Senin, 27 Februari 2012

| Menunggu |


MENUNGGU atau menanti sesuatu, bagi saya, adalah sebuah pekerjaan yang paling membosankan. Saya tidak tahu bagaimana menurut orang lain. Yang jelas, dari sejak saya masih kecil hingga setua bangka seperti sekarang ini, saya paling tidak kuat kalau disuruh menunggu. Mulai dari menunggu malam akan berganti pagi, menunggu dijemput orang, menunggu istri lagi dandan kalau mau pergi menghadiri undangan acara pernikahan, atau menunggu istri saat belanja di pasar tradisional.
Begitu juga saat disuruh menunggu surat panggilan wawancara dari sejumlah perusahaan yang telah saya kirimi surat lamaran pekerjaan. Saya sungguh tidak kuat. Buktinya, hingga rambut di kepala saya sudah dipenuhi dengan uban, ternyata surat panggilan tersebut tak pernah kunjung datang juga. Selain itu, saya juga tidak kuat kalau disuruh menunggu  uang gajian atau menunggu honor tulisan dari penerbit yang datangnya sering terlambat. Singkat kata, kalau disuruh menunggu, saya betul-betul tidak kuat.
Sebab, dalam kondisi sedang menunggu itu, kepala saya biasanya gampang jadi pusing. Urat di belakang leher saya  pun terkadang jadi menegang yang akan diikuti oleh makin meningkatnya temperatur suhu badan saya. Mata otomatis berubah menjadi merah dan penglihatan pun bisa jadi berkunang-kunang. Ada sedikit saja perbuatan atau tindakan orang lain yang menjengkelkan hati, dalam hitungan detik, bisa mempengaruhi saya untuk menjadi seekor banteng yang siap menyeruduk seorang matador hingga ia tak bisa pakai celana kolor lagi. Untuk alasan itulah, makanya saya tidak pernah mau kalau disuruh menunggu. Sebab, saya khawatir, ketika saya sedang menunggu itu, tiba-tiba nafsu kebinatangan yang ada di dalam diri saya, bangkit dari tidurnya. Kalau hal itu sampai terjadi, wah bisa berbahaya.
”Bahaya bagaimana?” tanya seorang teman.
”Ya ... bahayanya, kalau tiba-tiba saya berubah menjadi banteng, lalu menyeruduk semua orang yang ada di sekitar saya dan mengakibatkan mereka semua jadi tak bisa pakai kolor lagi. Jelas aksi saya itu akan membuat pabrik pembuat kolor jadi merugi. Sebab, produk mereka jadi ndak laku!”
***
LAIN saya, lain pula bagi wan Ali, teman akrab saya dari daerah Medan. Dia mengaku paling kesal kalau disuruh menunggu istri bosnya yang setiap dua kali seminggu selalu pergi ke salon kecantikan untuk mempercantik dirinya. Padahal, menurut wan Ali, wajah istri bosnya itu sudah cukup cantik, meski tanpa melakukan perawatan di salon sekalipun.
”Entah apa yang dia lakukan di dalam salon itu? Masak seharian mendekam di dalam salon? Dari jam sembilan pagi sampai jam sembilan malam. Bah ... awak tak tahulah soal itu,” ujar wan Ali dengan dialeg Medannya.
Yang membuat wan Ali jadi kesal adalah, karena dia disuruh menunggu di dalam mobil sampai keleleran. “Bayangkan,” katanya, “seharian awak disuruh nunggu di dalam mobil sampai keleleran awak dibuatnya. Wajarkan kalau awak kemudian jadi kesal dibuatnya? Tapi mau bagaimana lagi? Awak pun tak bisa marah-marah sama dia. Bisa kena pecat kalau awak marahi dia. Sebab, dia adalah istri bos awak.”
Berbeda halnya dengan cik Aminah. Ibu beranak dua yang masih balita ini mengaku, dia sering merasa nyawanya nyaris akan melayang dari jasadnya hanya karena menunggu pergantian awal bulan. Maklum, sebagai seorang istri pegawai negeri sipil (PNS) golongan 2b, cik Aminah dituntut untuk pandai-pandai mengatur keuangan dalam rumah tangganya. Sebab, gaji yang diterima oleh suaminya, sering tidak cukup untuk membiayai semua keperluan hidupnya sekeluarga.
“Uang gaji suami saya itu, paling banter bisa bertahan sampai tanggal sepuluh dalam setiap bulannya. Padahal, saya sudah melakukan banyak pengetatan di sana-sini supaya tidak sampai berhutang. Tapi, ternyata, hutang di sana-sini tetap tak bisa terelakkan dan masih juga menumpuk. Maklum, hidup di zaman seperti sekarang ini serba sulit. Harga sembako di pasaran, setiap hari selalu naik. Kepala saya akan terasa mau pecah, kalau secara tiba-tiba pemerintah mengeluarkan pengumuman akan menaikkan harga tarif dasar listrik (TDL) atau menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM),” tukas cik Aminah seraya berusaha menyembunyikan kekesalan dari wajahnya.
***
PERASAAN yang sama juga dialami oleh para menteri pembantu presiden yang duduk di dalam kabinet. Terutama para pembantu presiden yang dinilai tak punya prestasi dan suka membual di sana-sini. Begitu isu tentang akan ada reshuffle kabinet makin kencang terdengar, maka para pembantu presiden yang terancam akan digusur itu pun pada tak bisa tidur nyenyak di rumahnya masing-masing. Selera makannya pun berkurang drastis. Terutama selama proses menunggu dikeluarkannya pengumuman tentang daftar nama para pembantu presiden yang akan diganti.
”Sebabnya kenapa kok sampai tak bisa tidur nyenyak?” tanya seorang teman yang bekerja sebagai wartawan di media cetak ibukota.
Jawabnya, pertama, karena kredit rumah, kredit mobil dan kredit motor belum lunas. Kalau nanti betul-betul jadi tergusur, maka bagaimana caranya untuk bisa melunasi biaya kredit tersebut? Jika kredit itu sampai ditarik, jelas akan membuat malu. Masak mantan menteri kabinet kok ndak kuat bayar kredit? Begitu juga kalau sampai kredit itu ndak bisa dilunasi, maka apa kata dunia?
Kedua, karena aslinya belum tahu mau melakukan apa dan mau kerja apa setelah nanti digusur dari kabinet. Sebab, begitu pengumuman dikeluarkan oleh Mensekneg, semua teman yang dulu pernah akrab, pada lari tunggang-langgang. Sedang anak buah yang dulu sering mencium tangan saat ketemu, pada sembunyi semua.
Ketiga, ini yang paling berat dan agak sulit. Yaitu, bingung mau menyimpan muka di mana kalau betul-betul nanti jadi digusur oleh presiden? Pasalnya, mau menyembunyikan muka di kocek, rasanya sudah ndak mungkin. Sebab, koceknya sudah pada jebol semua. Mau nyimpan muka di rumah, rasa-rasanya juga tak mungkin. Sebab, setiap tiga puluh menit sekali, rumah sering didatangi oleh para debt collector yang ingin menagih hutang.
Sementara, kalau mau menyembunyikan muka di toilet atau dicomberan, rasa-rasanya ndak kuat dengan baunya yang menyengat. Sedang mau mengumpetkan muka di liang kubur, rasa-rasanya ya belum berani. Sebab, masih cukup banyak tanggungan dosa yang belum selesai untuk ditobati. Singkat kata, gara-gara kegusur itu, semuanya jadi serba tidak enak. Bahkan, saking tak nyamannya, orang yang sedang berdehem sekalipun, terasa tak sedap didengar oleh kuping. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar