SEMALAMAN suntuk Kang Parmin tak bisa tidur. Dia terlihat seperti orang bloon. Sebentar duduk, sebentar kemudian
merebahkan tubuhnya di atas kasur yang telah mengeras akibat tak pernah
dijemur. Maklum, dia tidak punya halaman untuk bisa menjemur kasur bututnya
itu, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang yang ada di sekitarnya
atau di desanya.
Kang Parmin tidak punya rumah. Dia hanya
menempati sebuah rumah kontrakan yang luasnya tidak lebih dari 5 X 7 meter persegi. Tak ada halaman depan,
apalagi halaman di belakang rumah. Dalam kondisi seperti itu, jelas tak mungkin
baginya untuk bisa menjemur kasur kapuk yang dibelinya 15 tahun lalu. Karena
itulah, dia tidak pernah mempersoalkan tentang bagaimana kondisi kasur yang ada
di dalam kamarnya. Sebab, kalau Kang Parmin kondisinya lagi kecapekan atau
sedang ngantuk berat, maka dia biasanya langsung lelap tersungkur di atas kasur
yang baunya pesing karena sering diompolin
oleh anaknya yang masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar (SD).
”Sebaiknya, saya pakai baju yang mana ya
Bune?” tanya Kang Parmin kepada Yu Lastri, istrinya, 30 menit sebelum sang
istri akhirnya terkapar di atas ranjang karena kecapekan setelah seharian
bekerja jadi pembantu di rumah juragannya.
”Lho
... memangnya sampeyan mau ke
mana dan mau ngapain kok tanya soal
pakai baju yang mana segala?” Yu Lastri balik bertanya dengan nada penuh
curiga.
”Wah ... sampeyan ndak
ngerti to Bune? Lusa itu saya mau
sowan ke istanane Bupati,” jawab Kang Parmin sembari membusungkan dadanya
karena merasa bangga lantaran orang nomor satu di daerahnya itu berkenan untuk
menerimanya sebagai tamu di pendopo rumah dinasnya. Hidungnya pun terlihat kembang-kempis.
Maklum, sejak dilantik jadi Bupati, orang nomor satu di daerahnya
itu jarang punya waktu untuk bisa bertemu dengan warganya. Beda ketika ia masih
dalam proses pencalonan sebagai Bupati dulu, ia nyaris tak pernah bisa
istirahat dengan tenang. Sebab, di rumahnya pada waktu itu, mirip seperti pasar
tradisional. Tak pernah sepi pengunjung. Para tamu datang silih berganti.
Setelah ia resmi dilantik, rumah pribadinya pun sontak menjadi
sepi. Bukan karena rumah itu telah berubah kepemilikan, tapi semata-mata karena
sang Bupati bersama keluarganya sudah pindah ke rumah dinas yang telah
dipersiapkan dan dibuat oleh rakyat. Begitu hebatnya rakyat dalam memperlakukan
para pemimpinnya. Selain dipilih, diangkat dan diberi gaji oleh rakyat, sang
pemimpin juga dibangunkan kantor yang mentereng dan rumah dinas yang megah.
Meski rakyat telah menyumbangkan dananya untuk membangun rumah
dinas itu, tapi tak semua rakyat boleh, bisa dan diijinkan untuk masuk ke
dalamnya. Atas nama aturan protokuler, rakyat pun ’dipaksa’ harus rela jika
mereka, misalnya, tak diijinkan untuk masuk ke dalamnya. Diperlakukan seperti itu pun, rakyat tak merasa
sakit hati.
Karena alasan itulah, maka Kang Parmin
merasa patut untuk berbangga hati. Sebab, ditengah kesibukkannya sebagai kepala
daerah, ternyata sang Bupati berkenan untuk menerimanya sebagai tamu. Padahal, Kang Parmin bukanlah orang penting
di daerahnya. Dia tak jauh beda dengan anggota masyarakat yang lainnya.
Hidupnya pun tak lebih baik dari yang lainnya. Hal itu jugalah yang kemudian
membuat hati Kang Parmin menjadi trenyuh.
***
SAMPAI tengah malam, Kang Parmin masih belum bisa tidur. Matanya hanya kethap-kethip. Sedang Yu Lastri,
istrinya, sudah mendengkur keras di sebelahnya. Sesekali mulut Kang Parmin
terkuak lebar menandakan kalau dia sebetulnya sudah ngantuk berat. Tapi, matanya
tetap tak mau diajak merem.
Pikirannya masih melayang ke mana-mana. Dia
membayangkan, bagaimana indahnya saat ia bertemu dan bersalaman dengan sang
Bupati. Dia pun telah merancang sedemikian rapi di dalam kepalanya soal masalah
apa saja yang akan ia sampaikan kepada pemimpin yang sangat dihormatinya itu.
Hanya dalam perkara memilih baju yang tepat,
Kang Parmin masih nampak kebingungan. Bukan karena bajunya terlalu banyak untuk
dipilih. Tapi karena saking sedikitnya, sehingga dia kesulitan untuk memilihnya.
Maklum, dia hanya punya tiga lembar. Itu pun, warnanya sudah pada pudar semua.
Mungkin karena soal itulah lalu Kang Parmin akhirnya menjadi bingung untuk
memilihnya.
Bolak-balik dia nyawang (melihat) dan nenteng
(memegang) ketiga bajunya yang digantungnya di tembok kamarnya, tapi Kang
Parmin belum juga bisa memutuskan, baju mana yang akan ia pakai untuk acara
besok lusa itu. ”Pak ... Pak, mau sowan Bupati
saja kok marai (membuat diri sendiri
jadi) repot. Mbok sudah, pakai saja
salah satu dari ketiga baju yang ada itu. Begitu saja kok repot. Toh Bupati
juga belum tentu akan memperhatikan baju yang sampeyan kenakan,” tukas Yu Lastri beberapa saat sebelum ia
berangkat tidur.
”Ya ... ndak bisa kayak begitu to, Bune. Walaupun kita ini orang ndak punya,
tapi kalau bisa, kita jangan sampai membuat Bupati jadi malu menerima kita,
hanya gara-gara pilihan busana kita yang ndak
tepat. Sebab, Bupati itu kan orang penting. Karena itu kita harus tahu diri
dan harus belajar menempatkan diri dengan benar,” jawab Kang Parmin.
”Oooalah Pak-Pak, hidup sudah susah kayak begini kok tambah dibikin repot. Pakai saja sembarang baju. Yang penting
kan sampeyan pakai baju dan ada baju
yang bisa dipakai. Daripada sampeyan datang
telanjang, malah jadi repot urusannya” sergah Yu Lastri yang tak lama setelah
itu, suaranya pun tak terdengar lagi karena ia sudah terlelap tidur.
***
”BENAR juga,”
pikir Kang Parmin dalam hati. Ya, suka atau tidak suka, Kang Parmin memang
tidak punya pilihan lain diluar dari apa yang ada di hadapannya. Sebab, bajunya
memang hanya ada tiga lembar. Dan, tentu saja, salah satu dari ketiga bajunya
itu, harus dia pilih.
”Daripada nanti ditangkap Pol PP gara-gara
datang ke rumah Bupati tanpa mengenakan busana alias telanjang, mendingan saya putuskan untuk memakai baju ini
saja. Sebab, baju ini warnanya masih terlihat terang jika dibandingkan dengan
yang lainnya,” Kang Parmin bicara sendiri sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
”Bagaimana menurutmu, Bune, kalau saya pakai
baju ini? Kira-kira, pantes ndak?”
ujar Kang Parmin sembari berdiri di depan wajah istrinya yang masih tertidur
pulas di atas ranjang yang ada di dalam kamarnya.
Tahu kalau Yu Lastri ternyata masih merem, Kang Parmin akhirnya tertawa
sendiri. Dia merasa lucu karena bicara seorang diri. Dan selama itu, ia
betul-betul ndak sadar kalau saat itu
jarum jam yang ada di temboknya sudah menunjuk ke angka dua.
”Woow ... jebule wis esok
to? Mulane kok aku nguantuk buanget [Wau ... ternyata sudah pagi to? Makanya kok
saya ngantuk berat],” katanya sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Sejurus kemudian, Kang Parmin pun mendengkur keras, menyusul Yu Lastri,
istrinya. Suara dengkuran mereka terdengar saling sahut-sahutan.
Ya ... begitulah kehidupan Kang Parmin. Meskipun ia tergolong sebagai
orang miskin di kampungnya, tapi dia berusaha sungguh-sungguh untuk nguwongke pemimpin di daerahnya dengan
cara tidak membuat sang pemimpin menjadi kecewa, malu atau merasa ’risih’ saat
menerimanya sebagai seorang tamu di rumah dinasnya. Dia tidak ingin melukai
perasaan sang pemimpin, meskipun dalam kesehariannya, Kang Parmin --- dan
orang-orang seperti dirinya --- seringkali dikecewakan oleh orang yang telah
dipilih dan diangkatnya untuk menjadi pemimpin di daerahnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar