Seorang
kawan datang menemui saya dan mengeluarkan setumpuk keluhan.
Tampaknya, ia sedang pusing dengan masalah kesulitan ekonomi yang tengah
melanda keluarganya. Ia berkisah, bahwa ia sudah mendatangi beberapa ustad dan
orang-orang yang ia pandang cukup mumpuni dalam soal agama. Tujuannya tiada
lain adalah, untuk minta didoakan agar ia
bisa terlepas dari himpitan kesulitan keuangan yang dideritanya.
Beberapa di antara mereka ada yang memberi amalan-amalan tertentu dan sebagian
lagi menyuruhnya bersedekah. Namun, ada satu hal yang agaknya telah membuat ia
menjadi gusar. Semua orang yang ia datangi itu memiliki pesan yang sama. Yakni,
ia disuruh bersabar.
”Saya
disuruh bersabar. Padahal, aslinya, sabar itu sudah menjadi makanan saya setiap
hari,” ujarnya masih dengan nada gusar. Kemudian saya memintanya untuk membuka Al-Qur`an surat Ibrahim
ayat 7. Dalam ayat tersebut disebutkan, bahwa Allah telah membuat sebuah maklumat.
Yakni, barang siapa mau bersyukur, maka akan ditambahkan nikmat baginya. Ia
tercenung sejenak ketika membaca ayat tersebut. Detik berikutnya ia bergumam
sendiri, “Kalau begitu, berarti saya harus memperbanyak syukur ya, agar semakin
banyak nikmat yang diberikan Allah untuk saya?”
Agaknya, resep itu baru
saja ia ketahui. Namun, sejatinya, resep itu sudah kerapkali dipakai banyak
orang dan tak jarang pula resep itu terlontar dari mulut siapa saja yang tengah
kita ajak bicara, meski pengetahuannya tentang agama terbilang sedikit. Sebab,
itu adalah resep yang lagi ngetrend didengung-dengungkan oleh banyak
orang. Terutama di masa-masa serba sulit seperti sekarang ini.
Sekilas,
memang tidak ada yang keliru dari resep tersebut. Apalagi hal itu jelas-jelas disebutkan di
dalam firman Allah. Akan tetapi, dalam aplikasinya, banyak orang jadi sedikit
terprovokasi oleh hawa nafsunya sendiri. Dikatakan demikian karena, sebetulnya,
hawa nafsulah yang memiliki banyak keinginan. Dan itu berarti, kita
mengharapkan nikmat Allah yang lebih banyak lagi. Pada gilirannya,
kita jadi menganggap bahwa kesyukuran sebagai alat untuk membeli nikmat Allah.
Kira-kira seperti itulah pemahaman yang diyakini oleh kawan saya tadi. Ia
memandang, jika ia memperbanyak kesyukurannya, maka akan semakin banyak pula
nikmat Allah yang akan ia peroleh. Alhasil, bukan kesyukuran yang menjadi fokus
utamanya, tetapi nikmat Allah yang dijanjikan itulah yang sangat ia harapkan,
sehingga ia baru mau bersyukur. Sementara kata nikmat itu sendiri ia artikan
sebagai kesenangan duniawi, atau lebih spesifik lagi, kesenangan dalam hal
ekonominya.
Tujuan Bersyukur
Dampak
dari pemahaman seperti itu adalah, orang bisa jadi akan emoh
(tidak mau) bersyukur tatkala ia melihat nikmat yang diinginkan oleh hawa
nafsunya itu belum juga kunjung datang. Lalu ia akan menganggap bahwa resep
dari ayat Al-Qur’an itu tidak mujarab. Sekarang, mari kita coba meluruskan
tentang tujuan kita bersyukur. Apakah tujuan kita bersyukur itu agar kita bisa
memperoleh nikmat yang lebih banyak, ataukah kita bersyukur itu karena kita
merasa bahwa kita telah memperoleh nikmat Allah yang begitu banyak?
Apabila
kita bersyukur dengan tujuan agar memperoleh nikmat Allah yang lebih banyak
lagi, maka itu berarti kita belum memahami arti sebuah kesyukuran. Di samping
itu, juga berarti bahwa kita belum melihat kebesaran nikmat Tuhan di dalam
kehidupan kita sehari-hari. Misalnya saja, kelahiran kita ke bumi ini dari yang
tadinya tidak ada, merupakan suatu karunia nikmat Tuhan yang tak ternilai.
Belum lagi karunia lainnya, seperti udara yang kita hirup, penglihatan,
pendengaran dan anggota tubuh lainnya serta hati yang kita miliki. Kemudian
segala makanan dan minuman yang pernah masuk ke dalam tubuh kita ini, pun belum
kita hitung sebagai nikmat Tuhan. Demikian pula dengan lisan kita yang diberi
kemampuan untuk memujiNya, belum kita hitung sebagai nikmatNya. Termasuk
keimanan yang dimasukkan ke dalam hati kita masing-masing, belum juga kita
hitung sebagai nikmat dariNya.
Jika
demikian, di manakah gerangan dalam ruang kehidupan kita ini yang di situ tidak
ada nikmat Tuhan? Apabila seseorang menghajatkan seluruh hidupnya hanya diisi
dengan beribadah untuk bersyukur kepadaNya atas semua nikmat itu, maka tentu
saja hal itu tak akan cukup. Lalu bagaimana mungkin kita ingin ’membeli’ nikmat
yang lebih banyak lagi dengan kesyukuran kita, padahal untuk membayar nikmat
yang telah kita peroleh saja, belum cukup dengan beribadah sepanjang umur kita?
Oleh karena itu, mulai sekarang, mari kita belajar mengubah niat kita dalam
bersyukur. Jangan sampai niat kita bersyukur itu adalah untuk memperoleh
tambahan nikmat yang lebih banyak. Akan tetapi, bersyukurlah atas segala nikmat
yang telah kita peroleh, tanpa memikirkan hadiah tambahan nikmat yang akan
diberikan Allah atas diri kita.
Lima Kategori Orang Bersyukur
Apabila
kita menilik berbagai macam latar belakang orang yang bersyukur itu,
maka ada lima jenis orang yang bersyukur. Pertama, orang yang bersyukur
ketika memperoleh sesuatu yang membuatnya menjadi senang atau gembira.
Misalnya, senang ketika mendapat hadiah atau sewaktu menerima amplop gajian.
Bersyukur pada saat yang menyenangkan hati seperti itu, sudah barang tentu
suatu hal yang lumrah. Artinya, kita sadar betul bahwa kesenangan atau
kegembiraan itu karena kasih sayang dan nikmat Allah. Apabila ada orang yang
sampai lupa bersyukur ketika senang, maka ia termasuk orang yang lupa diri atau
lupa pada Zat yang telah memberinya kesenangan itu.
Kedua,
orang yang bersyukur ketika ingat masa lalu. Misalnya, seseorang bersyukur
karena kini ia sudah memiliki rumah, kendaraan pribadi, bisa mencicipi
makanan lezat, serta hidup serba
terpenuhi. Sebab, ia teringat masa lalunya, di mana ia waktu itu belum memiliki
rumah sendiri, hidupnya serba kekurangan dan sarat dengan kesusahan. Hal ini
pun lumrah. Sudah sepatutnyalah seseorang bersyukur atas keberhasilan yang
sudah ia peroleh. Apalagi mengingat adanya perubahan yang signifikan di dalam
hidupnya, dari yang tadinya serba kekurangan menjadi serba kecukupan.
Ketiga, orang yang selalu mencari celah agar dapat bersyukur. Artinya,
seseorang bersyukur bukan semata-mata karena sesuatu kesenangan yang ia
peroleh, namun dalam kesusahan pun, ia tetap berjuang mencari celah agar bisa
bersyukur. Misalnya, seseorang yang kehilangan uang, sudah barang tentu ia akan merasa sedih. Ia akan kecewa, karena
keperluan yang semestinya dapat terpenuhi dengan adanya uang itu, justru jadi
tertunda karena uangnya hilang. Namun, ia masih bersyukur, sebab hanya uangnya
saja yang hilang, sedangkan barang-barangnya yang lain masih utuh alias tidak hilang.
Keempat, orang
yang selalu bersyukur di segala keadaan. Orang seperti ini tidak mengenal
kondisi. Meskipun ia tertimpa suatu musibah, ia tetap bersyukur. Ia bersyukur
bukan karena ia melihat masih banyak nikmat Allah lainnya yang telah ia terima.
Sebab, kesyukuran untuk hal semacam itu merupakan suatu bentuk kesyukuran yang
lainnya lagi. Ia bersyukur atas musibah yang menimpanya itu, karena ia merasa yakin bahwa tidaklah
Allah menimpakan musibah kepadaNya, melainkan pasti karena itulah yang terbaik
bagi diriNya saat itu. Di sinilah letak pentingnya menanamkan prasangka baik
kepada Allah. Sehingga, di balik sebuah musibah sekalipun, kita tetap bisa
melihat kebaikan Allah atas diri kita. Untuk itulah, maka datangnya musibah
itu, tetap perlu untuk disyukuri. Mereka yang bisa melakukan kesyukuran semacam
ini, adalah orang-orang yang diberi kemampuan olehNya untuk melihat hikmah di
balik kejadian.
Kelima, orang yang
bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain. Bersyukur atas
nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita adalah hal yang sudah sepatutnya
dilakukan. Namun, bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain
– sementara kita sendiri tampaknya tidak memperoleh nikmat yang sama bentuknya
seperti orang lain itu – merupakan suatu hal yang memerlukan kelapangan hati.
Apalagi jika orang yang memperoleh nikmat Allah itu adalah orang yang membenci
diri kita atau pernah berlaku kurang baik kepada kita.
Sudah barang tentu,
akan sulit jadinya jika kita mensyukuri atas nikmat yang ia peroleh, padahal ia
adalah orang yang memusuhi kita. Oleh karena itu, hanya sedikit orang yang bisa
melakukannya. Yaitu orang yang di dalam hatinya dilimpahi oleh Allah rasa kasih
sayang yang besar terhadap sesama. Sehingga, ketika ia melihat seseorang
memperoleh nikmatNya, ia tidak melihat pada aspek siapa yang telah memperoleh
nikmat itu. Melainkan ia melihat adanya kasih sayang Allah kepada makhlukNya.
Sedang, setiap kita melihat adanya kasih sayang Allah, maka sudah sepatutnyalah
kita syukuri.
Kelima macam orang yang bersyukur tadi,
bukanlah berdiri sendiri dan bersifat baku. Boleh jadi, seseorang memiliki
seluruh karakteristik di atas, atau hanya beberapa point saja. Namun, dari
kelima point tersebut di atas, barangkali Anda dapat melihat point mana saja
yang patut dimiliki dan point mana saja yang sebaiknya dimiliki. Semuanya
kembali kepada perjuangan kita masing-masing dalam menempatkan kesyukuran
sebagai sebuah jalan untuk beribadah kepadaNya.
Empat Macam Cara Bersyukur
Adapun jika dilihat dari cara yang
ditempuh oleh seseorang dalam bersyukur, dapat kita kelompokkan menjadi empat
macam. Pertama, bersyukur dengan mengucapkan hamdalah. Kata alhamdulillah
merupakan kalimat pujian kepada Allah. Kalimat ini umum dipakai untuk
menunjukkan rasa kesyukuran seorang hamba kepada Allah. Bersyukur seperti ini,
biasa disebut dengan bersyukur secara lisan. Kedua, bersyukur dengan
melakukan ibadah sunnah. Cara ini pun biasanya dipakai oleh mereka yang
ingin melengkapi rasa syukurnya. Menurut pahamnya, dengan melakukan ibadah sunnah,
seperti shalat malam atau puasa sunnah, maka rasa syukurnya akan
diterima oleh Allah.
Ketiga, bersyukur dengan cara bersedekah atau berderma. Cara ini tak jarang
kita temui pada mereka yang merasa senang dengan keberhasilannya. Sehingga, ia
rela mengeluarkan sedekah atau berderma sebagai tanda kesyukurannya. Ketiga
cara tersebut tidak ada yang keliru. Semuanya, sudah barang tentu, sah-sah saja
dilakukan oleh seorang hamba untuk menunjukkan rasa kesyukurannya. Namun, di
samping ketiga cara tersebut, ada cara keempat yang juga sepatutnya dilakukan
oleh seorang hamba Allah. Yakni, bersyukur dengan cara belajar memfungsikan
secara baik semua nikmat Allah yang telah ia terima.
Misalnya, Allah
telah menganugerahkan mata kepada kita, maka fungsikanlah mata itu dengan
sebaik-baiknya untuk memperoleh kebaikan. Setiap mata kita melihat sesuatu,
maka sudah sepatutnya jika apa yang kita lihat itu diolah sedemikian rupa oleh
hati, dalam rangka untuk mengingat dan bersyukur kepada Allah. Demikian pula
dengan pendengaran, berikut anggota-anggota tubuh lainnya seperti tangan, kaki
dan lain-lain. Kesemuanya difungsikan untuk kebaikan dan mengingat Allah serta
bersyukur kepadaNya. Termasuk juga hati kita ini. Sudah sepatutnyalah kita
fungsikan dengan baik agar kita bisa selalu ingat dan bersyukur kepadaNya.
Kesyukuran dengan
cara seperti itu, akan membawa diri kita pada suatu proses pembenahan diri yang
berlangsung secara terus-menerus. Hal inilah yang disebutkan oleh Allah dalam
Al-Qur’an Surat Luqman ayat 12. Dalam ayat itu disebutkan, “Barang
siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri.” Alhasil, tak ada yang diuntungkan dari
kesyukuran kita itu melainkan diri kita sendiri. Bersyukur dengan cara
memfungsikan seluruh anggota tubuh kita ini agar berbuat untuk kebajikan, serta
membuat kita dapat selalu ingat dan bersyukur kepadaNya, pada dasarnya,
hasilnya akan kembali kepada diri kita sendiri juga. Kita sendirilah yang akan
merasakan dampak dari kesyukuran kita itu.
Dikatakan
demikian, karena dengan berfungsinya seluruh anggota tubuh secara benar – dalam
pengertian menuju ke arah terwujudnya insan kaamil –, maka kita akan
semakin dekat kepadaNya. Demikian itulah yang disebut sebagai nikmat yang
bertambah. Sebab, sejatinya, kita dapat memfungsikan anggota tubuh secara benar
itu, tak lain dikarenakan adanya kemurahan dan pertolongan rahmat Allah atas
diri kita pula.***