masih ingat dengan kisah Qarun? Qarun adalah orang hartawan terkaya di dunia yang hidup pada zaman Nabi Musa as (Lihat Qs. Al-Qashash: 76). ”Sesungguhnya aku memperoleh harta itu karena ilmu yang ada padaku,” ujarnya (Lihat Qs. Al-Qashash: 78). Mereka yang berpandangan seperti Qarun acapkali lupa belajar, bahwa sesungguhnya, ia dapat memiliki ilmu itu adalah karena kemurahan dari Yang Maha Menguasai Ilmu. Apabila kita mau belajar dari kisah Qarun tersebut, maka tak ada seorang pun yang berani mengakui bahwa kesuksesan dan kekayaannya disebabkan karena hasil usahanya sendiri.
Sedang celah satunya lagi, yang kedua adalah, bahwa pada dasarnya, makhluk Tuhan itu sudah sepantasnya untuk tidak lagi bekerja dengan niat mencari rezeki. Sebabnya kenapa? Jika seseorang bekerja dengan niat mencari rezeki, maka seolah-olah ia tidak percaya bahwa Allah telah menentukan kadar rezeki baginya. Barangkali ada orang yang akan berkata, ”Allah memang telah menyediakan rezeki itu bagi makhlukNya. Tetapi, untuk bisa memperoleh rezeki itu, sang makhluk harus berusaha mencari rezekinya sendiri. Tidak ada rezeki yang datang dengan sendirinya, melainkan hanya dengan dicari, yaitu dengan bekerja keras.”
Memang benar, Allah telah menyediakan rezeki untuk makhlukNya. Dan sang makhluk itu sendiri harus berusaha untuk dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan baginya. Benar pula adanya, bahwa rezeki itu datang kepada makhlukNya tidak dengan cara seperti sulap, yang dengan mengucapkan sim-salabim, rezeki bisa langsung muncul. Melainkan datang melalui berbagai macam perantara. Misalnya, dengan cara bekerja, diberi orang, mendapat hadiah dan lain sebagainya.
Konsekuensi
Akan tetapi, jika seseorang bekerja dengan niat untuk mencari rezeki, maka ada beberapa konsekuensi yang muncul, baik dengan disadari maupun dengan tidak disadari -– dan biasanya, konsekuensi kedua inilah yang lebih sering terjadi. Apa saja konsekuensinya?
Pertama, orang jadi cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Karena merasa dirinya bisa mencari, capek mencari dan bekerja keras memeras keringat sendiri dalam mencari rezekinya itu, maka ia akan cenderung mengabaikan kepentingan orang lain. Yang penting baginya adalah, semua kebutuhannya dapat terpenuhi. Sedang kebutuhan orang lain tidak ia pedulikan. Sebab, menurutnya, setiap orang harus mencari rezekinya sendiri-sendiri. Termasuk dirinya.
Konsekuensi kedua dari bekerja dengan niat untuk mencari rezeki itu adalah, orang jadi cenderung suka nerabas syari’at. Karena tujuannya mencari rezeki, maka yang ada di dalam pikirannya adalah, bagaimana caranya agar proses mencarinya itu menjadi gampang, cepat dan bisa memperoleh hasil yang banyak. Akibatnya, orang akan mudah tergelincir dan tergoda untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Tuhan. Misalnya, menjual minuman keras, membuka perjudian, korupsi, manipulasi, menipu, merampok, mencuri, menjambret, mencopet dan lain sebagainya.
Konsekuensi yang ketiga adalah, orang jadi mudah stress, frustasi, depresi dan merasa patah semangat manakala usahanya tidak berjalan sukses seperti yang diinginkannya. Hal ini terjadi, karena niat mencari rezeki itu membuat seseorang jadi merasa harus menemukan rezeki yang ia cari. Biasanya, sesuatu yang dicari itu adalah penghasilan berupa uang atau harta. Tatkala ia gagal memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, maka muncullah keputusasaan, yang pada gilirannya dapat membuat dirinya merasa tidak berarti bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Perasaan putus asa itu semakin didukung oleh tuntutan lingkungan sekitarnya – terutama dari pihak keluarga – yang mengharuskan ia memperoleh penghasilan. Oleh karena itu, tak jarang orang menjadi hilang akal sehatnya, marah pada tuntutan keluarganya, merasa tak berguna, merasa tak bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat, atau tak bisa menyenangkan keluarganya.
Salah satu jalan pintas yang biasa ditempuh oleh orang yang mengalami persoalan seperti itu adalah bunuh diri. Sebagian menjadi gila, dan sebagiannya lagi bersikap tidak peduli dan menjadikan perilaku negatif sebagai jalan pintasnya. Misalnya, minum minuman keras, berjudi, memalak orang dan lain sebagainya.
Konsekuensi keempat dari bekerja dengan niat untuk mencari rezeki itu adalah, sering bersikap eman-eman alias merasa sayang untuk mengeluarkan sebagian dari penghasilan yang telah diperolehnya. Oleh karena ia merasa telah bekerja keras mencari rezeki, maka ia pun merasa berhak penuh atas penghasilannya dan siapa pun tidak memiliki hak atas harta tersebut. Akibatnya, ia menjadi enggan berzakat, mengeluarkan sedekah ataupun infak.
Konsekuensi kelima adalah, cenderung menyesali sesuatu yang membuatnya harus mengeluarkan uang atau rezekinya. Biasanya, hal ini terjadi manakala seseorang yang tadinya sudah memiliki penghasilan yang memadai, namun kemudian ia harus merogoh koceknya untuk suatu keperluan yang bersifat mendadak. Misalnya, karena menderita sakit dan harus berobat atau opname di rumah sakit, maka ia harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk biaya berobat. Kemudian, ia akan merasa kecewa karena rezeki yang dicarinya dengan susah payah itu, setelah terkumpul, justru habis untuk biaya berobat. Ia menyesali sakit yang telah dideritanya dan merasa eman dengan uang yang telah ia keluarkan untuk keperluan berobat.
Penyesalan seperti itu, di samping bisa membuat seseorang jadi menyesali satu etape dalam perjalanan hidupnya yang notabene merupakan takdir Tuhan atas dirinya –- yaitu memperoleh sakit –-, juga akan membuat seseorang jadi gampang terjebak dalam penyakit hati suka berandai-andai. Misalnya, ia akan berkata, ”Andai saya memperhatikan kesehatan saya, maka tentu saya tidak akan jadi sakit.” Sikap berandai-andai semacam ini bisa membuat hawa nafsu gampang sekali untuk ’ditunggangi’ setan. Akibatnya, seseorang jadi tidak pandai dalam mencari celah untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Prasangka Buruk
Apabila dirinci secara lebih jauh, sebetulnya masih banyak lagi konsekuensi dari bekerja yang diniatkan untuk mencari rezeki. Sudah barang tentu, konsekuensi-konsekuensi tersebut lebih banyak muncul tanpa disadari daripada disadari. Sebab, konsekuensi itu biasanya muncul dalam sekelebatan hati saja. Namun, jika tidak disadari, maka akan menjadi tumpukan kelebatan.
Jika satu kelebatan saja mewakili satu prasangka buruk kepada Tuhan, maka sudah berapa banyakkah prasangka buruk kita kepadaNya, manakala kelebatan itu muncul sampai bertumpuk-tumpuk? Padahal, yang namanya seorang hamba itu, tidak selayaknya memiliki prasangka buruk kepada  Sang Penciptanya. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw, ”Jangan sampai engkau mati kecuali dalam keadaan baik sangka kepada Allah.”
Pada kawasan ini, bagaimanakah niat yang tepat agar dalam bekerja itu kita bisa terhindar dari konsekuensi-konsekuensi di atas? Jawabnya sederhana saja. Yakni, ubahlah niat Anda dalam bekerja. Niatkanlah bekerja itu bukan untuk mencari rezeki. Tetapi justru untuk menyebarkan rezeki. Barangkali, orang yang memahami rezeki itu dengan makna uang belaka akan terheran-heran. Sebab, yang ada dalam bayangannya adalah, ia harus membagi-bagikan penghasilannya kepada semua orang, dan akhirnya ia harus gigit jari karena tak bisa mencicipi penghasilannya sendiri.
Sudah barang tentu, bukan pemikiran semacam itu yang dimaksudkan dalam tulisan ini. Sebagaimana diketahui, bahwasanya niat adalah pondasi utama di dalam setiap aktivitas. Jika pondasinya kurang tepat, maka aktivitas yang dilakukan pun akan ikut berpengaruh. Berapa banyak orang yang sering merasa tertekan dan tidak tenang dalam menjalani pekerjaannya? Berapa banyak orang yang berganti-ganti pekerjaan karena merasa belum bisa menemukan pekerjaan yang cocok dengan hatinya? Berapa banyak orang yang bekerja mati-matian, tetapi merasa tidak dapat memetik hasil dari pekerjaannya?
Kesemuanya itu dapat terjadi, di samping karena alasan-alasan kasuistik yang bersifat analitis dan cenderung menggunakan logika umum, pada dasarnya juga dikarenakan persoalan niat yang kurang tepat tadi. Apabila seseorang bekerja dengan niat untuk menyebarkan rezeki, maka dalam praktiknya, ia akan selalu bersikap ingin memberi, bukan hanya menerima. Jika manusia saja senang dengan orang yang selalu ingin memberi, maka Allah pun tentunya akan jauh lebih senang terhadap orang yang suka memberi. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda, ”bahwasanya tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah?”
Misalnya, kita ambil contoh saja seorang tukang becak – yang penghasilannya sehari-hari relatif minim. Tatkala ia mulai berangkat bekerja dan mengayuh becaknya, ia memasang niat untuk menyebarkan rezeki. Maka, yang ada dalam pikirannya saat itu, bukanlah apa yang bakal ia terima (sebagai konsekuensi dari masang niat mencari rezeki), melainkan apa yang dapat ia berikan (sebagai konsekuensi dari niat menyebarkan rezeki).
Menata Niat
Apabila yang dipikirkan adalah apa yang bakal ia terima, maka itu berarti ia sudah mulai mempertanyakan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah. Seolah-olah, ia tidak yakin bahwa Allah akan menolongnya. Tanpa disadari, ia mulai bersifat menuntut kepada Allah. Yakni, mengharuskan Allah memberinya penghasilan di hari itu. Padahal, Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi diri kita.
Sedangkan jika yang dipikirkan adalah apa yang dapat diberikan kepada orang lain – yakni dalam rangka untuk menyebarkan rezeki –, maka akan membuat seseorang cenderung lebih memikirkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Karena sang tukang becak tidak memiliki uang untuk ia sedekahkan hari itu, misalnya, maka ia bisa menyebarkan rezeki dalam bentuk yang lainnya. Apakah itu? Do’a adalah rezeki bagi orang yang dido’akan. Maka do’akanlah siapa saja yang Anda temui, misalnya saja mendo’akan pelanggan ataupun kawan seprofesi. Tak usah berdo’a panjang lebar. Cukup do’akan agar mereka memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Do’a itu sudah melingkupi seluruh kebaikan.
Selanjutnya, menyebarkan rezeki dalam bentuk lainnya adalah memberikan sesungging senyuman kepada orang lain, anggukan rasa penghormatan, bermuka manis, serta tutur kata yang baik adalah rezeki yang Anda sebarkan kepada orang lain. Bukankah Rasulullah saw pernah mengatakan, ”bahwa sebuah senyuman itu termasuk sedekah?” Maka jika Anda memberi senyuman manis kepada kawan sejawat atau pelanggan Anda, atau menyingkirkan beling dari jalan yang bakal dilalui orang, perbuatan Anda seperti itu sudah termasuk menyebarkan rezeki.
Dengan demikian, jika niat kita bekerja untuk menyebarkan rezeki, maka orang yang tadinya ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dan merugikan orang lain, akan berpikir seribu kali untuk melakukannya. Sebab, menyebarkan rezeki itu tidak mungkin membuat orang lain rugi atau susah. Sebaliknya, menyebarkan rezeki itu akan membuat orang lain menjadi senang, sama-sama untung dan selamat. Kemudian, Allah pun kelak akan membuat hati kita menjadi senang.
Pepatah lama mengatakan, ”siapa yang menanam, dialah yang akan mengetam.” Alhasil, jika Anda ingin memanen hasil, maka sebarkanlah dulu bibitnya. Bagaimana mungkin Anda ingin langsung memperoleh hasil, padahal Anda belum menyebarkan bibitnya? Maka dari itu, jika ingin memperoleh rezekiNya, maka sebarkanlah lebih dulu rezeki itu kepada makhlukNya. Bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada seluruh makhluk ciptaanNya.
Cobalah maknai sepanjang perjalanan Anda dalam bekerja itu dengan berusaha membuat makhluk lain bisa memperoleh rezeki dan tidak menjadi rugi. Baik itu untuk sesama manusia, kepada hewan atau tumbuh-tumbuhan. Marilah kita mulai menata niat dalam bekerja, yakni untuk menyebarkan rezekiNya dan berharap pertolongan Allah di dalam melaksanakannya.***

Selasa, 28 Februari 2012

| Salah Kaprah |

SALAH kaprah alias salah dalam bersikap, sekarang ini, betul-betul lagi ngetrend. Ndak di pusat, tak di daerah. Ndak laki, ndak perempuan, sama saja. Semua jadi kebolak-balik. Coba saja kita perhatikan bagaimana fenomena yang terjadi di sekitar kita. Laki-laki bersolek tak ubahnya seperti seorang perempuan. Mulai dari dandanannya yang minor hingga pakaiannya yang super mini dan super ketat.
”Maklum,” kata teman saya, ”namanya juga zaman emansipasi. Yang perlu berdandan dan bersolek kan tidak hanya perempuan. Laki-laki juga butuh bersolek dan perlu berdandan supaya bisa kelihatan cantik.”
”Berdandan dan bersolek sih boleh-boleh saja. Tapi kan, mereka tidak perlu harus tampil seperti seorang perempuan. Itu namanya bukan emansipasi. Itu namanya banci. Masak laki-laki kok berpenampilan tak ubahnya seperti seorang perempuan?” ujar saya.
Sikap salah kaprah ternyata juga menimpa para anggota dewan yang terhormat. Sejak mereka terpilih jadi wakil rakyat, mereka sangat sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya mereka bisa mendapat proyek sebanyak-banyaknya. Tujuannya apalagi kalau bukan agar uang yang telah dikeluarkan selama masa pencalonan kemarin bisa segera kembali. Syukur jika bisa ada sedikit keuntungan dari modal yang telah dikeluarkan.
Terkait dengan sikap wakil rakyat yang sibuk ngurusi proyek itu, salah seorang teman yang berprofesi sebagai seorang pemborong berkata: ”Di negeri ini, sejak Pak Harto lengser keprabon, tak ada lagi makan siang yang gratis. Jika kita ingin dapat sesuatu di negeri ini, maka kita harus keluar biaya terlebih dahulu. Hanya ikan di laut saja yang masih tetap bodoh. Tanpa umpan dan tanpa menggunakan pancing sekalipun, toh mereka masih bisa ditangkap para nelayan dengan menggunakan pukat harimau. Makanya, kita ndak pernah mendengar ada berita mengenai ikan-ikan di laut mengadakan demonstrasi secara besar-besaran. Itu bisa terjadi karena mereka maunya makan gratis!”
Karena itu, lanjutnya, jangan kaget kalau para anggota dewan yang terhormat itu, sejak mereka dilantik, terlihat sibuk menebar pukat harimau di mana-mana. Itu karena mereka sudah cukup banyak keluar uang untuk memberi makan gratis para konstituennya. Makanya, begitu mereka sudah mendapat dan bisa memasang pin di jas resminya, gantian mereka yang minta diberi makan siang gratis dari para mangsanya. Perkara apakah para konstituennya saat sang anggota dewan itu sedang makan siang gratis sudah makan atau belum, itu soal lain. Yang penting, perutnya saat itu bisa kenyang lebih dahulu. Alasannya, biar bisa tambah semangat ketika bekerja selama menjadi wakil rakyat. Busyeet ... alasan satu ini, sedap juga kedengarannya.
***
SALAH kaprah di negeri ini ternyata juga sering menimpa para eksekutif dan yudikatif kita. Terutama ketika mereka menjalankan fungsinya masing-masing. Pihak eksekutif, misalnya. Saat mereka melakukan fungsi kontrol dengan cara mengecek dan memverifikasi sebuah persoalan yang sedang terjadi di daerah, para eksekutif yang ada di daerah bukannya sibuk menjelaskan bagaimana duduk persoalan tersebut secara benar. Tapi, mereka malah sibuk mempersiapkan berbagai fasilitas yang akan diberikan kepada para petinggi yang datang menemui mereka. Mulai dari tempat tinggal, teman tinggal sampai uang tinggalan untuk sangu pulang ke kampung halamannya masing-masing.
Sedang permasalahan yang akan diverifikasi, cukup dicatat, didengar kemudian disimpan rapat-rapat di dalam buku agenda. Perkara nanti akan disoal kembali oleh atasan, itu cerita nanti. Yang penting, bisa puas-puas dulu dan bisa senang-senang kemudian. ”Hidup hanya sekali kok dibuat repot? Makan saja kerepotan itu, ane kagak doyan kok,” ujar mereka.
Lain eksekutif, lain pula yudikatif. Atas nama hukum dan undang-undang, mereka sibuk memilih dan memilah antara kasus ’basah’ dan kasus ’kering’. Selama proses memilih dan memilah itu dilakukan, semua komponen hukum yang mestinya difungsikan, disuruh istirahat terlebih dahulu. Mata, misalnya, mereka kunci rapat-rapat agar bisa fokus untuk mengeruk persoalan ’basah’ yang sedang disidangkan. Sedang kuping yang seharusnya berfungsi untuk mendengar keterangan para saksi dan tersangka, mereka sumpal kapas yang tebal agar tidak bisa mendengar informasi tentang perkara yang disidangkan. Mereka hanya mau mendengar informasi tentang berapa banyak uang yang akan mereka terima, dan informasi mengenai bagaimana cara yang aman bagi ’para penyumbang’ itu untuk memindahkan atau menyerahkan uangnya.
Bagaimana kalau, misalnya, ’persekongkolan’ yang salah kaprah itu sampai didengar dan diketahui oleh para wartawan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)? Kasih saja mereka uang tutup mulut di dalam amplop. Ndak usah diberi penjelasan dan keterangan apapun, toh mereka akhirnya akan diam dengan sendirinya. Kalau mereka ternyata masih tetap ngotot juga ingin ’bernyanyi’, kirim saja sms ke ’orang pintar’ untuk ’menggarap’ mereka dengan baik. Bukankah pekerjaan ’orang pintar’ itu, dari sejak zaman kerajaan sampai sekarang terbukti tak bisa disentuh oleh hukum apapun yang ada di negeri ini?
***
SELAIN hal di atas, sikap salah kaprah juga bisa kita temukan dalam kehidupan kaum muslimin di negeri ini. Misalnya, perhatikan saja bagaimana sikap kaum muslimin ketika mu’adzin teriak-teriak --- kadang malah sampai kesedak-sedak --- memanggilnya untuk segera shalat ke masjid. Apakah pada saat itu mereka langsung memenuhi panggilan tersebut? Jawabnya, belum tentu. Apalagi kalau misalnya pekerjaan yang sedang dilakukannya saat itu masih belum selesai.
Bandingkan dengan bagaimana sikap mereka ketika atasannya memanggil untuk sebuah urusan di kantornya. Meskipun kesibukkannya saat itu tak bisa ditinggalkan, misalnya, tapi begitu atasannya yang memanggil, ia tak punya pilihan lain kecuali untuk segera memenuhi panggilan atasannya tersebut. Bagaimana kalau dia, misalnya, tidak segera memenuhi panggilan bosnya tersebut? Jelas, ia nanti bisa kena pecat oleh atasannya.
Karena takut dipecat oleh atasannya itulah, meskipun semula terasa berat, tapi sang karyawan itu pun akhirnya tak merasa sungkan untuk jalan ngesot ke hadapan tuannya. ”Yang penting, posisi dan kedudukanku di kantor aman. Bos tidak memecatku. Kalau sampai aku dipecat oleh bos, maka aku bisa celaka dua belas. Sebab, anak biniku nanti jelas akan mengalami kesulitan dalam hidupnya,” ujar sang karyawan tanpa merasa terbebani untuk bicara seperti itu. Seolah-olah, bos yang ada di kantornya itu kedudukannya lebih hebat daripada Tuhan yang telah ’mengutus’ dan menggerakkan sang mu’adzin untuk memanggilnya agar segera datang dan sujud di rumahNya. Aneh bukan? ***


| 11 Oktober 2010 |