NIAT itu
ibarat kompas bagi manusia. Ia berfungsi sebagai penuntun dan penunjuk jalan
supaya manusia tidak tersesat ketika melakukan sebuah perjalanan. Karena itu, Kanjeng Nabi Saw selalu mengingatkan
umatnya agar memperhatikan betul soal bagaimana caranya menata niat yang benar
sebelum melakukan sesuatu pekerjaan atau amal ibadah. Tujuannya tak lain
adalah, supaya pekerjaan atau amal ibadah yang akan dilakukan oleh manusia itu,
tidak menjadi sia-sia.
Sebab, dalam agama Islam, yang namanya
bekerja itu, bisa menjadi amal ibadah, kalau niat yang dipasang oleh orang yang
akan menjalaninya itu adalah karena ia ingin beribadah kepadaNya. Tapi, kalau
ia bekerja dengan niat semata-mata ingin mendapat kedudukan dan harta yang
berlimpah, maka menurut para ulama, pekerjaannya saat itu tidak akan dinilai
sebagai ibadah. Sayangkan jika sudah bekerja mati-matian, tapi oleh Allah akhirnya
tidak dianggap sebagai amal ibadah?
Karena itulah, menurut para ulama, penting
sekali bagi kita untuk memperhatikan betul masalah menata niat yang benar tersebut.
Kalau nata niatnya sudah benar, maka ibarat pepatah, sambil menyelam minum air,
insya Allah dua-tiga pulau akan terlampaui. Kalau sudah terlampaui, maka mau
apa saja, insya Allah akan terasa lebih enak dan lebih ringan.
***
BAGAIMANA caranya untuk kita bisa mengetahui apakah niat yang kita tata saat itu
sudah benar atau belum? Ada beberapa alat ukur yang bisa kita pakai sebagai
acuan untuk mengetahui apakah niat kita sudah benar atau belum. Diantaranya
adalah: Satu, apakah pekerjaan atau
amal ibadah yang kita lakukan itu terasa berat atau ringan ketika
mengerjakannya? Kalau terasa ringan dan menyenangkan, insya Allah itu berarti niatnya
sudah masuk. Sebaliknya, jika terasa berat dan agak ares-aresan untuk mengerjakannya, berarti masih ada yang tidak
beres dari niat yang kita bangun saat itu.
Dua, apakah
pekerjaan atau amal ibadah yang kita lakukan saat itu terasa makin membuat kita
menjadi tambah dekat, tambah cinta dan tambah senang kepada Allah-RasulNya,
atau malah tambah jauh? Kalau ”ya”, berarti pekerjan atau amal ibadah itu bisa
tetap diteruskan. Sebaliknya, jika ”tidak”, maka segeralah benahi tatanan niat
yang ada di dalam hati kita.
Tiga, apakah
pekerjaan atau amal ibadah yang kita kerjakan itu terasa mendatangkan
ketenangan dan ketenteraman dalam hati dan dalam rumah kita? Atau malah
sebaliknya? Jika yang kita peroleh adalah ketenangan dan ketenteraman dalam
hati dan keluarga kita, maka bolehlah pekerjaan atau amal ibadah itu kita
lanjutkan. Syukur jika bisa mbarokahi
semua makhluk yang ada di sekeliling kita. Bagaimana kalau malah sebaliknya?
”Benahi niatmu dan berusahalah untuk selalu bangun
yakin, bahwa Gusti Allah pasti akan
memberi ente petunjuk ke jalan yang
benar. Setelah itu, rasakan bagaimana perubahan yang terjadi di dalam hati dan
kehidupanmu,” ujar para ulama.
***
”NIAT saja
belum cukup, Bung!” teriak seorang teman. Ia, betul sekali. Selain niat yang
benar, juga masih dibutuhkan hal lain yang perlu diperhatikan oleh orang yang
ingin beribadah secara benar kepada Tuhan Yang Sebenarnya. Yaitu, soal cara,
waktu dan tempat untuk melakukan aktivitas pekerjaan atau ibadah itu, haruslah dilakukan
dengan tata cara yang benar dan tepat.
Niatnya benar, tapi dikerjakan dengan cara
yang tidak benar, sama saja bohong. Begitu juga halnya, ketika niatnya sudah
benar, caranya juga sudah benar, tapi waktu mengerjakannya tidak sesuai dengan
aturan yang telah ditetapkanNya, malah bisa jadi akan mendatangkan kemudharatan
bagi yang mengerjakannya. Apalagi jika mengerjakannya di tempat yang tidak
benar. Bukan pahala yang akan kita dapatkan. Tapi, malah sebaliknya, caci-maki dan
kutukan dari orang-orang yang ada di sekeliling kita.
Seperti yang dilakukan oleh istri teman
saya. Ketika ia berada di dalam rumah, ia ndak
pernah dandan. Baju yang dipakainya kalau sedang berada di rumah, tak
pernah ganti. Seolah-olah ia hanya punya satu baju. Padahal, aslinya, di dalam
lemarinya, ada banyak baju --- dan bahkan penuh sesak --- dari berbagai merk
dan mode. Tapi, anehnya, selama berada di dalam rumah --- terutama sejak ia
sudah punya anak ---, ia tak pernah mau berhias barang satu kalipun untuk
suaminya.
Tapi, begitu dia mau keluar rumah untuk
sebuah keperluan --- misalnya belanja ke pasar atau pergi kondangan manten --- ia berhias habis-habisan. Semua pakaian yang
ada di dalam lemarinya, ia coba satu demi satu. Begitu juga semua jenis pewarna
pipi yang ada di atas buffet, dia
goreskan ke mukanya tak ubahnya seperti seorang selebritis. Termasuk bibirnya
pun tak luput disruput oleh gincu
dengan warna yang menyala.
Sungguh sangat kontradiksi sekali ketika ia sedang
berada di dalam rumah. Ketika ditegur oleh sang suami agar jangan berlebihan
dalam menghias diri, sang istri malah sibuk pidato sendiri. Seolah-olah ia
sedang menyampaikan pokok pikirannya di dalam sidang umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). ”Ini semua kan saya lakukan untuk menjaga nama baikmu, biar
ndak diomongin dan jadi rasan-rasan orang. Apakah kamu ndak merasa malu jika istrimu ini jadi
bahan olok-olokan orang lain hanya karena ndak
berhias diri saat menghadiri sebuah pesta perkawinan?” ujar sang istri
dengan maksud untuk ’membenarkan’ apa yang telah ia lakukan saat itu.
”Aneh betul istriku itu. Masak ia berhias diri
untuk keperluan menjaga image supaya
tidak diolok-olok oleh orang lain? Padahal ia sudah tahu, bahwa Kanjeng Nabi Saw pernah bersabda, bahwa seorang wanita itu berhias hanya untuk
suaminya, bukan untuk orang lain. Apa peduli saya dengan anggapan orang lain?
Terserah orang lain mau bilang apa. Memangnya tujuan seorang istri berhias diri
itu untuk menyenangkan orang lain, bukan menyenangkan suaminya sendiri? Edan tenan!” kata teman saya.
Akibat sang istri tak pernah berhias ketika
berada di rumah, sampai-sampai sang suami mengaku, ia tak mau melihat wajah
istrinya. Waaah ... betul-betul gawat. Saya pun hanya bisa mengelus dada,
seraya berkata dalam hati: ”Untung kamu hanya tak mau melihat wajah istrimu.
Coba bayangkan bagaimana kalau kamu sampai melirik wajah istri tetanggamu, bisa
berbahaya bukan?” ***
| 10
Oktober 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar