”Seorang yang sangat rasional
sekalipun, tidak akan mampu membuktikan secara ilmiah bahwa makhluk gaib itu
ada,” ujar seorang kawan ketika ia menyaksikan sebuah film bertema horor yang
ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Memang demikianlah adanya.
Akal manusia itu memang bukanlah alat
yang bisa digunakan untuk membuktikan segala kebenaran. Sebab, sebagai ciptaan,
sudah barang tentu, manusia pasti memiliki keterbatasan. Termasuk keterbatasan
akalnya.
Karena
keterbatasan akal pikiran manusia itulah, maka tidak semua kebenaran dapat dan
harus dibuktikan dengan akal. Misalnya, kebenaran tentang adanya makhluk gaib
yang telah diciptakan oleh Allah, hanya dapat kita ketahui melalui Al-Qur’an
dan hadis Nabi saw. Oleh karena kita meyakini kebenaran Al-Qur’an dan hadis,
maka kita meyakini akan adanya makhluk gaib yang telah diciptakan lebih dulu
daripada bangsa manusia. Dari sinilah, kemudian kita dapat meyakini beberapa
kisah yang ada dan berkembang di seputar makhluk gaib. Apabila ilmu agama yang
kita miliki di dalam menyikapi persoalan dunia gaib itu kurang memadai, maka
sangat boleh jadi, keyakinan kita pun bisa saja jadi tergelincir dan akhirnya
membawa kita ke dalam kesesatan.
Sebagian
orang yang meyakini keberadaan makhluk gaib itu, terutama di dunia barat sana,
ada yang berupaya memberikan bukti ilmiah tentang keberadaan makhluk gaib.
Yakni dengan membuat alat yang bisa mendeteksi aura negatif yang ada di suatu
ruangan. Barangkali seperti alat detektor logam. Hanya saja, alat tersebut bekerja untuk
mendeteksi kelembaban ruangan di suatu tempat. Jika suhunya di bawah ukuran
kelembaban tertentu, maka di situ dianggap ada makhluk gaibnya. Sebab, makhluk
gaib itu diyakini senang berada di tempat yang lembab.
Akan tetapi, sekali
lagi, hal ini dilakukan karena terlebih dahulu mereka sudah meyakini, bahwa
makhluk gaib itu memang ada. Juga, mereka sudah meyakini lebih dulu, bahwa
makhluk gaib itu ada dan suka berdomisili di tempat-tempat yang lembab.
Padahal, secara ilmiah, kita juga tak bisa membuktikan bahwa makhluk gaib itu
suka di tempat-tempat yang lembab. Kecuali, makhluk gaib di situ dimaknai
sebagai bakteri atau kuman penyakit, yang senang berada di tempat yang lembab
dan tidak kasat mata.
Menguatkan
Keyakinan
Sampai di sini, kita dapat
mengambil benang merah, bahwasanya, ada saatnya di mana akal hadir hanya untuk
menguatkan keyakinan yang sudah ada. Alhasil, penggunaan akal dalam hal ini
adalah sebagai alat untuk menambah atau menguatkan keyakinan. Kebenaran yang
diperoleh melalui akal manusia, adalah salah satu alat untuk memperkuat pondasi
keyakinan yang telah kita miliki. Apabila seseorang menggunakan akal untuk
mengutak-atik keyakinannya, maka yang muncul adalah keragu-raguan. Sebab, yang
namanya keyakinan itu, tidak harus sejalan dengan akal.
Misalnya,
Anda sudah yakin bahwasanya Allah telah mengharamkan daging babi. Kemudian,
keyakinan ini Anda utak-atik lagi dengan mencari penyebab, mengapa daging babi
itu diharamkan. Akal pun akan bekerja mencari alasan. Alhasil, ditemukanlah
alasannya. Misalnya, karena ternyata, secara ilmiah, di dalam daging babi itu
ditemukan mengandung telur cacing pita yang merugikan kesehatan manusia. Jika
akal hanya berhenti sampai di sini, keyakinan Anda barangkali belum
tergoyahkan.
Akan tetapi, yang
namanya akal itu, wataknya tidak bisa berhenti untuk mencari. Ia akan
terus-menerus memunculkan pertanyaan dan mencari jawabannya, hingga pertanyaan
yang dimunculkannya tidak bisa ia jawab lagi, barulah ia akan berhenti. Bahkan
sudah buntu sekalipun, jika tidak diambil alih oleh keyakinan itu sendiri, maka
akal masih akan terus bertanya dan mencari jawabannya.
Dalam
contoh daging babi tadi, setelah menemukan alasan yang berkaitan dengan cacing
pita dalam daging babi, maka akal akan mencari jawaban perihal bagaimana
caranya untuk menghilangkan atau mematikan cacing pita di dalam daging babi.
Apabila hal ini berhasil dilakukan, maka akal bisa berkata, ”berarti daging
babi halal, jika cacing pitanya sudah tidak ada.” Dalam kawasan inilah, akal
yang telah diperturutkan terus-menerus tanpa kendali keyakinan tadi, pada
akhirnya bisa membuat keyakinan itu sendiri menjadi lemah.
Barangkali,
Anda masih ingat tentang kisah bagaimana Nabi Ibrahim as mencari Tuhan? Dalam
kisah itu dikatakan, bahwa beliau mencari Tuhan dengan menggunakan akalnya.
Beliau mengira benda-benda di langit adalah Tuhan. Setiap dugaan akalnya
muncul, dimentahkan lagi oleh akalnya sendiri setelah memikirkan tentang kelemahan
pada bintang, bulan dan matahari. Pada akhirnya apa yang terjadi? Allah SWT
menuntunnya untuk kembali pada keyakinan. Yakni, beliau bersujud memohon kepada
Tuhan Yang Sebenarnya agar diberi petunjuk. Pada tataran ini, akal berfungsi
sebagai pemberi bukti untuk masuknya keyakinan.
Fungsi Akal
Kadang-kadang, akal dan keyakinan
atau keimanan itu seringkali kelihatan seperti berseberangan. Misalnya, kasus
orang yang bersedia untuk melakukan aksi bom bunuh diri. Atau, contoh lainya,
seseorang yang merelakan dirinya dipaku di tiang salib. Semua itu mereka
lakukan demi memenuhi apa yang telah menjadi keyakinannya. Jika kita
menggunakan akal untuk mencerna tindakan mereka, maka sangat boleh jadi akal
kita tidak akan mampu untuk memahaminya.
Bagaimana mungkin seseorang
rela melukai dirinya sendiri atau bahkan menghilangkan nyawanya begitu saja?
Bahkan, akal seorang profesor sekali pun, tidak akan bisa memahami tindakan
mereka. Namun, jika kita memasuki ke dalam wacana keyakinan mereka, maka kita
akan bisa mencerna alasan apa yang membuat mereka bersedia melakukan hal itu.
Dalam hal ini, keyakinan itu telah berada di luar batas cerna sang akal.
Apabila dicontohkan
pada kisah Nabi Ibrahim as tadi, maka akal itu berfungsi untuk memberikan bukti
kepada beliau. Yaitu, bahwa Tuhan itu memang betul-betul ada. Namun, ketika
kita masuk dalam kawasan tentang siapakah Tuhan itu, di manakah Dia, bagaimana
wujudNya, maka semua itu diambil alih oleh keyakinan. Manusia tidak lagi
menggunakan akal. Sebab, jika akal yang digunakannya, maka boleh jadi akan
menggoyahkan keyakinan dan tidak mustahil akan menghilangkan keyakinan itu
sendiri.
Hal
inilah yang barangkali membuat sebagian orang di dunia ini ada yang tidak
begitu yakin tentang keberadaan Tuhan. Sebab, akal masih menguasai diri mereka
dan tak ada celah bagi masuknya keyakinan atau keimanan tentang adanya Tuhan.
Dalam hal ini, akal itu sendirilah yang pada gilirannya akan berubah menjadi
’tuhan’.
Menuntun Keyakinan
Salah seorang kawan pernah berkata,
”Akal itu penting, sebab Allah mengutamakan orang-orang yang berakal.” Tidak
ada yang keliru dengan pandangan ini. Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah beberapa
kali menyindir orang-orang yang tidak mau beriman kepadaNya dengan perkataan ”Apakah
kamu tidak berakal/berpikir?” Sindiran Allah itu menunjukkan bahwa akal
yang dianugerahkan Allah itu harus dipakai, agar bisa menjadi yakin.
Orang bisa menjadi
yakin itu, jika ada bukti. Bukti itu, atas petunjuk dariNya, dapat dicari
sendiri oleh akal. Sebagaimana halnya dalam kisah Nabi Ibrahim as ketika
mencari Tuhan. Akal beliau membaca tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Melihat
keteraturan alam, memberikan bukti kepadanya bahwa semua itu pastilah karena
ada Zat yang menciptakannya.
Di
samping itu, bukti tersebut juga bisa diberikan langsung oleh Tuhan melalui
RasulNya. Hal itulah yang kita kenal dengan istilah mu’jizat-mu’jizat yang
dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Terkadang, ada pula orang yang mengalami
kejadian luar biasa, kemudian menjadi bukti baginya untuk menambah keyakinannya
kepada Tuhan.
Kesemua bukti itu,
baik yang dicari oleh akal maupun yang diberikan langsung oleh Allah, pada
gilirannya, memang perlu diolah oleh akal itu sendiri untuk menuntun keyakinan
agar bisa sampai pada kesejatianNya. Namun, ada batas-batas tertentu di mana akal
harus berhenti memainkan perannya dan diambil alih oleh keyakinan. Orang yang
berilmulah yang dapat mengetahui batas-batas itu. Sebab, ilmu itu meliputi apa
yang dimiliki akal dan apa yang dimiliki hati.
Dengan
kata lain, pada dasarnya, akal itu dapat digunakan selama berfungsi untuk
menambah keyakinan atau menjadi jalan bagi masuknya keyakinan. Sedangkan ilmu,
digunakan untuk meningkatkan kualitas keimanan. Apabila kita tidak memiliki
ilmu, maka keyakinan kita bisa menjadi rusak atau tersesat.
Sedang jika kita
hanya memperturutkan akal, maka keyakinan atau keimanan kita bisa luntur atau
melemah. Sebaliknya, orang yang tidak menggunakan akalnya sama sekali, maka ia
pun gampang terseret ke dalam keyakinan yang fanatik. Biasanya, keyakinan
semacam itu kurang mempedulikan keyakinan orang lain. Akibatnya, penghormatan
terhadap sesama makhluk pun jadi terabaikan.
Alhasil,
orang yang tidak menggunakan akalnya, maka sulit baginya untuk bisa memperoleh
ilmu yang bermanfaat. Sedangkan orang yang berilmu, maka sudah barang tentu, ia
tergolong orang yang memfungsikan akalnya. Oleh karena itu, sebaik-baik orang
beriman adalah, mereka yang memiliki akal yang terkendali dan ilmu yang
bermanfaat. Dan yang terbaik di antara mereka itu adalah, orang yang memiliki
kedua hal tersebut disertai dengan hati yang damai. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar