Selasa, 28 Februari 2012

| Salah Alamat |

Bang Firman
KALAU mau mengirim surat ke seseorang, alamatnya harus jelas. Begitulah pesan ibu guru yang mengajar bahasa Indonesia waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dulu. Sebab, kalau alamatnya tak jelas, kata ibu guru saya itu, kasihan orang yang akan mengantar suratnya. Selain bakal kesasar, yang mengantar surat tersebut pastilah akan banyak jalan-jalan dan banyak bertanya di sana-sini agar ia tidak salah alamat.
”Maka itu, sebelum mengirim surat, perhatikan dulu, apakah alamat yang tertera di amplopmu itu sudah benar atau belum?”tukas ibu guru.
Waktu saya duduk di bangku SMP, soal pentingnya punya alamat yang jelas ini, muncul kembali. Ceritanya bermula dari kisah ketika saya dan teman duduk satu bangku dengan saya di SMP berkunjung ke rumah seorang teman untuk keperluan mengerjakan tugas kelompok. Waktu itu, kami hanya diberi sebuah denah yang ditulis di atas secarik kertas yang sudah kumal, tanpa sedikitpun menyebutkan di mana alamat lengkap rumahnya.
Karuan saja, gara-gara denah yang tak jelas itu, kami berdua pun akhirnya keblasuk kesana-kemari hingga basah kuyup karena kehujanan. Kebetulan saat itu sedang musim hujan. Akibatnya, keesokan harinya kami berdua tak bisa masuk sekolah karena terserang sakit panas akibat kena air hujan. Selain menderita sakit panas, pada hari berikutnya, kami pun mendapat hukuman dari guru pembimbing karena tidak ikut mengerjakan tugas kelompok tersebut.
Ibarat pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga lagi. Celaka betul nasib kami waktu itu. Selain sakit panas dan mendapat hukuman dari guru, di mata teman-teman satu kelompok, kami berdua pun kemudian digelari sebagai manusia pembohong, hanya karena kami tidak bisa datang pada saat itu. Padahal, aslinya, kami sudah mengikuti setiap petunjuk yang ada di dalam denah tersebut hingga badan kami jadi klebus. Kondisi kami saat itu mirip seperti seekor tikus curut yang sedang kecemplung got.
***
SOAL pentingnya alamat yang akan dituju itu, kembali mencuat ke permukaan saat saya silaturahmi ke seorang guru ruhani di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebelum saya sempat mengungkapkan permasalahan yang sedang saya alami, beliau sudah angkat bicara terlebih dahulu.
”Orang Islam itu aneh, ya? Tiap hari melaksanakan ibadah, tapi tak jelas ke mana alamatnya. Ibarat orang yang sedang mencari bapaknya. Sudah bertemu dengan bapaknya, masih juga bertanya. ’Apa sampeyan bapak saya?’ Kan orang bodoh itu namanya?”
Karena saya belum paham, maka saya waktu itu hanya bisa diam saja. Tapi, dalam hati saya bertanya-tanya, ada hikmah apa dibalik dhawuh Kyai yang baru saja saya dengarkan itu?
Saya pun kemudian mencoba mengingat-ingat aktivitas peribadatan yang selama ini saya lakukan. Saya ingin mencari tahu, apakah aktivitas peribadatan yang saya kerjakan selama ini sudah benar atau belum? Kalau soal salah-benar, rasa-rasanya kok sudah benar. Sebab, apa yang saya lakukan selama ini, menurut saya, sudah sesuai dengan petunjuk yang ada di dalam kitab fiqh. Insya Allah saya tidak pernah menambah-nambahi amalan. Apalagi menguranginya.
Lalu pertanyaan ’nakal’ pun muncul di dalam kepala saya. Apa ya maksud Kyai kok bicara seperti itu? Jika soal salah-benar sudah tidak ada masalah lagi, maka pertanyaan berikutnya adalah, apakah ibadah yang saya kerjakan itu sudah pasti diterima oleh Gusti Allah atau tidak diterima olehNya? Terkait dengan pertanyaan ini, saya menyerah total. Sebab, faktanya, saya memang tak punya ilmunya.
Bagaimana mungkin saya bisa tahu apakah amal ibadah saya sudah diterima oleh Gusti Allah atau tidak diterimaNya, wong faktanya, ibadah yang saya lakukan selama ini banyak bolong daripada terisinya. Bukankah menurut para ulama, salah satu tanda bahwa ibadah seseorang tersebut telah diterima oleh Allah adalah makin membaiknya akhlak yang diperlihatkan oleh orang yang mengerjakan ibadah tersebut? Sementara akhlak saya? Bukannya makin membaik, tapi setiap hari malah makin memburuk.
***
DALAM kesempatan yang lain, guru saya juga pernah dhawuh: ”Awake dewe posisine ndek endi? Dadi tamu, ning embong, ning kamar, masing-masing tiyang mboten sami posisine. Mulane sing ngendi posisine?” (Diri kita sendiri itu posisinya di mana? Apakah jadi tamu, ataukah di jalan, di kamar, semuanya masing-masing tidak sama posisinya. Makanya, harus tahu posisinya di mana?)
Setelah saya renungkan kembali apa yang pernah dikatakan oleh guru saya itu, ternyata tak lain adalah untuk memperjelas tentang bagaimana status kita di hadapanNya. Mau menggunakan alamat yang bagaimana ketika kita akan sowan kepadaNya. Sebab, kalau kita tidak punya posisi yang jelas ketika berhadapan dengan Gusti Allah, maka bisa celaka dua belas. Jangankan di hadapan Allah, di depan manusia saja kita haruslah punya posisi yang jelas. Apalagi di hadapan Sang Pencipta.
Posisi yang seperti apa maksudnya? Boleh jadi, maksud guru saya waktu itu adalah, posisi kita sebagai apa ketika menghadap Gusti Allah. Apakah kita akan menempatkan diri sebagai hambaNya, atau sebagai ’tandingan’-Nya? Kalau kita ini adalah makhlukNya, maka berlakulah yang pantas sebagai seorang makhluk ciptaanNya. Bukan malah petantang-petenteng seperti yang sering kita lakukan selama ini ketika berada di hadapanNya.
Itu sebab mengapa kita perlu alamat diri yang jelas. Yaitu, supaya tidak salah alamat. Sudah jelas alamatnya adalah sebagai hamba, tapi lagaknya seperti Sang Penguasa. Merintah Tuhan seolah-olah Dia adalah hamba, sedang kita sebagai Penguasanya. Apa ndak kebalik itu namanya? ***


| 11 Oktober 2010 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar