Selasa, 28 Februari 2012

| Salah Kaprah |

SALAH kaprah alias salah dalam bersikap, sekarang ini, betul-betul lagi ngetrend. Ndak di pusat, tak di daerah. Ndak laki, ndak perempuan, sama saja. Semua jadi kebolak-balik. Coba saja kita perhatikan bagaimana fenomena yang terjadi di sekitar kita. Laki-laki bersolek tak ubahnya seperti seorang perempuan. Mulai dari dandanannya yang minor hingga pakaiannya yang super mini dan super ketat.
”Maklum,” kata teman saya, ”namanya juga zaman emansipasi. Yang perlu berdandan dan bersolek kan tidak hanya perempuan. Laki-laki juga butuh bersolek dan perlu berdandan supaya bisa kelihatan cantik.”
”Berdandan dan bersolek sih boleh-boleh saja. Tapi kan, mereka tidak perlu harus tampil seperti seorang perempuan. Itu namanya bukan emansipasi. Itu namanya banci. Masak laki-laki kok berpenampilan tak ubahnya seperti seorang perempuan?” ujar saya.
Sikap salah kaprah ternyata juga menimpa para anggota dewan yang terhormat. Sejak mereka terpilih jadi wakil rakyat, mereka sangat sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya mereka bisa mendapat proyek sebanyak-banyaknya. Tujuannya apalagi kalau bukan agar uang yang telah dikeluarkan selama masa pencalonan kemarin bisa segera kembali. Syukur jika bisa ada sedikit keuntungan dari modal yang telah dikeluarkan.
Terkait dengan sikap wakil rakyat yang sibuk ngurusi proyek itu, salah seorang teman yang berprofesi sebagai seorang pemborong berkata: ”Di negeri ini, sejak Pak Harto lengser keprabon, tak ada lagi makan siang yang gratis. Jika kita ingin dapat sesuatu di negeri ini, maka kita harus keluar biaya terlebih dahulu. Hanya ikan di laut saja yang masih tetap bodoh. Tanpa umpan dan tanpa menggunakan pancing sekalipun, toh mereka masih bisa ditangkap para nelayan dengan menggunakan pukat harimau. Makanya, kita ndak pernah mendengar ada berita mengenai ikan-ikan di laut mengadakan demonstrasi secara besar-besaran. Itu bisa terjadi karena mereka maunya makan gratis!”
Karena itu, lanjutnya, jangan kaget kalau para anggota dewan yang terhormat itu, sejak mereka dilantik, terlihat sibuk menebar pukat harimau di mana-mana. Itu karena mereka sudah cukup banyak keluar uang untuk memberi makan gratis para konstituennya. Makanya, begitu mereka sudah mendapat dan bisa memasang pin di jas resminya, gantian mereka yang minta diberi makan siang gratis dari para mangsanya. Perkara apakah para konstituennya saat sang anggota dewan itu sedang makan siang gratis sudah makan atau belum, itu soal lain. Yang penting, perutnya saat itu bisa kenyang lebih dahulu. Alasannya, biar bisa tambah semangat ketika bekerja selama menjadi wakil rakyat. Busyeet ... alasan satu ini, sedap juga kedengarannya.
***
SALAH kaprah di negeri ini ternyata juga sering menimpa para eksekutif dan yudikatif kita. Terutama ketika mereka menjalankan fungsinya masing-masing. Pihak eksekutif, misalnya. Saat mereka melakukan fungsi kontrol dengan cara mengecek dan memverifikasi sebuah persoalan yang sedang terjadi di daerah, para eksekutif yang ada di daerah bukannya sibuk menjelaskan bagaimana duduk persoalan tersebut secara benar. Tapi, mereka malah sibuk mempersiapkan berbagai fasilitas yang akan diberikan kepada para petinggi yang datang menemui mereka. Mulai dari tempat tinggal, teman tinggal sampai uang tinggalan untuk sangu pulang ke kampung halamannya masing-masing.
Sedang permasalahan yang akan diverifikasi, cukup dicatat, didengar kemudian disimpan rapat-rapat di dalam buku agenda. Perkara nanti akan disoal kembali oleh atasan, itu cerita nanti. Yang penting, bisa puas-puas dulu dan bisa senang-senang kemudian. ”Hidup hanya sekali kok dibuat repot? Makan saja kerepotan itu, ane kagak doyan kok,” ujar mereka.
Lain eksekutif, lain pula yudikatif. Atas nama hukum dan undang-undang, mereka sibuk memilih dan memilah antara kasus ’basah’ dan kasus ’kering’. Selama proses memilih dan memilah itu dilakukan, semua komponen hukum yang mestinya difungsikan, disuruh istirahat terlebih dahulu. Mata, misalnya, mereka kunci rapat-rapat agar bisa fokus untuk mengeruk persoalan ’basah’ yang sedang disidangkan. Sedang kuping yang seharusnya berfungsi untuk mendengar keterangan para saksi dan tersangka, mereka sumpal kapas yang tebal agar tidak bisa mendengar informasi tentang perkara yang disidangkan. Mereka hanya mau mendengar informasi tentang berapa banyak uang yang akan mereka terima, dan informasi mengenai bagaimana cara yang aman bagi ’para penyumbang’ itu untuk memindahkan atau menyerahkan uangnya.
Bagaimana kalau, misalnya, ’persekongkolan’ yang salah kaprah itu sampai didengar dan diketahui oleh para wartawan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)? Kasih saja mereka uang tutup mulut di dalam amplop. Ndak usah diberi penjelasan dan keterangan apapun, toh mereka akhirnya akan diam dengan sendirinya. Kalau mereka ternyata masih tetap ngotot juga ingin ’bernyanyi’, kirim saja sms ke ’orang pintar’ untuk ’menggarap’ mereka dengan baik. Bukankah pekerjaan ’orang pintar’ itu, dari sejak zaman kerajaan sampai sekarang terbukti tak bisa disentuh oleh hukum apapun yang ada di negeri ini?
***
SELAIN hal di atas, sikap salah kaprah juga bisa kita temukan dalam kehidupan kaum muslimin di negeri ini. Misalnya, perhatikan saja bagaimana sikap kaum muslimin ketika mu’adzin teriak-teriak --- kadang malah sampai kesedak-sedak --- memanggilnya untuk segera shalat ke masjid. Apakah pada saat itu mereka langsung memenuhi panggilan tersebut? Jawabnya, belum tentu. Apalagi kalau misalnya pekerjaan yang sedang dilakukannya saat itu masih belum selesai.
Bandingkan dengan bagaimana sikap mereka ketika atasannya memanggil untuk sebuah urusan di kantornya. Meskipun kesibukkannya saat itu tak bisa ditinggalkan, misalnya, tapi begitu atasannya yang memanggil, ia tak punya pilihan lain kecuali untuk segera memenuhi panggilan atasannya tersebut. Bagaimana kalau dia, misalnya, tidak segera memenuhi panggilan bosnya tersebut? Jelas, ia nanti bisa kena pecat oleh atasannya.
Karena takut dipecat oleh atasannya itulah, meskipun semula terasa berat, tapi sang karyawan itu pun akhirnya tak merasa sungkan untuk jalan ngesot ke hadapan tuannya. ”Yang penting, posisi dan kedudukanku di kantor aman. Bos tidak memecatku. Kalau sampai aku dipecat oleh bos, maka aku bisa celaka dua belas. Sebab, anak biniku nanti jelas akan mengalami kesulitan dalam hidupnya,” ujar sang karyawan tanpa merasa terbebani untuk bicara seperti itu. Seolah-olah, bos yang ada di kantornya itu kedudukannya lebih hebat daripada Tuhan yang telah ’mengutus’ dan menggerakkan sang mu’adzin untuk memanggilnya agar segera datang dan sujud di rumahNya. Aneh bukan? ***


| 11 Oktober 2010 |


Tidak ada komentar:

Posting Komentar