Rabu, 29 Februari 2012

| Menuruti Akal, Melemahnya Iman |

      Seorang yang sangat rasional sekalipun, tidak akan mampu membuktikan secara ilmiah bahwa makhluk gaib itu ada,” ujar seorang kawan ketika ia menyaksikan sebuah film bertema horor yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Memang demikianlah adanya. Akal manusia itu  memang bukanlah alat yang bisa digunakan untuk membuktikan segala kebenaran. Sebab, sebagai ciptaan, sudah barang tentu, manusia pasti memiliki keterbatasan. Termasuk keterbatasan akalnya.
    Karena keterbatasan akal pikiran manusia itulah, maka tidak semua kebenaran dapat dan harus dibuktikan dengan akal. Misalnya, kebenaran tentang adanya makhluk gaib yang telah diciptakan oleh Allah, hanya dapat kita ketahui melalui Al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Oleh karena kita meyakini kebenaran Al-Qur’an dan hadis, maka kita meyakini akan adanya makhluk gaib yang telah diciptakan lebih dulu daripada bangsa manusia. Dari sinilah, kemudian kita dapat meyakini beberapa kisah yang ada dan berkembang di seputar makhluk gaib. Apabila ilmu agama yang kita miliki di dalam menyikapi persoalan dunia gaib itu kurang memadai, maka sangat boleh jadi, keyakinan kita pun bisa saja jadi tergelincir dan akhirnya membawa kita ke dalam kesesatan.
    Sebagian orang yang meyakini keberadaan makhluk gaib itu, terutama di dunia barat sana, ada yang berupaya memberikan bukti ilmiah tentang keberadaan makhluk gaib. Yakni dengan membuat alat yang bisa mendeteksi aura negatif yang ada di suatu ruangan. Barangkali seperti alat detektor logam.  Hanya saja, alat tersebut bekerja untuk mendeteksi kelembaban ruangan di suatu tempat. Jika suhunya di bawah ukuran kelembaban tertentu, maka di situ dianggap ada makhluk gaibnya. Sebab, makhluk gaib itu diyakini senang berada di tempat yang lembab.
Akan tetapi, sekali lagi, hal ini dilakukan karena terlebih dahulu mereka sudah meyakini, bahwa makhluk gaib itu memang ada. Juga, mereka sudah meyakini lebih dulu, bahwa makhluk gaib itu ada dan suka berdomisili di tempat-tempat yang lembab. Padahal, secara ilmiah, kita juga tak bisa membuktikan bahwa makhluk gaib itu suka di tempat-tempat yang lembab. Kecuali, makhluk gaib di situ dimaknai sebagai bakteri atau kuman penyakit, yang senang berada di tempat yang lembab dan tidak kasat mata.
Menguatkan Keyakinan
          Sampai di sini, kita dapat mengambil benang merah, bahwasanya, ada saatnya di mana akal hadir hanya untuk menguatkan keyakinan yang sudah ada. Alhasil, penggunaan akal dalam hal ini adalah sebagai alat untuk menambah atau menguatkan keyakinan. Kebenaran yang diperoleh melalui akal manusia, adalah salah satu alat untuk memperkuat pondasi keyakinan yang telah kita miliki. Apabila seseorang menggunakan akal untuk mengutak-atik keyakinannya, maka yang muncul adalah keragu-raguan. Sebab, yang namanya keyakinan itu, tidak harus sejalan dengan akal.
        Misalnya, Anda sudah yakin bahwasanya Allah telah mengharamkan daging babi. Kemudian, keyakinan ini Anda utak-atik lagi dengan mencari penyebab, mengapa daging babi itu diharamkan. Akal pun akan bekerja mencari alasan. Alhasil, ditemukanlah alasannya. Misalnya, karena ternyata, secara ilmiah, di dalam daging babi itu ditemukan mengandung telur cacing pita yang merugikan kesehatan manusia. Jika akal hanya berhenti sampai di sini, keyakinan Anda barangkali belum tergoyahkan.
Akan tetapi, yang namanya akal itu, wataknya tidak bisa berhenti untuk mencari. Ia akan terus-menerus memunculkan pertanyaan dan mencari jawabannya, hingga pertanyaan yang dimunculkannya tidak bisa ia jawab lagi, barulah ia akan berhenti. Bahkan sudah buntu sekalipun, jika tidak diambil alih oleh keyakinan itu sendiri, maka akal masih akan terus bertanya dan mencari jawabannya.
         Dalam contoh daging babi tadi, setelah menemukan alasan yang berkaitan dengan cacing pita dalam daging babi, maka akal akan mencari jawaban perihal bagaimana caranya untuk menghilangkan atau mematikan cacing pita di dalam daging babi. Apabila hal ini berhasil dilakukan, maka akal bisa berkata, ”berarti daging babi halal, jika cacing pitanya sudah tidak ada.” Dalam kawasan inilah, akal yang telah diperturutkan terus-menerus tanpa kendali keyakinan tadi, pada akhirnya bisa membuat keyakinan itu sendiri menjadi lemah.
         Barangkali, Anda masih ingat tentang kisah bagaimana Nabi Ibrahim as mencari Tuhan? Dalam kisah itu dikatakan, bahwa beliau mencari Tuhan dengan menggunakan akalnya. Beliau mengira benda-benda di langit adalah Tuhan. Setiap dugaan akalnya muncul, dimentahkan lagi oleh akalnya sendiri setelah memikirkan tentang kelemahan pada bintang, bulan dan matahari. Pada akhirnya apa yang terjadi? Allah SWT menuntunnya untuk kembali pada keyakinan. Yakni, beliau bersujud memohon kepada Tuhan Yang Sebenarnya agar diberi petunjuk. Pada tataran ini, akal berfungsi sebagai pemberi bukti untuk masuknya keyakinan.
Fungsi Akal
       Kadang-kadang, akal dan keyakinan atau keimanan itu seringkali kelihatan seperti berseberangan. Misalnya, kasus orang yang bersedia untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Atau, contoh lainya, seseorang yang merelakan dirinya dipaku di tiang salib. Semua itu mereka lakukan demi memenuhi apa yang telah menjadi keyakinannya. Jika kita menggunakan akal untuk mencerna tindakan mereka, maka sangat boleh jadi akal kita tidak akan mampu untuk memahaminya.
Bagaimana mungkin seseorang rela melukai dirinya sendiri atau bahkan menghilangkan nyawanya begitu saja? Bahkan, akal seorang profesor sekali pun, tidak akan bisa memahami tindakan mereka. Namun, jika kita memasuki ke dalam wacana keyakinan mereka, maka kita akan bisa mencerna alasan apa yang membuat mereka bersedia melakukan hal itu. Dalam hal ini, keyakinan itu telah berada di luar batas cerna sang akal.
Apabila dicontohkan pada kisah Nabi Ibrahim as tadi, maka akal itu berfungsi untuk memberikan bukti kepada beliau. Yaitu, bahwa Tuhan itu memang betul-betul ada. Namun, ketika kita masuk dalam kawasan tentang siapakah Tuhan itu, di manakah Dia, bagaimana wujudNya, maka semua itu diambil alih oleh keyakinan. Manusia tidak lagi menggunakan akal. Sebab, jika akal yang digunakannya, maka boleh jadi akan menggoyahkan keyakinan dan tidak mustahil akan menghilangkan keyakinan itu sendiri.
            Hal inilah yang barangkali membuat sebagian orang di dunia ini ada yang tidak begitu yakin tentang keberadaan Tuhan. Sebab, akal masih menguasai diri mereka dan tak ada celah bagi masuknya keyakinan atau keimanan tentang adanya Tuhan. Dalam hal ini, akal itu sendirilah yang pada gilirannya akan berubah menjadi ’tuhan’. 
Menuntun Keyakinan
      Salah seorang kawan pernah berkata, ”Akal itu penting, sebab Allah mengutamakan orang-orang yang berakal.” Tidak ada yang keliru dengan pandangan ini. Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah beberapa kali menyindir orang-orang yang tidak mau beriman kepadaNya dengan perkataan ”Apakah kamu tidak berakal/berpikir?” Sindiran Allah itu menunjukkan bahwa akal yang dianugerahkan Allah itu harus dipakai, agar bisa menjadi yakin.
Orang bisa menjadi yakin itu, jika ada bukti. Bukti itu, atas petunjuk dariNya, dapat dicari sendiri oleh akal. Sebagaimana halnya dalam kisah Nabi Ibrahim as ketika mencari Tuhan. Akal beliau membaca tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Melihat keteraturan alam, memberikan bukti kepadanya bahwa semua itu pastilah karena ada Zat yang menciptakannya.
      Di samping itu, bukti tersebut juga bisa diberikan langsung oleh Tuhan melalui RasulNya. Hal itulah yang kita kenal dengan istilah mu’jizat-mu’jizat yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Terkadang, ada pula orang yang mengalami kejadian luar biasa, kemudian menjadi bukti baginya untuk menambah keyakinannya kepada Tuhan.
Kesemua bukti itu, baik yang dicari oleh akal maupun yang diberikan langsung oleh Allah, pada gilirannya, memang perlu diolah oleh akal itu sendiri untuk menuntun keyakinan agar bisa sampai pada kesejatianNya. Namun, ada batas-batas tertentu di mana akal harus berhenti memainkan perannya dan diambil alih oleh keyakinan. Orang yang berilmulah yang dapat mengetahui batas-batas itu. Sebab, ilmu itu meliputi apa yang dimiliki akal dan apa yang dimiliki hati.
     Dengan kata lain, pada dasarnya, akal itu dapat digunakan selama berfungsi untuk menambah keyakinan atau menjadi jalan bagi masuknya keyakinan. Sedangkan ilmu, digunakan untuk meningkatkan kualitas keimanan. Apabila kita tidak memiliki ilmu, maka keyakinan kita bisa menjadi rusak atau tersesat.
Sedang jika kita hanya memperturutkan akal, maka keyakinan atau keimanan kita bisa luntur atau melemah. Sebaliknya, orang yang tidak menggunakan akalnya sama sekali, maka ia pun gampang terseret ke dalam keyakinan yang fanatik. Biasanya, keyakinan semacam itu kurang mempedulikan keyakinan orang lain. Akibatnya, penghormatan terhadap sesama makhluk pun jadi terabaikan.
      Alhasil, orang yang tidak menggunakan akalnya, maka sulit baginya untuk bisa memperoleh ilmu yang bermanfaat. Sedangkan orang yang berilmu, maka sudah barang tentu, ia tergolong orang yang memfungsikan akalnya. Oleh karena itu, sebaik-baik orang beriman adalah, mereka yang memiliki akal yang terkendali dan ilmu yang bermanfaat. Dan yang terbaik di antara mereka itu adalah, orang yang memiliki kedua hal tersebut disertai dengan hati yang damai. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar