Senin, 27 Februari 2012

| Balada Kang Parmin |

SEMALAMAN suntuk Kang Parmin tak bisa tidur.  Dia terlihat seperti orang bloon. Sebentar duduk, sebentar kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur yang telah mengeras akibat tak pernah dijemur. Maklum, dia tidak punya halaman untuk bisa menjemur kasur bututnya itu, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang yang ada di sekitarnya atau di desanya.
Kang Parmin tidak punya rumah. Dia hanya menempati sebuah rumah kontrakan yang luasnya tidak lebih dari  5 X 7 meter persegi. Tak ada halaman depan, apalagi halaman di belakang rumah. Dalam kondisi seperti itu, jelas tak mungkin baginya untuk bisa menjemur kasur kapuk yang dibelinya 15 tahun lalu. Karena itulah, dia tidak pernah mempersoalkan tentang bagaimana kondisi kasur yang ada di dalam kamarnya. Sebab, kalau Kang Parmin kondisinya lagi kecapekan atau sedang ngantuk berat, maka dia biasanya langsung lelap tersungkur di atas kasur yang baunya pesing karena sering diompolin oleh anaknya yang masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar (SD).
”Sebaiknya, saya pakai baju yang mana ya Bune?” tanya Kang Parmin kepada Yu Lastri, istrinya, 30 menit sebelum sang istri akhirnya terkapar di atas ranjang karena kecapekan setelah seharian bekerja jadi pembantu di rumah juragannya.
Lho ... memangnya sampeyan mau ke mana dan mau ngapain kok tanya soal pakai baju yang mana segala?” Yu Lastri balik bertanya dengan nada penuh curiga.
”Wah ... sampeyan ndak ngerti to Bune? Lusa itu saya mau sowan ke istanane Bupati,” jawab Kang Parmin sembari membusungkan dadanya karena merasa bangga lantaran orang nomor satu di daerahnya itu berkenan untuk menerimanya sebagai tamu di pendopo rumah dinasnya.  Hidungnya pun terlihat kembang-kempis.
Maklum, sejak dilantik jadi Bupati, orang nomor satu di daerahnya itu jarang punya waktu untuk bisa bertemu dengan warganya. Beda ketika ia masih dalam proses pencalonan sebagai Bupati dulu, ia nyaris tak pernah bisa istirahat dengan tenang. Sebab, di rumahnya pada waktu itu, mirip seperti pasar tradisional. Tak pernah sepi pengunjung. Para tamu datang silih berganti.
Setelah ia resmi dilantik, rumah pribadinya pun sontak menjadi sepi. Bukan karena rumah itu telah berubah kepemilikan, tapi semata-mata karena sang Bupati bersama keluarganya sudah pindah ke rumah dinas yang telah dipersiapkan dan dibuat oleh rakyat. Begitu hebatnya rakyat dalam memperlakukan para pemimpinnya. Selain dipilih, diangkat dan diberi gaji oleh rakyat, sang pemimpin juga dibangunkan kantor yang mentereng dan rumah dinas yang megah.
Meski rakyat telah menyumbangkan dananya untuk membangun rumah dinas itu, tapi tak semua rakyat boleh, bisa dan diijinkan untuk masuk ke dalamnya. Atas nama aturan protokuler, rakyat pun ’dipaksa’ harus rela jika mereka, misalnya, tak diijinkan untuk masuk ke dalamnya. Diperlakukan seperti itu pun, rakyat tak merasa sakit hati.  
Karena alasan itulah, maka Kang Parmin merasa patut untuk berbangga hati. Sebab, ditengah kesibukkannya sebagai kepala daerah, ternyata sang Bupati berkenan untuk menerimanya sebagai tamu. Padahal, Kang Parmin bukanlah orang penting di daerahnya. Dia tak jauh beda dengan anggota masyarakat yang lainnya. Hidupnya pun tak lebih baik dari yang lainnya. Hal itu jugalah yang kemudian membuat hati Kang Parmin menjadi trenyuh.
***
SAMPAI tengah malam, Kang Parmin masih belum bisa tidur. Matanya hanya kethap-kethip. Sedang Yu Lastri, istrinya, sudah mendengkur keras di sebelahnya. Sesekali mulut Kang Parmin terkuak lebar menandakan kalau dia sebetulnya sudah ngantuk berat. Tapi, matanya tetap tak mau diajak merem.
Pikirannya masih melayang ke mana-mana. Dia membayangkan, bagaimana indahnya saat ia bertemu dan bersalaman dengan sang Bupati. Dia pun telah merancang sedemikian rapi di dalam kepalanya soal masalah apa saja yang akan ia sampaikan kepada pemimpin yang sangat dihormatinya itu.
Hanya dalam perkara memilih baju yang tepat, Kang Parmin masih nampak kebingungan. Bukan karena bajunya terlalu banyak untuk dipilih. Tapi karena saking sedikitnya, sehingga dia kesulitan untuk memilihnya. Maklum, dia hanya punya tiga lembar. Itu pun, warnanya sudah pada pudar semua. Mungkin karena soal itulah lalu Kang Parmin akhirnya menjadi bingung untuk memilihnya.
Bolak-balik dia nyawang (melihat) dan nenteng (memegang) ketiga bajunya yang digantungnya di tembok kamarnya, tapi Kang Parmin belum juga bisa memutuskan, baju mana yang akan ia pakai untuk acara besok lusa itu. ”Pak ... Pak, mau sowan Bupati saja kok marai (membuat diri sendiri jadi) repot. Mbok sudah, pakai saja salah satu dari ketiga baju yang ada itu. Begitu saja kok repot. Toh Bupati juga belum tentu akan memperhatikan baju yang sampeyan kenakan,” tukas Yu Lastri beberapa saat sebelum ia berangkat tidur.
”Ya ... ndak bisa kayak begitu to, Bune. Walaupun kita ini orang ndak punya, tapi kalau bisa, kita jangan sampai membuat Bupati jadi malu menerima kita, hanya gara-gara pilihan busana kita yang ndak tepat. Sebab, Bupati itu kan orang penting. Karena itu kita harus tahu diri dan harus belajar menempatkan diri dengan benar,” jawab Kang Parmin.
”Oooalah Pak-Pak, hidup sudah susah kayak begini kok tambah dibikin repot. Pakai saja sembarang baju. Yang penting kan sampeyan pakai baju dan ada baju yang bisa dipakai. Daripada sampeyan datang telanjang, malah jadi repot urusannya” sergah Yu Lastri yang tak lama setelah itu, suaranya pun tak terdengar lagi karena ia sudah terlelap tidur.
***
”BENAR juga,” pikir Kang Parmin dalam hati. Ya, suka atau tidak suka, Kang Parmin memang tidak punya pilihan lain diluar dari apa yang ada di hadapannya. Sebab, bajunya memang hanya ada tiga lembar. Dan, tentu saja, salah satu dari ketiga bajunya itu, harus dia pilih.
”Daripada nanti ditangkap Pol PP gara-gara datang ke rumah Bupati tanpa mengenakan busana alias telanjang, mendingan saya putuskan untuk memakai baju ini saja. Sebab, baju ini warnanya masih terlihat terang jika dibandingkan dengan yang lainnya,” Kang Parmin bicara sendiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
”Bagaimana menurutmu, Bune, kalau saya pakai baju ini? Kira-kira, pantes ndak?” ujar Kang Parmin sembari berdiri di depan wajah istrinya yang masih tertidur pulas di atas ranjang yang ada di dalam kamarnya.
Tahu kalau Yu Lastri ternyata masih merem, Kang Parmin akhirnya tertawa sendiri. Dia merasa lucu karena bicara seorang diri. Dan selama itu, ia betul-betul ndak sadar kalau saat itu jarum jam yang ada di temboknya sudah menunjuk ke angka dua.
Woow ... jebule wis esok to? Mulane kok aku nguantuk buanget [Wau ... ternyata sudah pagi to? Makanya kok saya ngantuk berat],” katanya sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sejurus kemudian, Kang Parmin pun mendengkur keras, menyusul Yu Lastri, istrinya. Suara dengkuran mereka terdengar saling sahut-sahutan.  
Ya ... begitulah kehidupan Kang Parmin. Meskipun ia tergolong sebagai orang miskin di kampungnya, tapi dia berusaha sungguh-sungguh untuk nguwongke pemimpin di daerahnya dengan cara tidak membuat sang pemimpin menjadi kecewa, malu atau merasa ’risih’ saat menerimanya sebagai seorang tamu di rumah dinasnya. Dia tidak ingin melukai perasaan sang pemimpin, meskipun dalam kesehariannya, Kang Parmin --- dan orang-orang seperti dirinya --- seringkali dikecewakan oleh orang yang telah dipilih dan diangkatnya untuk menjadi pemimpin di daerahnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar