Rabu, 29 Februari 2012

| Hati Satu = Hati Semua Orang |


         Suatu sore, putra bungsu saya yang baru berumur lima tahun, namanya Alhan, tiba-tiba menangis. Setelah diusut, ternyata ia menangis karena tidak bisa memenangkan sebuah game yang tengah ia mainkan melalui video game. Saya kemudian berkata, ”Jika persoalan game membuat adik menangis, lebih baik gamenya dimatikan saja. Semestinya game itu membuat kita senang, bukan malah menangis.”
     Rupa-rupanya, kata-kata saya itu bukan meredakan tangisnya, tetapi malah justru membuat tangisnya semakin bertambah keras. Saya diam. Kini giliran putra bungsu saya itu yang berbicara dalam sedu-sedannya, ”Bunda itu tidak boleh marah. Marah itu tidak baik. Alhan tidak suka dimarahi.” Saya diam dan senyum dikulum. Saya merasa lucu mendengar kata-katanya yang menasihati saya dan sekaligus menyatakan pendapatnya. Namun dalam hati, saya mengiyakan apa yang dikatakan oleh mulut kecilnya yang lucu itu.
       Masih dalam diam saya itu, Azka, yaitu putra sulung saya, juga ikut menimpali. Ia berkata, ”Bunda sih marahin adik. Adik jadi ’nangis tuh.” Meski sebetulnya perkataan saya tadi tidak bernada marah, tetapi karena kata-kata itu barangkali melukai hati putra bungsu saya, maka ia jadi menangis. Rupanya, tangisan si bungsu membuat hati kakaknya pun jadi ikut terluka. Sehingga, ia mengungkapkan rasa empatinya. Saya juga ikut merasakan kesedihan mereka.  Akhirnya, saya pun meminta ma’af kepada mereka. ”Bunda minta maaf jika kata-kata bunda telah membuat hati kalian menjadi sedih,” ujar saya.
      Sekelumit kisah tersebut sejatinya mengandung pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwasanya, jika kita mengetahui hati seseorang sedang terluka, maka alangkah baiknya jika kita ikut berempati dan merasa bersalah karena telah membuat hati orang itu jadi terluka. Namun, untuk bisa merasakan hati orang lain terluka, tentu kita harus melihat orang lain itu sebagaimana kita melihat diri sendiri. Artinya, kita memposisikan diri kita pada posisi orang lain itu. Dalam kenyataannya, banyak orang yang berbuat seperti itu. Akan tetapi, hanya berhenti pada perasaan empatinya saja. Tidak dilanjutkan ke tingkat praktik. Yaitu berupaya belajar menghormati perasaan orang lain agar tidak terluka.
Sifat Dasar Hati
          JIKA kita menilik sebuah sabda yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw --- bahwasanya kita itu tak ubahnya seperti satu tubuh --- maka pada dasarnya, kita itu memiliki hati yang satu. Bukti bahwa hati kita itu satu, tampak dari sifat dasar hati yang tidak ingin disakiti dan tidak menginginkan segala sesuatu yang buruk dan busuk. Setiap hati senang pada segala sesuatu yang indah dan manis.
Kata-kata yang indah dan manis, sikap yang indah dan manis, tutur kata yang indah dan manis, hadiah-hadiah yang indah dan manis. Tak ada hati yang dengan sukarela ingin disakiti, dan tak ada hati yang tidak merasa sakit ketika ia disakiti. Itulah sifat dasar hati. Sedang semua hati memiliki sifat dasar yang sama. Dengan demikian, pada dasarnya, hati satu orang adalah sama dengan hati semua orang.
          Apabila kita sepakat bahwa hati itu sama dan satu, maka mengapa sampai ada orang yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja menyakiti hati orang lain? Padahal, jika kita menyakiti hati orang lain, maka sebetulnya kita pun tengah menyakiti hati kita sendiri. Sebab, kita adalah satu tubuh. Hati orang lain adalah sama dengan hati kita juga. Apa sebabnya? Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita jarang menggunakan bahasa hati dan lebih cenderung menyukai bahasa akal.
          Bahasa hati adalah bahasa yang halus, peka dan lebih mengutamakan nilai rasa. Orang yang menggunakan bahasa hati, biasanya akan melahirkan pribadi yang halus, peka dan memiliki nilai rasa yang berkualitas. Orang yang mendengarkan orang yang menggunakan bahasa hati, secara perlahan-lahan akan terbuka kepekaan hatinya, tersentuh kehalusan hatinya dan mengalir nilai rasa dalam dirinya. Coba saja Anda mendengar orang yang berbicara dengan bahasa hati, maka hati Anda pun insya Allah akan ikut hanyut, ikut tersentuh dan menggeliat kepekaannya.
          Maka dari itu, semakin sering orang mendengarkan orang berbicara dengan bahasa hati, maka akan semakin membangkitkan nilai kepekaan, kehalusan dan nilai rasa dalam hatinya. Hati menjadi terasa damai, tenang dan nyaman. Apalagi bagi orang yang menggunakan bahasa hati itu sendiri, maka hatinya akan semakin diliputi oleh ketenangan yang memukau.
          Berbeda dengan orang yang mengabaikan bahasa hati dan hanya menggunakan bahasa akalnya. Maka, yang kita dengar sangat boleh jadi selalu berhawa panas, menuntut, memojokkan dan ingin mengalahkan. Sebab, akal memang tidak boleh mengalah untuk bisa memperoleh sebuah kemenangan. Sedangkan hati, cenderung lebih suka memilih mengalah. Namun, justru karena suka mengalah itulah, maka ia bisa memperoleh kemenangan. Hal itu dikarenakan hati hanya menginginkan kedamaian, bukan kemenangan.
Membutuhkan Penguatan
          KENDATI demikian, bukan berarti bahasa akal tak punya arti sama sekali. Bahasa akal itu juga dibutuhkan dalam suatu lingkungan yang membutuhkan penguatan secara logis. Namun, jika ingin bahasa akal itu bisa diterima dengan damai oleh hati orang lain, bukan hanya diterima oleh akalnya saja, maka gunakanlah bahasa akal yang dibungkus dalam bahasa hati.
       Artinya, yang Anda inginkan bukan sebuah kemenangan atas orang lain. Tetapi kemenangan atas diri Anda sendiri. Sehingga yang muncul adalah kedamaian. Tak heran jika Rasulullah saw pernah mengisyaratkan, bahwa seseorang yang mengalah dalam sebuah perdebatan, meskipun ia benar, maka itu jauh lebih baik baginya.
       Hati yang damai itulah yang bisa memahami hati orang lain. Kedamaian hati itu pulalah yang membuat seseorang bisa melihat kesatuan hatinya dengan hati orang lain. Pada kawasan ini, kita akan dapat lebih mudah memahami, bahwa manakala kita menyakiti hati satu orang, maka pada dasarnya kita telah menyakiti hati-hati yang lainnya. Sebab, setiap hati tak ada yang ingin disakiti.
Sebaliknya, tatkala Anda menimbulkan rasa damai pada hati satu orang, maka sejatinya Anda telah mengalirkan rasa damai pada hati-hati yang lainnya. Sebab, setiap hati selalu gandrung pada kedamaian. Agar kita bisa menimbulkan kedamaian bagi orang lain, maka buatlah hati kita sendiri terlebih dahulu menjadi damai. Hati kita akan bisa menjadi damai jika kita selalu dekat kepada yang bisa memberikan kedamaian itu sendiri. Tiada kedamaian yang lebih indah daripada kedamaian yang diberikan oleh Zat Yang Memiliki Kedamaian itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita belajar mendekatkan hati kita kepada Yang Maha Memiliki Kedamaian hakiki, agar kita dapat merasakan kedamaian dan mengalirkan kedamaian kepada hati saudara-saudara kita di bumi ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar