Yang
namanya rezeki, sudah merupakan kebutuhan pokok tak tertulis bagi
setiap makhluk Tuhan. Tak ada seorang pun yang tidak kebagian rezeki di muka
bumi ini. Semuanya sudah ditentukan rezekinya oleh Zat Yang Maha Memberi
Rezeki. Jika ada orang yang mengaku tidak punya rezeki, maka itu pertanda bahwa
orang tersebut tidak pandai bersyukur kepada Tuhan.
Bayangkan saja. Sejak dari dalam
kandungan, seorang manusia sudah ditentukan tentang berapa banyak rezeki yang
pas diperuntukkan baginya. Maka, bagaimana mungkin ketika ia sudah lahir dan
tumbuh menjadi manusia dewasa, tiba-tiba mengaku tidak memperoleh rezeki sama
sekali? Apakah
ia menganggap Tuhan bermain-main dalam menciptakan dirinya dan berbuat aniaya
terhadap dirinya?
Jangankan manusia yang diberi jabatan sebagai khalifah
di muka bumi ini. Makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan pun,
sudah ditentukan kadar rezekinya oleh Sang Pemberi Rezeki. Oleh karena itu,
sebaik-baik perbuatan yang dilakukan seorang hamba adalah, bagaimana caranya
agar ia dapat selalu bersyukur kepadaNya.
”Bagaimana saya dapat bersyukur, jika
kehidupan saya ini masih suka menyusahkan orang?” tanya seorang lelaki yang
gusar dengan keadaan dirinya. ”Coba lihat keadaan saya ini. Sehari-harinya
hanya menumpang di rumah orangtua. Makan pun masih ditanggung orangtua. Padahal
saya sudah berkeluarga,” lanjutnya dengan tampang kusut dan semakin kelihatan
kusam lantaran pancaran kekecewaannya terhadap kehidupan yang tengah ia jalani.
”Saya kurang usaha apa lagi? Berbagai lamaran pekerjaan yang ada, sudah
saya datangi semua. Tetapi tak ada yang berhasil. Selalu sial terus. Saya ingin
sekali bisa mencari rezeki untuk menafkahi keluarga saya sendiri. Tapi, sampai
sekarang, saya toh masih saja merepotkan orangtua,” ujarnya dengan nada
pesimis.
Jika persoalan rezeki yang dianggap belum memadai sesuai dengan keinginan
kita seperti itu, maka rasa-rasanya tidak ada orang yang bisa merasa cukup
dengan apa yang telah dimilikinya. Sebab, ukuran kecukupan itu bersifat sangat elastis, seiring dengan keinginan
manusia yang selalu bertambah.
Misalnya, jika sebelumnya merasa kurang cukup karena harus memasak dengan
kayu, maka timbul keinginan untuk mempunyai kompor minyak tanah. Sudah punya
kompor minyak tanah, masih merasa kurang cukup, karena ingin punya kompor gas.
Sudah punya kompor gas, merasa kurang cukup lagi, karena ingin punya kompor
listrik. Begitu seterusnya.
Setiap keinginan akan selalu melebar dan bertambah karena faktor adanya
perasaan tidak merasa cukup tadi.
Telah Direncanakan Allah
Bagaimana dengan kasus lelaki tadi yang ingin mencari rezeki karena
tidak ingin merepotkan orangtuanya? Jika keinginan tersebut dijadikan sebagai
pemacu semangat agar ia menjadi pantang menyerah dalam berupaya untuk
memperoleh rezeki bagi diri dan keluarganya, maka keinginan tersebut insya
Allah akan menjadi pembuka jalan baginya untuk memperoleh rezeki itu sendiri.
Akan tetapi, jika keinginannya itu dilandaskan pada perasaan keakuannya ---
yaitu merasa dirinya mampu mencari rezeki dan hanya karena gengsi menumpang
hidup bersama orangtua serta cenderung mengandalkan kemampuan dirinya --- maka di
situ akan menjadi persoalan besar.
Mengapa demikian? Sebab, yang namanya rezeki itu, kedatangannya bukanlah
ditentukan oleh kemampuan seseorang di dalam mencari rezeki itu sendiri.
Seseorang bisa memperoleh rezeki, dikarenakan memang Tuhan telah merencanakan
rezeki itu untuk diberikan kepadanya. Bukan semata-mata karena orang tersebut
mampu berusaha. Akan tetapi, karena kemurahan Allah-lah, maka ia dapat
memperoleh rezeki.
”Jika demikian halnya, lalu buat apa seseorang mencari rezeki? Setahu saya,
kalau seseorang itu tidak bekerja, maka ia tidak akan dapat memperoleh uang
untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya yang bersifat mendasar,” ujar seorang
kawan yang terbilang sudah sukses dalam mengolah bisnis rumah makannya.
Tak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Tidak ada seorang pun yang
dapat memenuhi kebutuhannya secara layak, jika ia tidak bekerja. Akan tetapi,
jika kita cermati dengan seksama, maka ada dua celah fatal yang terlewati dari
pendapat tersebut. Pertama, ia lalai belajar dari tanda-tanda yang
diberikan Allah kepadanya. Ketika ia sakit kepala dan tidak dapat bangun dari
tempat tidurnya, maka ia tidak dapat memperoleh penghasilan yang banyak seperti
ketika ia dalam kondisi sehat. Ia sendiri sadar betul, jika kesehatannya rapuh,
akan mempengaruhi aktivitas kerjanya. Dan pada gilirannya, akan berpengaruh
pula terhadap penghasilannya.
Hal itu membuktikan bahwa, kesehatan adalah modalnya untuk bekerja dan
berusaha. Lalu siapakah yang telah memberinya kesehatan yang prima, tubuh yang
segar, dan juga akal sehat yang membuatnya bisa memanage usahanya itu?
Jika ia mengatakan bahwa semua itu karena hasil dari kerja kerasnya dalam
memelihara kesehatan dan karena ilmu yang dimilikinya, maka ia menjadi tak
ubahnya seperti Qarun.
Anda masih ingat dengan kisah Qarun? Qarun adalah orang hartawan terkaya di
dunia yang hidup pada zaman Nabi Musa as (Lihat Qs. Al-Qashash: 76). ”Sesungguhnya
aku memperoleh harta itu karena ilmu yang ada padaku,” ujarnya (Lihat Qs. Al-Qashash:
78). Mereka yang berpandangan seperti Qarun acapkali lupa belajar, bahwa
sesungguhnya, ia dapat memiliki ilmu itu adalah karena kemurahan dari Yang Maha
Menguasai Ilmu. Apabila kita mau belajar dari kisah Qarun tersebut, maka tak
ada seorang pun yang berani mengakui bahwa kesuksesan dan kekayaannya
disebabkan karena hasil usahanya sendiri.
Sedang celah satunya lagi, yang kedua adalah, bahwa pada dasarnya,
makhluk Tuhan itu sudah sepantasnya untuk tidak lagi bekerja dengan niat
mencari rezeki. Sebabnya kenapa? Jika seseorang bekerja dengan niat mencari
rezeki, maka seolah-olah ia tidak percaya bahwa Allah telah menentukan kadar
rezeki baginya. Barangkali ada orang yang akan berkata, ”Allah memang telah
menyediakan rezeki itu bagi makhlukNya. Tetapi, untuk bisa memperoleh rezeki
itu, sang makhluk harus berusaha mencari rezekinya sendiri. Tidak ada rezeki
yang datang dengan sendirinya, melainkan hanya dengan dicari, yaitu dengan
bekerja keras.”
Memang benar, Allah telah menyediakan rezeki untuk makhlukNya. Dan sang
makhluk itu sendiri harus berusaha untuk dapat memperoleh rezeki yang telah
ditentukan baginya. Benar pula adanya, bahwa rezeki itu datang kepada
makhlukNya tidak dengan cara seperti sulap, yang dengan mengucapkan sim-salabim,
rezeki bisa langsung muncul. Melainkan datang melalui berbagai macam
perantara. Misalnya, dengan cara bekerja, diberi orang, mendapat hadiah dan
lain sebagainya.
Konsekuensi
Akan tetapi, jika seseorang bekerja dengan niat untuk mencari rezeki, maka ada
beberapa konsekuensi yang muncul, baik dengan disadari maupun dengan tidak
disadari -– dan biasanya, konsekuensi kedua inilah yang lebih sering terjadi.
Apa saja konsekuensinya?
Pertama, orang jadi
cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Karena merasa dirinya bisa mencari,
capek mencari dan bekerja keras memeras keringat sendiri dalam mencari
rezekinya itu, maka ia akan cenderung mengabaikan kepentingan orang lain. Yang
penting baginya adalah, semua kebutuhannya dapat terpenuhi. Sedang kebutuhan
orang lain tidak ia pedulikan. Sebab, menurutnya, setiap orang harus mencari
rezekinya sendiri-sendiri. Termasuk dirinya.
Konsekuensi kedua dari bekerja dengan niat untuk mencari rezeki itu
adalah, orang jadi cenderung suka nerabas syari’at. Karena tujuannya
mencari rezeki, maka yang ada di dalam pikirannya adalah, bagaimana caranya
agar proses mencarinya itu menjadi gampang, cepat dan bisa memperoleh hasil
yang banyak. Akibatnya, orang akan mudah tergelincir dan tergoda untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Tuhan. Misalnya, menjual
minuman keras, membuka perjudian, korupsi, manipulasi, menipu, merampok,
mencuri, menjambret, mencopet dan lain sebagainya.
Konsekuensi yang ketiga adalah, orang jadi mudah stress, frustasi,
depresi dan merasa patah semangat manakala usahanya tidak berjalan sukses
seperti yang diinginkannya. Hal ini terjadi, karena niat mencari rezeki itu
membuat seseorang jadi merasa harus menemukan rezeki yang ia cari. Biasanya,
sesuatu yang dicari itu adalah penghasilan berupa uang atau harta. Tatkala ia
gagal memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, maka muncullah
keputusasaan, yang pada gilirannya dapat membuat dirinya merasa tidak berarti
bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Perasaan putus asa itu semakin didukung oleh tuntutan lingkungan sekitarnya
– terutama dari pihak keluarga – yang mengharuskan ia memperoleh penghasilan.
Oleh karena itu, tak jarang orang menjadi hilang akal sehatnya, marah pada
tuntutan keluarganya, merasa tak berguna, merasa tak bisa berbuat sesuatu yang
bermanfaat, atau tak bisa menyenangkan keluarganya.
Salah satu jalan pintas yang biasa ditempuh oleh orang yang mengalami
persoalan seperti itu adalah bunuh diri. Sebagian menjadi gila, dan sebagiannya
lagi bersikap tidak peduli dan menjadikan perilaku negatif sebagai jalan
pintasnya. Misalnya, minum minuman keras, berjudi, memalak orang dan lain
sebagainya.
Konsekuensi keempat dari bekerja dengan niat untuk mencari rezeki
itu adalah, sering bersikap eman-eman alias merasa sayang untuk
mengeluarkan sebagian dari penghasilan yang telah diperolehnya. Oleh karena ia merasa
telah bekerja keras mencari rezeki, maka ia pun merasa berhak penuh atas
penghasilannya dan siapa pun tidak memiliki hak atas harta tersebut. Akibatnya,
ia menjadi enggan berzakat, mengeluarkan sedekah ataupun infak.
Konsekuensi kelima adalah, cenderung menyesali sesuatu yang
membuatnya harus mengeluarkan uang atau rezekinya. Biasanya, hal ini terjadi
manakala seseorang yang tadinya sudah memiliki penghasilan yang memadai, namun
kemudian ia harus merogoh koceknya untuk suatu keperluan yang bersifat mendadak.
Misalnya, karena menderita sakit dan harus berobat atau opname di rumah sakit,
maka ia harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk biaya berobat.
Kemudian, ia akan merasa kecewa karena rezeki yang dicarinya dengan susah payah
itu, setelah terkumpul, justru habis untuk biaya berobat. Ia menyesali sakit
yang telah dideritanya dan merasa eman dengan uang yang telah ia
keluarkan untuk keperluan berobat.
Penyesalan seperti itu, di samping bisa membuat seseorang jadi menyesali
satu etape dalam perjalanan hidupnya yang notabene merupakan takdir
Tuhan atas dirinya –- yaitu memperoleh sakit –-, juga akan membuat seseorang
jadi gampang terjebak dalam penyakit hati suka berandai-andai. Misalnya, ia
akan berkata, ”Andai saya memperhatikan kesehatan saya, maka tentu saya tidak
akan jadi sakit.” Sikap berandai-andai semacam ini bisa membuat hawa nafsu
gampang sekali untuk ’ditunggangi’ setan. Akibatnya, seseorang jadi tidak
pandai dalam mencari celah untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Prasangka Buruk
Apabila dirinci secara lebih jauh, sebetulnya masih banyak lagi
konsekuensi dari bekerja yang diniatkan untuk mencari rezeki. Sudah barang
tentu, konsekuensi-konsekuensi tersebut lebih banyak muncul tanpa disadari
daripada disadari. Sebab, konsekuensi itu biasanya muncul dalam sekelebatan
hati saja. Namun, jika tidak disadari, maka akan menjadi tumpukan kelebatan.
Jika satu kelebatan saja mewakili satu prasangka buruk kepada Tuhan, maka
sudah berapa banyakkah prasangka buruk kita kepadaNya, manakala kelebatan itu
muncul sampai bertumpuk-tumpuk? Padahal, yang namanya seorang hamba itu, tidak
selayaknya memiliki prasangka buruk kepada
Sang Penciptanya. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah
saw, ”Jangan sampai engkau mati kecuali dalam keadaan baik sangka kepada
Allah.”
Pada kawasan ini, bagaimanakah niat yang tepat agar dalam bekerja itu kita
bisa terhindar dari konsekuensi-konsekuensi di atas? Jawabnya sederhana saja.
Yakni, ubahlah niat Anda dalam bekerja. Niatkanlah bekerja itu bukan untuk mencari
rezeki. Tetapi justru untuk menyebarkan rezeki. Barangkali, orang yang memahami
rezeki itu dengan makna uang belaka akan terheran-heran. Sebab, yang ada dalam
bayangannya adalah, ia harus membagi-bagikan penghasilannya kepada semua orang,
dan akhirnya ia harus gigit jari karena tak bisa mencicipi penghasilannya
sendiri.
Sudah barang tentu, bukan pemikiran semacam itu yang dimaksudkan dalam
tulisan ini. Sebagaimana diketahui, bahwasanya niat adalah pondasi utama di
dalam setiap aktivitas. Jika pondasinya kurang tepat, maka aktivitas yang
dilakukan pun akan ikut berpengaruh. Berapa banyak orang yang sering merasa
tertekan dan tidak tenang dalam menjalani pekerjaannya? Berapa banyak orang
yang berganti-ganti pekerjaan karena merasa belum bisa menemukan pekerjaan yang
cocok dengan hatinya? Berapa banyak orang yang bekerja mati-matian, tetapi
merasa tidak dapat memetik hasil dari pekerjaannya?
Kesemuanya itu dapat terjadi, di samping karena alasan-alasan kasuistik
yang bersifat analitis dan cenderung menggunakan logika umum, pada dasarnya
juga dikarenakan persoalan niat yang kurang tepat tadi. Apabila seseorang
bekerja dengan niat untuk menyebarkan rezeki, maka dalam praktiknya, ia akan
selalu bersikap ingin memberi, bukan hanya menerima. Jika manusia saja senang
dengan orang yang selalu ingin memberi, maka Allah pun tentunya akan jauh lebih
senang terhadap orang yang suka memberi. Bukankah Rasulullah saw pernah
bersabda, ”bahwasanya tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di
bawah?”
Misalnya, kita ambil contoh saja seorang tukang becak – yang penghasilannya
sehari-hari relatif minim. Tatkala ia mulai berangkat bekerja dan mengayuh
becaknya, ia memasang niat untuk menyebarkan rezeki. Maka, yang ada dalam
pikirannya saat itu, bukanlah apa yang bakal ia terima (sebagai konsekuensi
dari masang niat mencari rezeki), melainkan apa yang dapat ia berikan (sebagai
konsekuensi dari niat menyebarkan rezeki).
Menata Niat
Apabila yang dipikirkan adalah apa yang bakal ia terima, maka itu
berarti ia sudah mulai mempertanyakan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah.
Seolah-olah, ia tidak yakin bahwa Allah akan menolongnya. Tanpa disadari, ia
mulai bersifat menuntut kepada Allah. Yakni, mengharuskan Allah memberinya
penghasilan di hari itu. Padahal, Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi diri
kita.
Sedangkan jika yang dipikirkan adalah apa yang dapat diberikan kepada orang
lain – yakni dalam rangka untuk menyebarkan rezeki –, maka akan membuat
seseorang cenderung lebih memikirkan kepentingan orang lain daripada
kepentingan dirinya sendiri. Karena sang tukang becak tidak memiliki uang untuk
ia sedekahkan hari itu, misalnya, maka ia bisa menyebarkan rezeki dalam bentuk
yang lainnya. Apakah itu? Do’a adalah rezeki bagi orang yang dido’akan. Maka
do’akanlah siapa saja yang Anda temui, misalnya saja mendo’akan pelanggan
ataupun kawan seprofesi. Tak usah berdo’a panjang lebar. Cukup do’akan agar
mereka memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Do’a itu sudah melingkupi
seluruh kebaikan.
Selanjutnya, menyebarkan rezeki dalam bentuk lainnya adalah memberikan
sesungging senyuman kepada orang lain, anggukan rasa penghormatan, bermuka
manis, serta tutur kata yang baik adalah rezeki yang Anda sebarkan kepada orang
lain. Bukankah Rasulullah saw pernah mengatakan, ”bahwa sebuah senyuman itu
termasuk sedekah?” Maka jika Anda memberi senyuman manis kepada kawan
sejawat atau pelanggan Anda, atau menyingkirkan beling dari jalan yang bakal
dilalui orang, perbuatan Anda seperti itu sudah termasuk menyebarkan rezeki.
Dengan demikian, jika niat kita bekerja untuk menyebarkan rezeki, maka
orang yang tadinya ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dan merugikan
orang lain, akan berpikir seribu kali untuk melakukannya. Sebab, menyebarkan
rezeki itu tidak mungkin membuat orang lain rugi atau susah. Sebaliknya,
menyebarkan rezeki itu akan membuat orang lain menjadi senang, sama-sama untung
dan selamat. Kemudian, Allah pun kelak akan membuat hati kita menjadi senang.
Pepatah lama mengatakan, ”siapa yang menanam, dialah yang akan mengetam.”
Alhasil, jika Anda ingin memanen hasil, maka sebarkanlah dulu bibitnya. Bagaimana mungkin
Anda ingin langsung memperoleh hasil, padahal Anda belum menyebarkan bibitnya?
Maka dari itu, jika ingin memperoleh rezekiNya, maka sebarkanlah lebih dulu
rezeki itu kepada makhlukNya. Bukan hanya kepada
sesama manusia, tetapi kepada seluruh makhluk ciptaanNya.
Cobalah maknai sepanjang perjalanan Anda dalam bekerja itu dengan
berusaha membuat makhluk lain bisa memperoleh rezeki dan tidak menjadi rugi.
Baik itu untuk sesama manusia, kepada hewan atau tumbuh-tumbuhan. Marilah kita
mulai menata niat dalam bekerja, yakni untuk menyebarkan rezekiNya dan berharap
pertolongan Allah di dalam melaksanakannya.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar