SALAH kaprah alias salah dalam bersikap, sekarang
ini, betul-betul lagi ngetrend. Ndak di
pusat, tak di daerah. Ndak laki, ndak perempuan, sama saja. Semua jadi kebolak-balik. Coba saja kita perhatikan
bagaimana fenomena yang terjadi di sekitar kita. Laki-laki bersolek tak ubahnya
seperti seorang perempuan. Mulai dari dandanannya yang minor hingga
pakaiannya yang super mini dan super ketat.
”Maklum,” kata teman saya, ”namanya juga
zaman emansipasi. Yang perlu berdandan dan bersolek kan tidak hanya perempuan. Laki-laki
juga butuh bersolek dan perlu berdandan supaya bisa kelihatan cantik.”
”Berdandan dan bersolek sih boleh-boleh saja. Tapi kan, mereka tidak perlu harus tampil seperti
seorang perempuan. Itu namanya bukan emansipasi. Itu namanya banci. Masak
laki-laki kok berpenampilan tak
ubahnya seperti seorang perempuan?” ujar saya.
Sikap salah kaprah ternyata juga menimpa
para anggota dewan yang terhormat. Sejak mereka terpilih jadi wakil rakyat,
mereka sangat sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya mereka bisa mendapat
proyek sebanyak-banyaknya. Tujuannya apalagi kalau bukan agar uang yang telah
dikeluarkan selama masa pencalonan kemarin bisa segera kembali. Syukur jika
bisa ada sedikit keuntungan dari modal yang telah dikeluarkan.
Terkait dengan sikap wakil rakyat yang sibuk
ngurusi proyek itu, salah seorang
teman yang berprofesi sebagai seorang pemborong berkata: ”Di negeri ini, sejak
Pak Harto lengser keprabon, tak ada
lagi makan siang yang gratis. Jika kita ingin dapat sesuatu di negeri ini, maka
kita harus keluar biaya terlebih dahulu. Hanya ikan di laut saja yang masih
tetap bodoh. Tanpa umpan dan tanpa menggunakan pancing sekalipun, toh mereka masih bisa ditangkap para nelayan
dengan menggunakan pukat harimau. Makanya, kita ndak pernah mendengar ada berita mengenai ikan-ikan di laut
mengadakan demonstrasi secara besar-besaran. Itu bisa terjadi karena mereka
maunya makan gratis!”
Karena itu, lanjutnya, jangan kaget kalau para
anggota dewan yang terhormat itu, sejak mereka dilantik, terlihat sibuk menebar
pukat harimau di mana-mana. Itu karena mereka sudah cukup banyak keluar uang
untuk memberi makan gratis para konstituennya. Makanya, begitu mereka sudah
mendapat dan bisa memasang pin di jas resminya, gantian mereka yang minta
diberi makan siang gratis dari para mangsanya. Perkara apakah para
konstituennya saat sang anggota dewan itu sedang makan siang gratis sudah makan
atau belum, itu soal lain. Yang penting, perutnya saat itu bisa kenyang lebih
dahulu. Alasannya, biar bisa tambah semangat ketika bekerja selama menjadi
wakil rakyat. Busyeet ... alasan satu
ini, sedap juga kedengarannya.
***
SALAH kaprah
di negeri ini ternyata juga sering menimpa para eksekutif dan yudikatif kita.
Terutama ketika mereka menjalankan fungsinya masing-masing. Pihak eksekutif,
misalnya. Saat mereka melakukan fungsi kontrol dengan cara mengecek dan
memverifikasi sebuah persoalan yang sedang terjadi di daerah, para eksekutif
yang ada di daerah bukannya sibuk menjelaskan bagaimana duduk persoalan
tersebut secara benar. Tapi, mereka malah sibuk mempersiapkan berbagai
fasilitas yang akan diberikan kepada para petinggi yang datang menemui mereka. Mulai
dari tempat tinggal, teman tinggal sampai uang tinggalan untuk sangu pulang ke kampung halamannya
masing-masing.
Sedang permasalahan yang akan diverifikasi,
cukup dicatat, didengar kemudian disimpan rapat-rapat di dalam buku agenda.
Perkara nanti akan disoal kembali oleh atasan, itu cerita nanti. Yang penting,
bisa puas-puas dulu dan bisa senang-senang kemudian. ”Hidup hanya sekali kok dibuat repot? Makan saja kerepotan
itu, ane kagak doyan kok,” ujar
mereka.
Lain eksekutif, lain pula yudikatif. Atas
nama hukum dan undang-undang, mereka sibuk memilih dan memilah antara kasus ’basah’
dan kasus ’kering’. Selama proses memilih dan memilah itu dilakukan, semua
komponen hukum yang mestinya difungsikan, disuruh istirahat terlebih dahulu.
Mata, misalnya, mereka kunci rapat-rapat agar bisa fokus untuk mengeruk persoalan
’basah’ yang sedang disidangkan. Sedang kuping yang seharusnya berfungsi untuk
mendengar keterangan para saksi dan tersangka, mereka sumpal kapas yang tebal
agar tidak bisa mendengar informasi tentang perkara yang disidangkan. Mereka
hanya mau mendengar informasi tentang berapa banyak uang yang akan mereka
terima, dan informasi mengenai bagaimana cara yang aman bagi ’para penyumbang’
itu untuk memindahkan atau menyerahkan uangnya.
Bagaimana kalau, misalnya, ’persekongkolan’
yang salah kaprah itu sampai didengar dan diketahui oleh para wartawan dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM)? Kasih saja mereka uang tutup mulut di dalam
amplop. Ndak usah diberi penjelasan
dan keterangan apapun, toh mereka
akhirnya akan diam dengan sendirinya. Kalau mereka ternyata masih tetap ngotot juga
ingin ’bernyanyi’, kirim saja sms ke ’orang pintar’ untuk ’menggarap’ mereka
dengan baik. Bukankah pekerjaan ’orang pintar’ itu, dari sejak zaman kerajaan
sampai sekarang terbukti tak bisa disentuh oleh hukum apapun yang ada di negeri
ini?
***
SELAIN hal di
atas, sikap salah kaprah juga bisa kita temukan dalam kehidupan kaum muslimin
di negeri ini. Misalnya, perhatikan saja bagaimana sikap kaum muslimin ketika mu’adzin teriak-teriak --- kadang malah
sampai kesedak-sedak --- memanggilnya
untuk segera shalat ke masjid. Apakah pada saat itu mereka langsung memenuhi
panggilan tersebut? Jawabnya, belum tentu. Apalagi kalau misalnya pekerjaan
yang sedang dilakukannya saat itu masih belum selesai.
Bandingkan dengan bagaimana sikap mereka ketika
atasannya memanggil untuk sebuah urusan di kantornya. Meskipun kesibukkannya
saat itu tak bisa ditinggalkan, misalnya, tapi begitu atasannya yang memanggil,
ia tak punya pilihan lain kecuali untuk segera memenuhi panggilan atasannya
tersebut. Bagaimana kalau dia, misalnya, tidak segera memenuhi panggilan bosnya
tersebut? Jelas, ia nanti bisa kena pecat oleh atasannya.
Karena takut dipecat oleh atasannya itulah,
meskipun semula terasa berat, tapi sang karyawan itu pun akhirnya tak merasa
sungkan untuk jalan ngesot ke hadapan
tuannya. ”Yang penting, posisi dan kedudukanku di kantor aman. Bos tidak
memecatku. Kalau sampai aku dipecat oleh bos, maka aku bisa celaka dua belas.
Sebab, anak biniku nanti jelas akan mengalami kesulitan dalam hidupnya,” ujar
sang karyawan tanpa merasa terbebani untuk bicara seperti itu. Seolah-olah, bos
yang ada di kantornya itu kedudukannya lebih hebat daripada Tuhan yang telah
’mengutus’ dan menggerakkan sang mu’adzin
untuk memanggilnya agar segera datang dan sujud di rumahNya. Aneh bukan? ***
| 11 Oktober 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar