Rabu, 29 Februari 2012

| Membeli Nikmat Dengan Syukur? |

         Seorang kawan datang menemui saya dan mengeluarkan setumpuk keluhan. Tampaknya, ia sedang pusing dengan masalah kesulitan ekonomi yang tengah melanda keluarganya. Ia berkisah, bahwa ia sudah mendatangi beberapa ustad dan orang-orang yang ia pandang cukup mumpuni dalam soal agama. Tujuannya tiada lain adalah, untuk minta didoakan agar ia  bisa terlepas dari himpitan kesulitan keuangan yang dideritanya. Beberapa di antara mereka ada yang memberi amalan-amalan tertentu dan sebagian lagi menyuruhnya bersedekah. Namun, ada satu hal yang agaknya telah membuat ia menjadi gusar. Semua orang yang ia datangi itu memiliki pesan yang sama. Yakni, ia disuruh bersabar.
            ”Saya disuruh bersabar. Padahal, aslinya, sabar itu sudah menjadi makanan saya setiap hari,” ujarnya masih dengan nada gusar. Kemudian saya memintanya untuk membuka Al-Qur`an surat Ibrahim ayat 7. Dalam ayat tersebut disebutkan, bahwa Allah telah membuat sebuah maklumat. Yakni, barang siapa mau bersyukur, maka akan ditambahkan nikmat baginya. Ia tercenung sejenak ketika membaca ayat tersebut. Detik berikutnya ia bergumam sendiri, “Kalau begitu, berarti saya harus memperbanyak syukur ya, agar semakin banyak nikmat yang diberikan Allah untuk saya?”
            Agaknya, resep itu baru saja ia ketahui. Namun, sejatinya, resep itu sudah kerapkali dipakai banyak orang dan tak jarang pula resep itu terlontar dari mulut siapa saja yang tengah kita ajak bicara, meski pengetahuannya tentang agama terbilang sedikit. Sebab, itu adalah resep yang lagi ngetrend didengung-dengungkan oleh banyak orang. Terutama di masa-masa serba sulit seperti sekarang ini.
            Sekilas, memang tidak ada yang keliru dari resep tersebut. Apalagi hal itu jelas-jelas disebutkan di dalam firman Allah. Akan tetapi, dalam aplikasinya, banyak orang jadi sedikit terprovokasi oleh hawa nafsunya sendiri. Dikatakan demikian karena, sebetulnya, hawa nafsulah yang memiliki banyak keinginan. Dan itu berarti, kita mengharapkan nikmat Allah yang lebih banyak lagi. Pada gilirannya, kita jadi menganggap bahwa kesyukuran sebagai alat untuk membeli nikmat Allah. Kira-kira seperti itulah pemahaman yang diyakini oleh kawan saya tadi. Ia memandang, jika ia memperbanyak kesyukurannya, maka akan semakin banyak pula nikmat Allah yang akan ia peroleh. Alhasil, bukan kesyukuran yang menjadi fokus utamanya, tetapi nikmat Allah yang dijanjikan itulah yang sangat ia harapkan, sehingga ia baru mau bersyukur. Sementara kata nikmat itu sendiri ia artikan sebagai kesenangan duniawi, atau lebih spesifik lagi, kesenangan dalam hal ekonominya.
Tujuan Bersyukur
            Dampak dari pemahaman seperti itu adalah, orang bisa jadi akan emoh (tidak mau) bersyukur tatkala ia melihat nikmat yang diinginkan oleh hawa nafsunya itu belum juga kunjung datang. Lalu ia akan menganggap bahwa resep dari ayat Al-Qur’an itu tidak mujarab. Sekarang, mari kita coba meluruskan tentang tujuan kita bersyukur. Apakah tujuan kita bersyukur itu agar kita bisa memperoleh nikmat yang lebih banyak, ataukah kita bersyukur itu karena kita merasa bahwa kita telah memperoleh nikmat Allah yang begitu banyak?
            Apabila kita bersyukur dengan tujuan agar memperoleh nikmat Allah yang lebih banyak lagi, maka itu berarti kita belum memahami arti sebuah kesyukuran. Di samping itu, juga berarti bahwa kita belum melihat kebesaran nikmat Tuhan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Misalnya saja, kelahiran kita ke bumi ini dari yang tadinya tidak ada, merupakan suatu karunia nikmat Tuhan yang tak ternilai. Belum lagi karunia lainnya, seperti udara yang kita hirup, penglihatan, pendengaran dan anggota tubuh lainnya serta hati yang kita miliki. Kemudian segala makanan dan minuman yang pernah masuk ke dalam tubuh kita ini, pun belum kita hitung sebagai nikmat Tuhan. Demikian pula dengan lisan kita yang diberi kemampuan untuk memujiNya, belum kita hitung sebagai nikmatNya. Termasuk keimanan yang dimasukkan ke dalam hati kita masing-masing, belum juga kita hitung sebagai nikmat dariNya.
            Jika demikian, di manakah gerangan dalam ruang kehidupan kita ini yang di situ tidak ada nikmat Tuhan? Apabila seseorang menghajatkan seluruh hidupnya hanya diisi dengan beribadah untuk bersyukur kepadaNya atas semua nikmat itu, maka tentu saja hal itu tak akan cukup. Lalu bagaimana mungkin kita ingin ’membeli’ nikmat yang lebih banyak lagi dengan kesyukuran kita, padahal untuk membayar nikmat yang telah kita peroleh saja, belum cukup dengan beribadah sepanjang umur kita? Oleh karena itu, mulai sekarang, mari kita belajar mengubah niat kita dalam bersyukur. Jangan sampai niat kita bersyukur itu adalah untuk memperoleh tambahan nikmat yang lebih banyak. Akan tetapi, bersyukurlah atas segala nikmat yang telah kita peroleh, tanpa memikirkan hadiah tambahan nikmat yang akan diberikan Allah atas diri kita.
Lima Kategori Orang Bersyukur
            Apabila kita menilik berbagai macam latar belakang orang yang bersyukur itu, maka ada lima jenis orang yang bersyukur. Pertama, orang yang bersyukur ketika memperoleh sesuatu yang membuatnya menjadi senang atau gembira. Misalnya, senang ketika mendapat hadiah atau sewaktu menerima amplop gajian. Bersyukur pada saat yang menyenangkan hati seperti itu, sudah barang tentu suatu hal yang lumrah. Artinya, kita sadar betul bahwa kesenangan atau kegembiraan itu karena kasih sayang dan nikmat Allah. Apabila ada orang yang sampai lupa bersyukur ketika senang, maka ia termasuk orang yang lupa diri atau lupa pada Zat yang telah memberinya kesenangan itu.
            Kedua, orang yang bersyukur ketika ingat masa lalu. Misalnya, seseorang bersyukur karena kini ia sudah memiliki rumah, kendaraan pribadi, bisa mencicipi makanan  lezat, serta hidup serba terpenuhi. Sebab, ia teringat masa lalunya, di mana ia waktu itu belum memiliki rumah sendiri, hidupnya serba kekurangan dan sarat dengan kesusahan. Hal ini pun lumrah. Sudah sepatutnyalah seseorang bersyukur atas keberhasilan yang sudah ia peroleh. Apalagi mengingat adanya perubahan yang signifikan di dalam hidupnya, dari yang tadinya serba kekurangan menjadi serba kecukupan.
            Ketiga, orang yang selalu mencari celah agar dapat bersyukur. Artinya, seseorang bersyukur bukan semata-mata karena sesuatu kesenangan yang ia peroleh, namun dalam kesusahan pun, ia tetap berjuang mencari celah agar bisa bersyukur. Misalnya, seseorang yang kehilangan uang, sudah barang tentu ia  akan merasa sedih. Ia akan kecewa, karena keperluan yang semestinya dapat terpenuhi dengan adanya uang itu, justru jadi tertunda karena uangnya hilang. Namun, ia masih bersyukur, sebab hanya uangnya saja yang hilang, sedangkan barang-barangnya yang lain masih utuh alias tidak hilang.
            Keempat, orang yang selalu bersyukur di segala keadaan. Orang seperti ini tidak mengenal kondisi. Meskipun ia tertimpa suatu musibah, ia tetap bersyukur. Ia bersyukur bukan karena ia melihat masih banyak nikmat Allah lainnya yang telah ia terima. Sebab, kesyukuran untuk hal semacam itu merupakan suatu bentuk kesyukuran yang lainnya lagi. Ia bersyukur atas musibah yang menimpanya  itu, karena ia merasa yakin bahwa tidaklah Allah menimpakan musibah kepadaNya, melainkan pasti karena itulah yang terbaik bagi diriNya saat itu. Di sinilah letak pentingnya menanamkan prasangka baik kepada Allah. Sehingga, di balik sebuah musibah sekalipun, kita tetap bisa melihat kebaikan Allah atas diri kita. Untuk itulah, maka datangnya musibah itu, tetap perlu untuk disyukuri. Mereka yang bisa melakukan kesyukuran semacam ini, adalah orang-orang yang diberi kemampuan olehNya untuk melihat hikmah di balik kejadian.    
            Kelima, orang yang bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain. Bersyukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita adalah hal yang sudah sepatutnya dilakukan. Namun, bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain – sementara kita sendiri tampaknya tidak memperoleh nikmat yang sama bentuknya seperti orang lain itu – merupakan suatu hal yang memerlukan kelapangan hati. Apalagi jika orang yang memperoleh nikmat Allah itu adalah orang yang membenci diri kita atau pernah berlaku kurang baik kepada kita.
Sudah barang tentu, akan sulit jadinya jika kita mensyukuri atas nikmat yang ia peroleh, padahal ia adalah orang yang memusuhi kita. Oleh karena itu, hanya sedikit orang yang bisa melakukannya. Yaitu orang yang di dalam hatinya dilimpahi oleh Allah rasa kasih sayang yang besar terhadap sesama. Sehingga, ketika ia melihat seseorang memperoleh nikmatNya, ia tidak melihat pada aspek siapa yang telah memperoleh nikmat itu. Melainkan ia melihat adanya kasih sayang Allah kepada makhlukNya. Sedang, setiap kita melihat adanya kasih sayang Allah, maka sudah sepatutnyalah kita syukuri.
Kelima macam orang yang bersyukur tadi, bukanlah berdiri sendiri dan bersifat baku. Boleh jadi, seseorang memiliki seluruh karakteristik di atas, atau hanya beberapa point saja. Namun, dari kelima point tersebut di atas, barangkali Anda dapat melihat point mana saja yang patut dimiliki dan point mana saja yang sebaiknya dimiliki. Semuanya kembali kepada perjuangan kita masing-masing dalam menempatkan kesyukuran sebagai sebuah jalan untuk beribadah kepadaNya.
Empat Macam Cara Bersyukur
Adapun jika dilihat dari cara  yang ditempuh oleh seseorang dalam bersyukur, dapat kita kelompokkan menjadi empat macam. Pertama, bersyukur dengan mengucapkan hamdalah. Kata alhamdulillah merupakan kalimat pujian kepada Allah. Kalimat ini umum dipakai untuk menunjukkan rasa kesyukuran seorang hamba kepada Allah. Bersyukur seperti ini, biasa disebut dengan bersyukur secara lisan. Kedua, bersyukur dengan melakukan ibadah sunnah. Cara ini pun biasanya dipakai oleh mereka yang ingin melengkapi rasa syukurnya. Menurut pahamnya, dengan melakukan ibadah sunnah, seperti shalat malam atau puasa sunnah, maka rasa syukurnya akan diterima oleh Allah.
Ketiga, bersyukur dengan cara bersedekah atau berderma. Cara ini tak jarang kita temui pada mereka yang merasa senang dengan keberhasilannya. Sehingga, ia rela mengeluarkan sedekah atau berderma sebagai tanda kesyukurannya. Ketiga cara tersebut tidak ada yang keliru. Semuanya, sudah barang tentu, sah-sah saja dilakukan oleh seorang hamba untuk menunjukkan rasa kesyukurannya. Namun, di samping ketiga cara tersebut, ada cara keempat yang juga sepatutnya dilakukan oleh seorang hamba Allah. Yakni, bersyukur dengan cara belajar memfungsikan secara baik semua nikmat Allah yang telah ia terima.
Misalnya, Allah telah menganugerahkan mata kepada kita, maka fungsikanlah mata itu dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh kebaikan. Setiap mata kita melihat sesuatu, maka sudah sepatutnya jika apa yang kita lihat itu diolah sedemikian rupa oleh hati, dalam rangka untuk mengingat dan bersyukur kepada Allah. Demikian pula dengan pendengaran, berikut anggota-anggota tubuh lainnya seperti tangan, kaki dan lain-lain. Kesemuanya difungsikan untuk kebaikan dan mengingat Allah serta bersyukur kepadaNya. Termasuk juga hati kita ini. Sudah sepatutnyalah kita fungsikan dengan baik agar kita bisa selalu ingat dan bersyukur kepadaNya.
Kesyukuran dengan cara seperti itu, akan membawa diri kita pada suatu proses pembenahan diri yang berlangsung secara terus-menerus. Hal inilah yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 12. Dalam ayat itu disebutkan, “Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri.” Alhasil, tak ada yang diuntungkan dari kesyukuran kita itu melainkan diri kita sendiri. Bersyukur dengan cara memfungsikan seluruh anggota tubuh kita ini agar berbuat untuk kebajikan, serta membuat kita dapat selalu ingat dan bersyukur kepadaNya, pada dasarnya, hasilnya akan kembali kepada diri kita sendiri juga. Kita sendirilah yang akan merasakan dampak dari kesyukuran kita itu.
      Dikatakan demikian, karena dengan berfungsinya seluruh anggota tubuh secara benar – dalam pengertian menuju ke arah terwujudnya insan kaamil –, maka kita akan semakin dekat kepadaNya. Demikian itulah yang disebut sebagai nikmat yang bertambah. Sebab, sejatinya, kita dapat memfungsikan anggota tubuh secara benar itu, tak lain dikarenakan adanya kemurahan dan pertolongan rahmat Allah atas diri kita pula.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar