Bang Firman |
KALAU mau
mengirim surat ke seseorang, alamatnya harus jelas. Begitulah pesan ibu guru
yang mengajar bahasa Indonesia waktu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar
(SD) dulu. Sebab, kalau alamatnya tak jelas, kata ibu guru saya itu, kasihan
orang yang akan mengantar suratnya. Selain bakal kesasar, yang mengantar surat
tersebut pastilah akan banyak jalan-jalan dan banyak bertanya di sana-sini agar
ia tidak salah alamat.
”Maka itu, sebelum mengirim surat,
perhatikan dulu, apakah alamat yang tertera di amplopmu itu sudah benar atau
belum?”tukas ibu guru.
Waktu saya duduk di bangku SMP, soal
pentingnya punya alamat yang jelas ini, muncul kembali. Ceritanya bermula dari
kisah ketika saya dan teman duduk satu bangku dengan saya di SMP berkunjung ke
rumah seorang teman untuk keperluan mengerjakan tugas kelompok. Waktu itu, kami
hanya diberi sebuah denah yang ditulis di atas secarik kertas yang sudah kumal,
tanpa sedikitpun menyebutkan di mana alamat lengkap rumahnya.
Karuan saja, gara-gara denah yang tak jelas
itu, kami berdua pun akhirnya keblasuk
kesana-kemari hingga basah kuyup karena kehujanan. Kebetulan saat itu sedang
musim hujan. Akibatnya, keesokan harinya kami berdua tak bisa masuk sekolah
karena terserang sakit panas akibat kena air hujan. Selain menderita sakit
panas, pada hari berikutnya, kami pun mendapat hukuman dari guru pembimbing
karena tidak ikut mengerjakan tugas kelompok tersebut.
Ibarat pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga
lagi. Celaka betul nasib kami waktu itu. Selain sakit panas dan mendapat
hukuman dari guru, di mata teman-teman satu kelompok, kami berdua pun kemudian
digelari sebagai manusia pembohong, hanya karena kami tidak bisa datang pada
saat itu. Padahal, aslinya, kami sudah mengikuti setiap petunjuk yang ada di
dalam denah tersebut hingga badan kami jadi klebus.
Kondisi kami saat itu mirip seperti seekor tikus curut yang sedang kecemplung
got.
***
SOAL pentingnya
alamat yang akan dituju itu, kembali mencuat ke permukaan saat saya silaturahmi
ke seorang guru ruhani di wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sebelum saya
sempat mengungkapkan permasalahan yang sedang saya alami, beliau sudah angkat
bicara terlebih dahulu.
”Orang Islam itu aneh, ya? Tiap hari
melaksanakan ibadah, tapi tak jelas ke mana alamatnya. Ibarat orang yang sedang
mencari bapaknya. Sudah bertemu dengan bapaknya, masih juga bertanya. ’Apa sampeyan bapak saya?’ Kan orang bodoh
itu namanya?”
Karena saya belum paham, maka saya waktu itu
hanya bisa diam saja. Tapi, dalam hati saya bertanya-tanya, ada hikmah apa
dibalik dhawuh Kyai yang baru saja
saya dengarkan itu?
Saya pun kemudian mencoba mengingat-ingat
aktivitas peribadatan yang selama ini saya lakukan. Saya ingin mencari tahu,
apakah aktivitas peribadatan yang saya kerjakan selama ini sudah benar atau
belum? Kalau soal salah-benar, rasa-rasanya kok sudah benar. Sebab, apa yang saya
lakukan selama ini, menurut saya, sudah sesuai dengan petunjuk yang ada di
dalam kitab fiqh. Insya Allah saya
tidak pernah menambah-nambahi amalan. Apalagi menguranginya.
Lalu pertanyaan ’nakal’ pun muncul di dalam
kepala saya. Apa ya maksud Kyai kok bicara seperti itu? Jika soal salah-benar
sudah tidak ada masalah lagi, maka pertanyaan berikutnya adalah, apakah ibadah
yang saya kerjakan itu sudah pasti diterima oleh Gusti Allah atau tidak diterima olehNya? Terkait dengan pertanyaan
ini, saya menyerah total. Sebab, faktanya, saya memang tak punya ilmunya.
Bagaimana mungkin saya bisa tahu apakah amal
ibadah saya sudah diterima oleh Gusti
Allah atau tidak diterimaNya, wong faktanya, ibadah yang saya lakukan
selama ini banyak bolong daripada terisinya. Bukankah menurut para ulama, salah
satu tanda bahwa ibadah seseorang tersebut telah diterima oleh Allah adalah
makin membaiknya akhlak yang diperlihatkan oleh orang yang mengerjakan ibadah
tersebut? Sementara akhlak saya? Bukannya makin membaik, tapi setiap hari malah
makin memburuk.
***
DALAM
kesempatan yang lain, guru saya juga pernah dhawuh:
”Awake dewe posisine ndek endi? Dadi tamu, ning embong, ning kamar, masing-masing tiyang mboten
sami posisine. Mulane sing ngendi posisine?” (Diri kita sendiri itu posisinya di mana?
Apakah jadi tamu, ataukah di jalan, di kamar, semuanya masing-masing tidak sama
posisinya. Makanya, harus tahu posisinya di mana?)
Setelah saya renungkan kembali apa yang
pernah dikatakan oleh guru saya itu, ternyata tak lain adalah untuk memperjelas
tentang bagaimana status kita di hadapanNya. Mau menggunakan alamat yang
bagaimana ketika kita akan sowan kepadaNya.
Sebab, kalau kita tidak punya posisi yang jelas ketika berhadapan dengan Gusti Allah, maka bisa celaka dua belas.
Jangankan di hadapan Allah, di depan manusia saja kita haruslah punya posisi
yang jelas. Apalagi di hadapan Sang Pencipta.
Posisi yang seperti apa maksudnya? Boleh
jadi, maksud guru saya waktu itu adalah, posisi kita sebagai apa ketika
menghadap Gusti Allah. Apakah kita
akan menempatkan diri sebagai hambaNya, atau sebagai ’tandingan’-Nya? Kalau
kita ini adalah makhlukNya, maka berlakulah yang pantas sebagai seorang makhluk
ciptaanNya. Bukan malah petantang-petenteng
seperti yang sering kita lakukan selama ini ketika berada di hadapanNya.
Itu sebab mengapa kita perlu alamat diri
yang jelas. Yaitu, supaya tidak salah alamat. Sudah jelas alamatnya adalah
sebagai hamba, tapi lagaknya seperti Sang Penguasa. Merintah Tuhan seolah-olah
Dia adalah hamba, sedang kita sebagai Penguasanya. Apa ndak kebalik itu namanya? ***
| 11
Oktober 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar