Suatu
sore, putra bungsu saya yang baru berumur lima tahun, namanya Alhan,
tiba-tiba menangis. Setelah diusut, ternyata ia menangis karena tidak bisa
memenangkan sebuah game yang tengah ia mainkan melalui video game.
Saya kemudian berkata, ”Jika persoalan game membuat adik menangis, lebih
baik gamenya dimatikan saja. Semestinya game itu membuat kita
senang, bukan malah menangis.”
Rupa-rupanya, kata-kata saya itu bukan
meredakan tangisnya, tetapi malah justru membuat tangisnya semakin bertambah
keras. Saya diam. Kini giliran putra bungsu saya itu yang berbicara dalam
sedu-sedannya, ”Bunda itu tidak boleh marah. Marah itu tidak baik. Alhan tidak
suka dimarahi.” Saya diam dan senyum dikulum. Saya merasa lucu mendengar
kata-katanya yang menasihati saya dan sekaligus menyatakan pendapatnya. Namun
dalam hati, saya mengiyakan apa yang dikatakan oleh mulut kecilnya yang lucu
itu.
Masih dalam diam saya itu, Azka, yaitu
putra sulung saya, juga ikut menimpali. Ia berkata, ”Bunda sih marahin
adik. Adik jadi ’nangis tuh.” Meski sebetulnya perkataan saya tadi tidak
bernada marah, tetapi karena kata-kata itu barangkali melukai hati putra bungsu
saya, maka ia jadi menangis. Rupanya, tangisan si bungsu membuat hati kakaknya
pun jadi ikut terluka. Sehingga, ia mengungkapkan rasa empatinya. Saya juga
ikut merasakan kesedihan mereka.
Akhirnya, saya pun meminta ma’af kepada mereka. ”Bunda minta maaf jika
kata-kata bunda telah membuat hati kalian menjadi sedih,” ujar saya.
Sekelumit kisah tersebut sejatinya
mengandung pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwasanya, jika kita mengetahui
hati seseorang sedang terluka, maka alangkah baiknya jika kita ikut berempati
dan merasa bersalah karena telah membuat hati orang itu jadi terluka. Namun,
untuk bisa merasakan hati orang lain terluka, tentu kita harus melihat orang
lain itu sebagaimana kita melihat diri sendiri. Artinya, kita memposisikan diri
kita pada posisi orang lain itu. Dalam kenyataannya, banyak orang yang berbuat
seperti itu. Akan tetapi, hanya berhenti pada perasaan empatinya saja. Tidak
dilanjutkan ke tingkat praktik. Yaitu berupaya belajar menghormati perasaan
orang lain agar tidak terluka.
Sifat Dasar Hati
JIKA kita menilik sebuah sabda
yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw --- bahwasanya kita itu tak ubahnya
seperti satu tubuh --- maka pada dasarnya, kita itu memiliki hati yang satu.
Bukti bahwa hati kita itu satu, tampak dari sifat dasar hati yang tidak ingin
disakiti dan tidak menginginkan segala sesuatu yang buruk dan busuk. Setiap
hati senang pada segala sesuatu yang indah dan manis.
Kata-kata yang indah dan manis, sikap yang indah dan manis, tutur kata yang
indah dan manis, hadiah-hadiah yang indah dan manis. Tak ada hati yang dengan
sukarela ingin disakiti, dan tak ada hati yang tidak merasa sakit ketika ia
disakiti. Itulah sifat dasar hati. Sedang semua hati memiliki sifat dasar yang
sama. Dengan demikian, pada dasarnya, hati satu orang adalah sama dengan hati
semua orang.
Apabila kita sepakat bahwa hati itu
sama dan satu, maka mengapa sampai ada orang yang dengan sengaja ataupun tidak
sengaja menyakiti hati orang lain? Padahal, jika kita menyakiti hati orang
lain, maka sebetulnya kita pun tengah menyakiti hati kita sendiri. Sebab, kita
adalah satu tubuh. Hati orang lain adalah sama dengan hati kita juga. Apa
sebabnya? Karena dalam kehidupan sehari-hari, kita jarang menggunakan bahasa
hati dan lebih cenderung menyukai bahasa akal.
Bahasa hati adalah bahasa yang halus,
peka dan lebih mengutamakan nilai rasa. Orang yang menggunakan bahasa hati,
biasanya akan melahirkan pribadi yang halus, peka dan memiliki nilai rasa yang
berkualitas. Orang yang mendengarkan orang yang menggunakan bahasa hati, secara
perlahan-lahan akan terbuka kepekaan hatinya, tersentuh kehalusan hatinya dan
mengalir nilai rasa dalam dirinya. Coba saja Anda mendengar orang yang berbicara
dengan bahasa hati, maka hati Anda pun insya Allah akan ikut hanyut, ikut
tersentuh dan menggeliat kepekaannya.
Maka dari itu, semakin sering orang
mendengarkan orang berbicara dengan bahasa hati, maka akan semakin
membangkitkan nilai kepekaan, kehalusan dan nilai rasa dalam hatinya. Hati
menjadi terasa damai, tenang dan nyaman. Apalagi bagi orang yang menggunakan
bahasa hati itu sendiri, maka hatinya akan semakin diliputi oleh ketenangan
yang memukau.
Berbeda dengan orang yang mengabaikan
bahasa hati dan hanya menggunakan bahasa akalnya. Maka, yang kita dengar sangat
boleh jadi selalu berhawa panas, menuntut, memojokkan dan ingin mengalahkan.
Sebab, akal memang tidak boleh mengalah untuk bisa memperoleh sebuah
kemenangan. Sedangkan hati, cenderung lebih suka memilih mengalah. Namun,
justru karena suka mengalah itulah, maka ia bisa memperoleh kemenangan. Hal itu
dikarenakan hati hanya menginginkan kedamaian, bukan kemenangan.
Membutuhkan Penguatan
KENDATI
demikian, bukan berarti
bahasa akal tak punya arti sama sekali. Bahasa akal itu juga dibutuhkan
dalam suatu lingkungan yang membutuhkan penguatan secara logis. Namun, jika
ingin bahasa akal itu bisa diterima dengan damai oleh hati orang lain, bukan
hanya diterima oleh akalnya saja, maka gunakanlah bahasa akal yang dibungkus
dalam bahasa hati.
Artinya, yang Anda inginkan bukan sebuah
kemenangan atas orang lain. Tetapi kemenangan atas diri Anda sendiri. Sehingga
yang muncul adalah kedamaian. Tak heran jika Rasulullah saw pernah
mengisyaratkan, bahwa seseorang yang mengalah dalam sebuah perdebatan, meskipun
ia benar, maka itu jauh lebih baik baginya.
Hati yang damai itulah yang bisa
memahami hati orang lain. Kedamaian hati itu pulalah yang membuat seseorang
bisa melihat kesatuan hatinya dengan hati orang lain. Pada kawasan ini, kita
akan dapat lebih mudah memahami, bahwa manakala kita menyakiti hati satu orang,
maka pada dasarnya kita telah menyakiti hati-hati yang lainnya. Sebab, setiap
hati tak ada yang ingin disakiti.
Sebaliknya, tatkala Anda menimbulkan rasa damai pada hati satu orang, maka
sejatinya Anda telah mengalirkan rasa damai pada hati-hati yang lainnya. Sebab,
setiap hati selalu gandrung pada kedamaian. Agar kita bisa menimbulkan
kedamaian bagi orang lain, maka buatlah hati kita sendiri terlebih dahulu
menjadi damai. Hati kita akan bisa menjadi damai jika kita selalu dekat kepada
yang bisa memberikan kedamaian itu sendiri. Tiada kedamaian yang lebih indah daripada kedamaian yang diberikan oleh
Zat Yang Memiliki Kedamaian itu sendiri. Oleh karena itu, mari kita belajar
mendekatkan hati kita kepada Yang Maha Memiliki Kedamaian hakiki, agar kita
dapat merasakan kedamaian dan mengalirkan kedamaian kepada hati saudara-saudara
kita di bumi ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar