Suatu ketika, seorang kawan tengah asyik menonton tayangan yang digelar sebuah stasiun televisi swasta. Sesekali ia mengangguk, dan tak jarang ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Wah, ternyata masih ada orang yang lebih menderita daripada saya, ya?” ujarnya mengomentari tayangan yang ditontonnya itu. Sejurus kemudian, ia pun berubah peran menjadi seorang ‘humas’ yang bertugas memberikan penjelasan tentang apa yang baru saja ditontonnya.
“Siapa yang tidak miris. Mosok kopi segelas diminum bapak, ibu dan anak. Itupun dari hasil memulung si anak selama sehari. Makannya pun cuma sekali sehari. Kok bisa tahan, ya?” tanyanya tanpa meminta jawaban. Sedetik kemudian ia pun kembali melanjutkan komentarnya.
”Waduh, syukur saya masih bisa makan tiga kali sehari, meskipun cuma lauk seadanya. Bahkan sekedar nasi dan sayur tanpa lauk pun, sudah syukur sekali dibandingkan dengan nasib keluarga itu. Mudah-mudahan saya tidak mengalami nasib yang seperti itu,” doanya dengan penuh pengharapan agar Tuhan benar-benar mengabulkan keinginannya.
Komentar dan doa seperti itu, sebetulnya bukan saja dialami oleh kawan saya tersebut. Namun, kebanyakan orang, jika melihat penderitaan orang lain, yang muncul di dalam dirinya – selain rasa kasihan tentunya – adalah, rasa syukur karena tidak mengalami nasib atau penderitaan yang sama. Ujung-ujungnya, berharap agar Tuhan tidak menimpakan nasib atau penderitaan semacam itu terhadap dirinya.
Apakah hal itu tergolong perbuatan yang salah? Sudah barang tentu tidak. Kesyukuran adalah sebuah kebutuhan manusia agar dapat melihat sisi positif dari kehidupan yang telah dimilikinya. Begitu pula, seseorang sah-sah saja jika berharap kepada Tuhan Yang Sebenarnya agar dirinya terhindar dari penderitaan.
Tidak Pantas
Sebagian orang, barangkali akan menganggap bahwa perbuatan seperti itu sama halnya dengan bersyukur atau bergembira di atas penderitaan orang lain. Mereka memandang bahwa rasa syukur itu merupakan suatu bentuk ungkapan kegembiraan dengan cara memuji Tuhan. Karenanya, menurut mereka, adalah tidak pantas jika kita menunjukkan kegembiraan di tengah penderitaan orang lain.
Pandangan seperti itu pun tidak bisa disalahkan. Sebab, memang, ketika kita bersyukur atas nasib kita karena melihat penderitaan nasib orang lain, maka pada saat itu, seakan-akan kita melihat kehidupan orang lain sama sekali tidak memiliki hubungannya dengan diri kita. Padahal, Rasulullah saw telah menegaskan, bahwa sesungguhnya setiap orang beriman itu merupakan saudara bagi yang lainnya. Alhasil, bagaimana mungkin kita melihat nasib orang lain bukan sebagai nasib saudara kita sendiri?
Pada tataran inilah, ada baiknya jika kita berhenti memikirkan diri sendiri. Jika hal ini yang kita lakukan, maka kita akan lebih banyak berdo’a untuk diri kita sendiri dan tak terlintas dalam hati untuk belajar mendo’akan orang lain. Bahkan, orang-orang bijak mengatakan, bahwa lebih utama Anda mendo’akan sesama daripada Anda hanya berdo’a untuk diri sendiri. Mengapa demikian?
Mari kita gunakan logika yang sederhana. Rasulullah saw mengatakan, bahwasanya setiap orang yang beriman itu adalah bersaudara. Sedangkan yang namanya bersaudara itu, ibaratnya adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka anggota tubuh yang lainnya pun akan ikut merasakan dampaknya. Yakni, merasa sakit atau lemah.
Misalnya, kepala Anda yang pusing. Tapi akibatnya, tangan Anda jadi tak bisa mengerjakan sesuatu dengan baik, dan kaki Anda pun jadi enggan untuk melangkah. Apabila kepala yang pusing tadi sembuh, maka organ-organ tubuh Anda akan dapat beraktivitas secara normal kembali. Nah, dalam hal ini, sudah barang tentu, anggota-anggota tubuh yang lain berharap agar si kepala cepat sembuh dari pusingnya.
Sebab, jika belum sembuh juga, maka aktivitas mereka pun jadi ikut-ikutan terganggu. Dalam kawasan ini, pada dasarnya, setiap orang akan menjadi salah satu bagian dari anggota tubuh tersebut. Ada yang menjadi tangan, kaki, mata, hati, jantung, usus dan lain-lain. Nah, jika Anda diibaratkan sebagai bagian kaki dari anggota tubuh tadi, misalnya, maka bukankah Anda akan berdo’a bagi kesembuhan anggota tubuh yang sakit itu (baca: kepala)? Kemudian jika si kepala sembuh, maka Anda sebagai kaki pun akan dapat berjalan dengan mantap.
Demikian pula, jika kita lebih senang mendo’akan kebaikan bagi orang lain. Maka dengan sendirinya, kita telah mengharapkan kebaikan bagi diri kita sendiri pula. Sebaliknya, jika kita cenderung lebih mengharapkan keburukan bagi orang lain, maka silahkan menunggu waktu di mana Anda kelak akan menerima keburukan yang Anda harapkan bagi orang lain itu.
Lebih Utama
Di samping itu, dalam sebuah hadis, Rasulullah saw pernah bersabda, bahwa bagi setiap orang yang berdo’a itu akan ada malaikat yang selalu berkata, ”Semoga untukmu juga demikian adanya.” Alhasil, jika kita mendo’akan kebaikan bagi orang lain – kendati pun orang itu telah berbuat buruk terhadap kita – maka sama halnya dengan kita telah mendo’akan kebaikan yang sama untuk diri kita sendiri.
Oleh karena itu, mendo’akan orang lain, jauh lebih utama daripada hanya mendo’akan diri sendiri. Sebab, jika kita mendo’akan kebaikan bagi orang lain, maka dengan sendirinya kita pun akan memperoleh kebaikan pula. Sedangkan jika hanya mendo’akan diri sendiri, maka hal itu berarti kita hanya berpikir untuk keuntungan diri sendiri. Bukankah Allah lebih suka kepada hambaNya yang mengharapkan kebaikan bagi orang lain?
Untuk memperjelas hal ini, ada sebuah kisah dari zaman Nabi Musa as. Pada saat itu, ada seorang bani Israil yang berjalan melewati gurun pasir. Melihat pasir yang membentang bagai tak bertepi itu, ia berkata dalam hati: ”Ya Tuhan, sekiranya seluruh butir pasir ini berubah menjadi bulir-bulir gandum, maka tak akan ada kaum bani Israil yang menderita kelaparan.” Bisikan hatinya yang tulus itu merupakan sebuah pengharapan untuk sesamanya. Dan Allah menjawabnya dengan memberikan imbalan surga bagi orang itu.
Adapun dalil lainnya adalah, sabda Rasulullah saw yang memerintahkan umatnya untuk menyebarkan salam. Bahkan beliau mengatakan, bahwa tindakan menyebarkan salam itu merupakan salah satu cara untuk menimbulkan rasa kasih sayang kepada sesama. Salam adalah sebuah do’a agar orang lain memperoleh keselamatan, kesejahteraan, kasih sayang dan pertolongan Tuhan di dalam hidupnya. Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wa barakaatuh (Semoga keselamatan, kasih sayang Allah dan pertolonganNya selalu tercurah atasmu).
Ketulusan untuk mendo’akan orang lain itulah yang akan memunculkan rasa kasih sayang di dalam diri kita terhadap sesama. Menebarkan do’a kebaikan untuk orang lain itulah yang diinginkan dari salam itu sendiri. Apabila kita selalu memberi salam (baca: do’a) kepada orang lain – melalui cara-cara yang kita pahami --, maka sebetulnya kita pun tengah memberi salam (baca: mendo’akan) kepada diri kita sendiri.
Dengan cara lebih mengutamakan untuk mendo’akan orang lain, maka paling tidak, kita tidak tampak sebagai hamba yang selalu menonjolkan kepentingan dirinya sendiri. Pada gilirannya, kita akan menjadi hamba yang tidak kenal rasa kasih sayang kepada sesama.
Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, bahwa Allah akan memberi balasan yang berlipat kepada hamba yang tidak mau meminta kepada Allah karena rasa malu kepadaNya. Alhasil, jika Anda malu meminta kepada Allah untuk kepentingan diri sendiri, maka mintalah untuk kepentingan orang lain. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa-apa yang menjadi kebutuhan hamba-hambaNya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar