MANUSIA sering melakukan kesalahan? Itu wajar! Sebab, kata para orangtua zaman
dulu, yang namanya manusia itu, adalah gudangnya segala bentuk kesalahan. Baik
kesalahan besar maupun kecil. Baik kesalahan yang nampak maupun yang
disembunyikan. Karena sering melakukan kesalahan itulah, makanya ia kemudian disebut
sebagai manusia.
Berbeda halnya dengan malaikat. Makhluk
mulia ini, begitu selesai diciptakan
oleh Tuhan Yang Sebenarnya, langsung dinyatakan steril dari berbagai kesalahan. Ia tak pernah luput dari
penjagaanNya. Ia juga tak pernah mendapat ijin dari Sang Pencipta untuk
melakukan secuil kesalahan pun ketika menjalankan tugas-tugasnya. Karena itulah, ia kemudian dinamai sebagai malaikat.
Yaitu makhluk mulia yang diciptakan tanpa diberi nafsu, dan karenanya terbebas
dari berbagai kesalahan.
Kalau manusia bagaimana? Woow ... jangan
ditanya lagi kalau bicara soal nafsunya
manusia. Sebab, dalam berbagai kasus, nafsu manusia terbukti sangat besar
sekali. Saking besarnya, kadang-kadang manusia sering ’dipecundangi’ dan
’dikangkangi’ oleh hawa nafsunya sendiri.
Gara-gara tidak mampu melemahkan hawa
nafsunya sendiri itulah, maka manusia sering terjerembab, tersungkur dan
terseok-seok ketika mengarungi kehidupan di muka bumi ini. Gara-gara sedang
’dikangkangi’ hawa nafsu itulah, maka manusia sering tak bisa membedakan mana
utara-selatan dan mana barat-timur. Sebab semua dianggap sama. Semua disosor alias disruduk. Bak seekor binatang banteng yang ’ngamuk’ ketika mencari para matador yang telah ’menggodanya’. Gara-gara
sering ’dipecundangi’ hawa nafsu itulah, maka manusia akhirnya jadi akrab dan
terbiasa melakukan berbagai kesalahan.
Itulah hebatnya hawa nafsu. Dia terkenal sangat
lincah dalam memikat dan merayu seorang ahli ibadah. Hanya dalam waktu sekejab,
seorang ahli ibadah bisa berubah menjadi seorang pembangkang, pembunuh,
pembohong dan perampok. Karena pengaruh daya tarik hawa nafsu jugalah, seorang
ahli dzikir bisa jadi tersingkir dari
daftar yang berisi tentang para ahlul
dzikir. Makanya, nasihat kaum ’arifin,
jangan ’main-main’ dengan yang namanya hawa nafsu.
”Meskipun ia (baca: nafsu) tidak nampak dan
tak bisa dilihat, tapi pengaruhnya sangatlah besar. Karena ia tidak bisa
dilihat dan tak nampak itulah, makanya Anda perlu dan harus hati-hati dalam
menghadapinya. Sedikit saja Anda salah dalam mengambil sikap dan keputusan,
maka menyesal kemudian tak ada gunanya,” ujar kaum ’arifin.
***
PERTANYAANNYA sekarang ialah, apakah ada
manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan barang sedikitpun di muka bumi
ini? Sejauh yang saya ketahui dari berbagai catatan sejarah yang merekam
tentang jejak perjalanan hidup manusia di muka bumi ini, saya belum pernah
menemukan tentang satu kisah pun yang menyebutkan bahwa ada manusia yang tidak pernah melakukan
kesalahan selama berada di muka bumi ini. Yang sering saya temukan justru malah
sebaliknya. Yaitu, saya sering menemukan catatan yang berisi tentang
bergudang-gudang daftar kesalahan yang pernah,
telah dan sedang dilakukan oleh
makhluk berkaki dua yang akrab dikenal dengan sebutan sebagai manusia itu.
Mulai dari saat matanya melek,
ketutup sampai melek lagi; mulai dari
ketika matahari terbit, terbenam sampai terbit kembali.
Karena itu, menjadi terasa tidak wajar dan
nampak aneh rasanya jika sampai ada seorang manusia yang mengaku kalau dirinya
tidak pernah melakukan kesalahan. Apa
iya orang tersebut betul-betul tidak pernah melakukan kesalahan meskipun kecil
adanya? Kalau memang betul dia tak
pernah berbuat salah, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, terbuat dari
apakah makhluk yang mengaku tak pernah punya kesalahan itu? Apakah ia terbuat
dari api, angin, air, tanah atau cahaya?
Yang jelas, apa pun status dan kedudukan
yang melekat pada diri makhluk yang bernama manusia itu, selagi dia masih berstatus
sebagai manusia, maka pastilah ia pernah berbuat kesalahan. Tak peduli apakah
ia adalah seorang lelaki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, pejabat-rakyat biasa
maupun tukang parkir sekalipun, pastilah pernah punya kesalahan. Kecuali jika ia
telah berubah menjadi malaikat. Tapi, kalau hal itu sampai terjadi, misalnya, maka
tentu saja, ia pun sudah tak layak lagi untuk disebut sebagai manusia.
***
Karena manusia itu ibarat ’gudang’ yang berfungsi
sebagai tempat untuk menyimpan segala bentuk barang kesalahan --- baik itu barang yang berukuran kecil maupun
besar, barang basah maupun kering, barang dagangan maupun barang colongan --- maka tak heran jika di mana
pun manusia itu berada, peluang baginya untuk melakukan kesalahan, tetap saja
terbuka lebar. Baik itu kesalahan yang disengaja maupun yang tak disengaja. Itulah
manusia, makhluk berkaki dua yang doyan melakukan
kesalahan apa saja dalam kehidupannya.
Apakah manusia itu tidak merasa capek
melakukan kesalahan terus-menerus? Inilah sebuah pertanyaan yang tak mudah
untuk menjawabnya. Sebab, aslinya, tak ada satu pun manusia yang ingin
melakukan kesalahan terus-menerus hingga akhir zaman nanti. Jangankan
terus-menerus. Sekali saja manusia itu pernah berbuat salah, jan-jane sudah membuat batinnya menjadi
tersiksa. Apalagi jika perbuatan salah itu sampai menimbulkan efek negatif bagi
orang-orang yang ada di sekelilingnya. Waaah ... bisa barabe hidupnya.
Sebab, mau kemana-mana, sudah ndak bisa dan sudah ndak nyaman lagi. Apalagi jika orang sekampung sudah pada tahu, bisa
tambah sesak nafasnya. Itu kalau si manusia yang melakukan kesalahan tersebut
masih punya rasa malu. Kalau ndak punya
rasa malu bagaimana? Ya ... mungkin ia akan bersikap cuek-cuek saja, seperti
yang sering dipertontonkan oleh para pelaku kriminal di televisi. ***
| 10
Oktober 2010 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar