Rabu, 29 Februari 2012

| Bekerja Untuk Menyebarkan Rezeki |


         Yang namanya rezeki, sudah merupakan kebutuhan pokok tak tertulis bagi setiap makhluk Tuhan. Tak ada seorang pun yang tidak kebagian rezeki di muka bumi ini. Semuanya sudah ditentukan rezekinya oleh Zat Yang Maha Memberi Rezeki. Jika ada orang yang mengaku tidak punya rezeki, maka itu pertanda bahwa orang tersebut tidak pandai bersyukur kepada Tuhan.
          Bayangkan saja. Sejak dari dalam kandungan, seorang manusia sudah ditentukan tentang berapa banyak rezeki yang pas diperuntukkan baginya. Maka, bagaimana mungkin ketika ia sudah lahir dan tumbuh menjadi manusia dewasa, tiba-tiba mengaku tidak memperoleh rezeki sama sekali? Apakah ia menganggap Tuhan bermain-main dalam menciptakan dirinya dan berbuat aniaya terhadap dirinya?
          Jangankan manusia yang diberi jabatan sebagai khalifah di muka bumi ini. Makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan pun, sudah ditentukan kadar rezekinya oleh Sang Pemberi Rezeki. Oleh karena itu, sebaik-baik perbuatan yang dilakukan seorang hamba adalah, bagaimana caranya agar ia dapat selalu bersyukur kepadaNya.
          ”Bagaimana saya dapat bersyukur, jika kehidupan saya ini masih suka menyusahkan orang?” tanya seorang lelaki yang gusar dengan keadaan dirinya. ”Coba lihat keadaan saya ini. Sehari-harinya hanya menumpang di rumah orangtua. Makan pun masih ditanggung orangtua. Padahal saya sudah berkeluarga,” lanjutnya dengan tampang kusut dan semakin kelihatan kusam lantaran pancaran kekecewaannya terhadap kehidupan yang tengah ia jalani.
”Saya kurang usaha apa lagi? Berbagai lamaran pekerjaan yang ada, sudah saya datangi semua. Tetapi tak ada yang berhasil. Selalu sial terus. Saya ingin sekali bisa mencari rezeki untuk menafkahi keluarga saya sendiri. Tapi, sampai sekarang, saya toh masih saja merepotkan orangtua,” ujarnya dengan nada pesimis.
Jika persoalan rezeki yang dianggap belum memadai sesuai dengan keinginan kita seperti itu, maka rasa-rasanya tidak ada orang yang bisa merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya. Sebab, ukuran kecukupan itu bersifat  sangat elastis, seiring dengan keinginan manusia yang selalu bertambah.
Misalnya, jika sebelumnya merasa kurang cukup karena harus memasak dengan kayu, maka timbul keinginan untuk mempunyai kompor minyak tanah. Sudah punya kompor minyak tanah, masih merasa kurang cukup, karena ingin punya kompor gas. Sudah punya kompor gas, merasa kurang cukup lagi, karena ingin punya kompor listrik. Begitu seterusnya.
Setiap keinginan akan selalu melebar dan bertambah karena faktor adanya perasaan tidak merasa cukup tadi.

Telah Direncanakan Allah
Bagaimana dengan kasus lelaki tadi yang ingin mencari rezeki karena tidak ingin merepotkan orangtuanya? Jika keinginan tersebut dijadikan sebagai pemacu semangat agar ia menjadi pantang menyerah dalam berupaya untuk memperoleh rezeki bagi diri dan keluarganya, maka keinginan tersebut insya Allah akan menjadi pembuka jalan baginya untuk memperoleh rezeki itu sendiri. Akan tetapi, jika keinginannya itu dilandaskan pada perasaan keakuannya --- yaitu merasa dirinya mampu mencari rezeki dan hanya karena gengsi menumpang hidup bersama orangtua serta cenderung mengandalkan kemampuan dirinya --- maka di situ akan menjadi persoalan besar.
Mengapa demikian? Sebab, yang namanya rezeki itu, kedatangannya bukanlah ditentukan oleh kemampuan seseorang di dalam mencari rezeki itu sendiri. Seseorang bisa memperoleh rezeki, dikarenakan memang Tuhan telah merencanakan rezeki itu untuk diberikan kepadanya. Bukan semata-mata karena orang tersebut mampu berusaha. Akan tetapi, karena kemurahan Allah-lah, maka ia dapat memperoleh rezeki.
”Jika demikian halnya, lalu buat apa seseorang mencari rezeki? Setahu saya, kalau seseorang itu tidak bekerja, maka ia tidak akan dapat memperoleh uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya yang bersifat mendasar,” ujar seorang kawan yang terbilang sudah sukses dalam mengolah bisnis rumah makannya.
Tak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Tidak ada seorang pun yang dapat memenuhi kebutuhannya secara layak, jika ia tidak bekerja. Akan tetapi, jika kita cermati dengan seksama, maka ada dua celah fatal yang terlewati dari pendapat tersebut. Pertama, ia lalai belajar dari tanda-tanda yang diberikan Allah kepadanya. Ketika ia sakit kepala dan tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka ia tidak dapat memperoleh penghasilan yang banyak seperti ketika ia dalam kondisi sehat. Ia sendiri sadar betul, jika kesehatannya rapuh, akan mempengaruhi aktivitas kerjanya. Dan pada gilirannya, akan berpengaruh pula terhadap penghasilannya.
Hal itu membuktikan bahwa, kesehatan adalah modalnya untuk bekerja dan berusaha. Lalu siapakah yang telah memberinya kesehatan yang prima, tubuh yang segar, dan juga akal sehat yang membuatnya bisa memanage usahanya itu? Jika ia mengatakan bahwa semua itu karena hasil dari kerja kerasnya dalam memelihara kesehatan dan karena ilmu yang dimilikinya, maka ia menjadi tak ubahnya seperti Qarun.
Anda masih ingat dengan kisah Qarun? Qarun adalah orang hartawan terkaya di dunia yang hidup pada zaman Nabi Musa as (Lihat Qs. Al-Qashash: 76). ”Sesungguhnya aku memperoleh harta itu karena ilmu yang ada padaku,” ujarnya (Lihat Qs. Al-Qashash: 78). Mereka yang berpandangan seperti Qarun acapkali lupa belajar, bahwa sesungguhnya, ia dapat memiliki ilmu itu adalah karena kemurahan dari Yang Maha Menguasai Ilmu. Apabila kita mau belajar dari kisah Qarun tersebut, maka tak ada seorang pun yang berani mengakui bahwa kesuksesan dan kekayaannya disebabkan karena hasil usahanya sendiri.
Sedang celah satunya lagi, yang kedua adalah, bahwa pada dasarnya, makhluk Tuhan itu sudah sepantasnya untuk tidak lagi bekerja dengan niat mencari rezeki. Sebabnya kenapa? Jika seseorang bekerja dengan niat mencari rezeki, maka seolah-olah ia tidak percaya bahwa Allah telah menentukan kadar rezeki baginya. Barangkali ada orang yang akan berkata, ”Allah memang telah menyediakan rezeki itu bagi makhlukNya. Tetapi, untuk bisa memperoleh rezeki itu, sang makhluk harus berusaha mencari rezekinya sendiri. Tidak ada rezeki yang datang dengan sendirinya, melainkan hanya dengan dicari, yaitu dengan bekerja keras.”
Memang benar, Allah telah menyediakan rezeki untuk makhlukNya. Dan sang makhluk itu sendiri harus berusaha untuk dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan baginya. Benar pula adanya, bahwa rezeki itu datang kepada makhlukNya tidak dengan cara seperti sulap, yang dengan mengucapkan sim-salabim, rezeki bisa langsung muncul. Melainkan datang melalui berbagai macam perantara. Misalnya, dengan cara bekerja, diberi orang, mendapat hadiah dan lain sebagainya.
Konsekuensi
Akan tetapi, jika seseorang bekerja dengan niat untuk mencari rezeki, maka ada beberapa konsekuensi yang muncul, baik dengan disadari maupun dengan tidak disadari -– dan biasanya, konsekuensi kedua inilah yang lebih sering terjadi. Apa saja konsekuensinya?
Pertama, orang jadi cenderung hanya memikirkan diri sendiri. Karena merasa dirinya bisa mencari, capek mencari dan bekerja keras memeras keringat sendiri dalam mencari rezekinya itu, maka ia akan cenderung mengabaikan kepentingan orang lain. Yang penting baginya adalah, semua kebutuhannya dapat terpenuhi. Sedang kebutuhan orang lain tidak ia pedulikan. Sebab, menurutnya, setiap orang harus mencari rezekinya sendiri-sendiri. Termasuk dirinya.
Konsekuensi kedua dari bekerja dengan niat untuk mencari rezeki itu adalah, orang jadi cenderung suka nerabas syari’at. Karena tujuannya mencari rezeki, maka yang ada di dalam pikirannya adalah, bagaimana caranya agar proses mencarinya itu menjadi gampang, cepat dan bisa memperoleh hasil yang banyak. Akibatnya, orang akan mudah tergelincir dan tergoda untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Tuhan. Misalnya, menjual minuman keras, membuka perjudian, korupsi, manipulasi, menipu, merampok, mencuri, menjambret, mencopet dan lain sebagainya.
Konsekuensi yang ketiga adalah, orang jadi mudah stress, frustasi, depresi dan merasa patah semangat manakala usahanya tidak berjalan sukses seperti yang diinginkannya. Hal ini terjadi, karena niat mencari rezeki itu membuat seseorang jadi merasa harus menemukan rezeki yang ia cari. Biasanya, sesuatu yang dicari itu adalah penghasilan berupa uang atau harta. Tatkala ia gagal memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan, maka muncullah keputusasaan, yang pada gilirannya dapat membuat dirinya merasa tidak berarti bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.
Perasaan putus asa itu semakin didukung oleh tuntutan lingkungan sekitarnya – terutama dari pihak keluarga – yang mengharuskan ia memperoleh penghasilan. Oleh karena itu, tak jarang orang menjadi hilang akal sehatnya, marah pada tuntutan keluarganya, merasa tak berguna, merasa tak bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat, atau tak bisa menyenangkan keluarganya.
Salah satu jalan pintas yang biasa ditempuh oleh orang yang mengalami persoalan seperti itu adalah bunuh diri. Sebagian menjadi gila, dan sebagiannya lagi bersikap tidak peduli dan menjadikan perilaku negatif sebagai jalan pintasnya. Misalnya, minum minuman keras, berjudi, memalak orang dan lain sebagainya.
Konsekuensi keempat dari bekerja dengan niat untuk mencari rezeki itu adalah, sering bersikap eman-eman alias merasa sayang untuk mengeluarkan sebagian dari penghasilan yang telah diperolehnya. Oleh karena ia merasa telah bekerja keras mencari rezeki, maka ia pun merasa berhak penuh atas penghasilannya dan siapa pun tidak memiliki hak atas harta tersebut. Akibatnya, ia menjadi enggan berzakat, mengeluarkan sedekah ataupun infak.
Konsekuensi kelima adalah, cenderung menyesali sesuatu yang membuatnya harus mengeluarkan uang atau rezekinya. Biasanya, hal ini terjadi manakala seseorang yang tadinya sudah memiliki penghasilan yang memadai, namun kemudian ia harus merogoh koceknya untuk suatu keperluan yang bersifat mendadak. Misalnya, karena menderita sakit dan harus berobat atau opname di rumah sakit, maka ia harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk biaya berobat. Kemudian, ia akan merasa kecewa karena rezeki yang dicarinya dengan susah payah itu, setelah terkumpul, justru habis untuk biaya berobat. Ia menyesali sakit yang telah dideritanya dan merasa eman dengan uang yang telah ia keluarkan untuk keperluan berobat.
Penyesalan seperti itu, di samping bisa membuat seseorang jadi menyesali satu etape dalam perjalanan hidupnya yang notabene merupakan takdir Tuhan atas dirinya –- yaitu memperoleh sakit –-, juga akan membuat seseorang jadi gampang terjebak dalam penyakit hati suka berandai-andai. Misalnya, ia akan berkata, ”Andai saya memperhatikan kesehatan saya, maka tentu saya tidak akan jadi sakit.” Sikap berandai-andai semacam ini bisa membuat hawa nafsu gampang sekali untuk ’ditunggangi’ setan. Akibatnya, seseorang jadi tidak pandai dalam mencari celah untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Sebenarnya.
Prasangka Buruk
Apabila dirinci secara lebih jauh, sebetulnya masih banyak lagi konsekuensi dari bekerja yang diniatkan untuk mencari rezeki. Sudah barang tentu, konsekuensi-konsekuensi tersebut lebih banyak muncul tanpa disadari daripada disadari. Sebab, konsekuensi itu biasanya muncul dalam sekelebatan hati saja. Namun, jika tidak disadari, maka akan menjadi tumpukan kelebatan.
Jika satu kelebatan saja mewakili satu prasangka buruk kepada Tuhan, maka sudah berapa banyakkah prasangka buruk kita kepadaNya, manakala kelebatan itu muncul sampai bertumpuk-tumpuk? Padahal, yang namanya seorang hamba itu, tidak selayaknya memiliki prasangka buruk kepada  Sang Penciptanya. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw, ”Jangan sampai engkau mati kecuali dalam keadaan baik sangka kepada Allah.”
Pada kawasan ini, bagaimanakah niat yang tepat agar dalam bekerja itu kita bisa terhindar dari konsekuensi-konsekuensi di atas? Jawabnya sederhana saja. Yakni, ubahlah niat Anda dalam bekerja. Niatkanlah bekerja itu bukan untuk mencari rezeki. Tetapi justru untuk menyebarkan rezeki. Barangkali, orang yang memahami rezeki itu dengan makna uang belaka akan terheran-heran. Sebab, yang ada dalam bayangannya adalah, ia harus membagi-bagikan penghasilannya kepada semua orang, dan akhirnya ia harus gigit jari karena tak bisa mencicipi penghasilannya sendiri.
Sudah barang tentu, bukan pemikiran semacam itu yang dimaksudkan dalam tulisan ini. Sebagaimana diketahui, bahwasanya niat adalah pondasi utama di dalam setiap aktivitas. Jika pondasinya kurang tepat, maka aktivitas yang dilakukan pun akan ikut berpengaruh. Berapa banyak orang yang sering merasa tertekan dan tidak tenang dalam menjalani pekerjaannya? Berapa banyak orang yang berganti-ganti pekerjaan karena merasa belum bisa menemukan pekerjaan yang cocok dengan hatinya? Berapa banyak orang yang bekerja mati-matian, tetapi merasa tidak dapat memetik hasil dari pekerjaannya?
Kesemuanya itu dapat terjadi, di samping karena alasan-alasan kasuistik yang bersifat analitis dan cenderung menggunakan logika umum, pada dasarnya juga dikarenakan persoalan niat yang kurang tepat tadi. Apabila seseorang bekerja dengan niat untuk menyebarkan rezeki, maka dalam praktiknya, ia akan selalu bersikap ingin memberi, bukan hanya menerima. Jika manusia saja senang dengan orang yang selalu ingin memberi, maka Allah pun tentunya akan jauh lebih senang terhadap orang yang suka memberi. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda, ”bahwasanya tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah?”
Misalnya, kita ambil contoh saja seorang tukang becak – yang penghasilannya sehari-hari relatif minim. Tatkala ia mulai berangkat bekerja dan mengayuh becaknya, ia memasang niat untuk menyebarkan rezeki. Maka, yang ada dalam pikirannya saat itu, bukanlah apa yang bakal ia terima (sebagai konsekuensi dari masang niat mencari rezeki), melainkan apa yang dapat ia berikan (sebagai konsekuensi dari niat menyebarkan rezeki).
Menata Niat
Apabila yang dipikirkan adalah apa yang bakal ia terima, maka itu berarti ia sudah mulai mempertanyakan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah. Seolah-olah, ia tidak yakin bahwa Allah akan menolongnya. Tanpa disadari, ia mulai bersifat menuntut kepada Allah. Yakni, mengharuskan Allah memberinya penghasilan di hari itu. Padahal, Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi diri kita.
Sedangkan jika yang dipikirkan adalah apa yang dapat diberikan kepada orang lain – yakni dalam rangka untuk menyebarkan rezeki –, maka akan membuat seseorang cenderung lebih memikirkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Karena sang tukang becak tidak memiliki uang untuk ia sedekahkan hari itu, misalnya, maka ia bisa menyebarkan rezeki dalam bentuk yang lainnya. Apakah itu? Do’a adalah rezeki bagi orang yang dido’akan. Maka do’akanlah siapa saja yang Anda temui, misalnya saja mendo’akan pelanggan ataupun kawan seprofesi. Tak usah berdo’a panjang lebar. Cukup do’akan agar mereka memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Do’a itu sudah melingkupi seluruh kebaikan.
Selanjutnya, menyebarkan rezeki dalam bentuk lainnya adalah memberikan sesungging senyuman kepada orang lain, anggukan rasa penghormatan, bermuka manis, serta tutur kata yang baik adalah rezeki yang Anda sebarkan kepada orang lain. Bukankah Rasulullah saw pernah mengatakan, ”bahwa sebuah senyuman itu termasuk sedekah?” Maka jika Anda memberi senyuman manis kepada kawan sejawat atau pelanggan Anda, atau menyingkirkan beling dari jalan yang bakal dilalui orang, perbuatan Anda seperti itu sudah termasuk menyebarkan rezeki.
Dengan demikian, jika niat kita bekerja untuk menyebarkan rezeki, maka orang yang tadinya ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dan merugikan orang lain, akan berpikir seribu kali untuk melakukannya. Sebab, menyebarkan rezeki itu tidak mungkin membuat orang lain rugi atau susah. Sebaliknya, menyebarkan rezeki itu akan membuat orang lain menjadi senang, sama-sama untung dan selamat. Kemudian, Allah pun kelak akan membuat hati kita menjadi senang.
Pepatah lama mengatakan, ”siapa yang menanam, dialah yang akan mengetam.” Alhasil, jika Anda ingin memanen hasil, maka sebarkanlah dulu bibitnya. Bagaimana mungkin Anda ingin langsung memperoleh hasil, padahal Anda belum menyebarkan bibitnya? Maka dari itu, jika ingin memperoleh rezekiNya, maka sebarkanlah lebih dulu rezeki itu kepada makhlukNya. Bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada seluruh makhluk ciptaanNya.
Cobalah maknai sepanjang perjalanan Anda dalam bekerja itu dengan berusaha membuat makhluk lain bisa memperoleh rezeki dan tidak menjadi rugi. Baik itu untuk sesama manusia, kepada hewan atau tumbuh-tumbuhan. Marilah kita mulai menata niat dalam bekerja, yakni untuk menyebarkan rezekiNya dan berharap pertolongan Allah di dalam melaksanakannya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar