Selasa, 28 Februari 2012

| Salah Niat |


NIAT itu ibarat kompas bagi manusia. Ia berfungsi sebagai penuntun dan penunjuk jalan supaya manusia tidak tersesat ketika melakukan sebuah perjalanan. Karena itu, Kanjeng Nabi Saw selalu mengingatkan umatnya agar memperhatikan betul soal bagaimana caranya menata niat yang benar sebelum melakukan sesuatu pekerjaan atau amal ibadah. Tujuannya tak lain adalah, supaya pekerjaan atau amal ibadah yang akan dilakukan oleh manusia itu, tidak menjadi sia-sia.
Sebab, dalam agama Islam, yang namanya bekerja itu, bisa menjadi amal ibadah, kalau niat yang dipasang oleh orang yang akan menjalaninya itu adalah karena ia ingin beribadah kepadaNya. Tapi, kalau ia bekerja dengan niat semata-mata ingin mendapat kedudukan dan harta yang berlimpah, maka menurut para ulama, pekerjaannya saat itu tidak akan dinilai sebagai ibadah. Sayangkan jika sudah bekerja mati-matian, tapi oleh Allah akhirnya tidak dianggap sebagai amal ibadah?
Karena itulah, menurut para ulama, penting sekali bagi kita untuk memperhatikan betul masalah menata niat yang benar tersebut. Kalau nata niatnya sudah benar, maka ibarat pepatah, sambil menyelam minum air, insya Allah dua-tiga pulau akan terlampaui. Kalau sudah terlampaui, maka mau apa saja, insya Allah akan terasa lebih enak dan lebih ringan.
***
BAGAIMANA caranya untuk kita bisa mengetahui apakah niat yang kita tata saat itu sudah benar atau belum? Ada beberapa alat ukur yang bisa kita pakai sebagai acuan untuk mengetahui apakah niat kita sudah benar atau belum. Diantaranya adalah: Satu, apakah pekerjaan atau amal ibadah yang kita lakukan itu terasa berat atau ringan ketika mengerjakannya? Kalau terasa ringan dan menyenangkan, insya Allah itu berarti niatnya sudah masuk. Sebaliknya, jika terasa berat dan agak ares-aresan untuk mengerjakannya, berarti masih ada yang tidak beres dari niat yang kita bangun saat itu.
Dua, apakah pekerjaan atau amal ibadah yang kita lakukan saat itu terasa makin membuat kita menjadi tambah dekat, tambah cinta dan tambah senang kepada Allah-RasulNya, atau malah tambah jauh? Kalau ”ya”, berarti pekerjan atau amal ibadah itu bisa tetap diteruskan. Sebaliknya, jika ”tidak”, maka segeralah benahi tatanan niat yang ada di dalam hati kita.
Tiga, apakah pekerjaan atau amal ibadah yang kita kerjakan itu terasa mendatangkan ketenangan dan ketenteraman dalam hati dan dalam rumah kita? Atau malah sebaliknya? Jika yang kita peroleh adalah ketenangan dan ketenteraman dalam hati dan keluarga kita, maka bolehlah pekerjaan atau amal ibadah itu kita lanjutkan. Syukur jika bisa mbarokahi semua makhluk yang ada di sekeliling kita. Bagaimana kalau malah sebaliknya?
”Benahi niatmu dan berusahalah untuk selalu bangun yakin, bahwa Gusti Allah pasti akan memberi ente petunjuk ke jalan yang benar. Setelah itu, rasakan bagaimana perubahan yang terjadi di dalam hati dan kehidupanmu,” ujar para ulama.
***
”NIAT saja belum cukup, Bung!” teriak seorang teman. Ia, betul sekali. Selain niat yang benar, juga masih dibutuhkan hal lain yang perlu diperhatikan oleh orang yang ingin beribadah secara benar kepada Tuhan Yang Sebenarnya. Yaitu, soal cara, waktu dan tempat untuk melakukan aktivitas pekerjaan atau ibadah itu, haruslah dilakukan dengan tata cara yang benar dan tepat. 
Niatnya benar, tapi dikerjakan dengan cara yang tidak benar, sama saja bohong. Begitu juga halnya, ketika niatnya sudah benar, caranya juga sudah benar, tapi waktu mengerjakannya tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkanNya, malah bisa jadi akan mendatangkan kemudharatan bagi yang mengerjakannya. Apalagi jika mengerjakannya di tempat yang tidak benar. Bukan pahala yang akan kita dapatkan. Tapi, malah sebaliknya, caci-maki dan kutukan dari orang-orang yang ada di sekeliling kita.
Seperti yang dilakukan oleh istri teman saya. Ketika ia berada di dalam rumah, ia ndak pernah dandan. Baju yang dipakainya kalau sedang berada di rumah, tak pernah ganti. Seolah-olah ia hanya punya satu baju. Padahal, aslinya, di dalam lemarinya, ada banyak baju --- dan bahkan penuh sesak --- dari berbagai merk dan mode. Tapi, anehnya, selama berada di dalam rumah --- terutama sejak ia sudah punya anak ---, ia tak pernah mau berhias barang satu kalipun untuk suaminya.
Tapi, begitu dia mau keluar rumah untuk sebuah keperluan --- misalnya belanja ke pasar atau pergi kondangan manten --- ia berhias habis-habisan. Semua pakaian yang ada di dalam lemarinya, ia coba satu demi satu. Begitu juga semua jenis pewarna pipi yang ada di atas buffet, dia goreskan ke mukanya tak ubahnya seperti seorang selebritis. Termasuk bibirnya pun tak luput disruput oleh gincu dengan warna yang menyala.
Sungguh sangat kontradiksi sekali ketika ia sedang berada di dalam rumah. Ketika ditegur oleh sang suami agar jangan berlebihan dalam menghias diri, sang istri malah sibuk pidato sendiri. Seolah-olah ia sedang menyampaikan pokok pikirannya di dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ”Ini semua kan saya lakukan untuk menjaga nama baikmu, biar ndak diomongin dan jadi rasan-rasan orang. Apakah kamu ndak merasa malu jika istrimu ini jadi bahan olok-olokan orang lain hanya karena ndak berhias diri saat menghadiri sebuah pesta perkawinan?” ujar sang istri dengan maksud untuk ’membenarkan’ apa yang telah ia lakukan saat itu.
”Aneh betul istriku itu. Masak ia berhias diri untuk keperluan menjaga image supaya tidak diolok-olok oleh orang lain? Padahal ia sudah tahu, bahwa Kanjeng Nabi Saw pernah bersabda,  bahwa seorang wanita itu berhias hanya untuk suaminya, bukan untuk orang lain. Apa peduli saya dengan anggapan orang lain? Terserah orang lain mau bilang apa. Memangnya tujuan seorang istri berhias diri itu untuk menyenangkan orang lain, bukan menyenangkan suaminya sendiri? Edan tenan!” kata teman saya. 
Akibat sang istri tak pernah berhias ketika berada di rumah, sampai-sampai sang suami mengaku, ia tak mau melihat wajah istrinya. Waaah ... betul-betul gawat. Saya pun hanya bisa mengelus dada, seraya berkata dalam hati: ”Untung kamu hanya tak mau melihat wajah istrimu. Coba bayangkan bagaimana kalau kamu sampai melirik wajah istri tetanggamu, bisa berbahaya bukan?” ***

| 10 Oktober 2010 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar