![]() | ||
Tetap bersyukur meski tak memiliki anggota badan yang utuh |
Sebagian
besar ulama sepakat, bahwasanya sabar itu lebih utama daripada
syukur. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa sebaiknya kita hanya bersabar saja
dan tidak perlu bersyukur. Adanya pandangan ulama yang semacam itu lebih
didasarkan pada pembahasan mengenai tingkatan amal. Para ulama memberikan
alasan bahwa, orang yang bersyukur itu langsung diberi hadiah, yakni berupa
tambahan nikmat. Sedangkan
orang yang bersabar, maka ia dijanjikan bersama dengan Allah.
Dalam prakteknya,
kebanyakan orang memandang bahwa bersyukur itu jauh lebih mudah dilakukan
daripada bersabar. Logikanya cukup sederhana dan bisa difahami. Mereka melihat
bahwa bersyukur itu, sudah barang tentu, karena sebelumnya mereka telah
menerima suatu nikmat yang menyenangkan.
Sedang tindakan bersabar, sudah bisa
dipastikan, adalah dikarenakan adanya suatu kejadian yang tidak menyenangkan
atau karena adanya musibah yang menyedihkan. Hal ini sudah barang
tentu sulit dilakukan, karena kejadian tidak sesuai dengan keinginan. Sehingga,
akan membuat hati merana, kecewa dan menyesali apa yang sudah terjadi.
Sekilas,
logika tersebut tampak benar adanya. Namun, jika kita perhatikan dengan
seksama, maka sebetulnya, jika bersyukur itu bisa mudah dilakukan, maka jalan
menuju kesabaran tentunya akan terbentang luas di hadapan kita. Mengapa
demikian?
Sebab, untuk bisa
bersyukur, maka itu berarti kita harus
selalu melihat kebaikan Tuhan di dalam kehidupan kita. Manakala kita bersyukur
pada setiap nafas kehidupan kita, tidak peduli apakah kejadian yang kita alami
itu tampaknya menyedihkan atau buruk sama sekali, maka sejatinya, kita sedang
melangkah menuju gerbang kesabaran.
Jiwa Yang
Damai
Orang
yang bersyukur, biasanya tidak memelihara prasangka buruk kepada Tuhannya.
Sebab, ia selalu memprasangkai bahwa setiap kejadian di dalam hidupnya itu
adalah karena kebaikan Tuhan. Orang yang menjaga prasangka baiknya kepada
Tuhannya, maka hatinya akan damai. Ia tidak merasa merana ketika ia menghadapi
suatu kejadian yang menyedihkan.
Ia tidak kecewa
ketika sesuatu yang ia inginkan tidak dapat terpenuhi. Ia tidak merasa dendam
dan sakit hati ketika sesuatu hal membuat hatinya terluka. Hatinya akan selalu
berada dalam kedamaian. Karena itulah, maka ia selalu berada bersama Tuhannya.
Sebab, jiwa yang damai adalah jiwa yang dapat bertaut dekat dengan Zat Yang
Maha Damai.
Sampai
di sini, kita dapat memahami, bahwa seseorang jika ingin belajar bersabar, maka
ia tidak perlu memikirkan berbagai cara yang pelik dan menyusahkan hati.
Apalagi, orang yang ingin belajar sabar itu, biasanya sudah menyerah lebih dulu
sebelum pertarungan dimulai. Sebab, mereka sudah membayangkan segudang
kemangkelan dan rasa sakit hati yang harus dipendam di dalam hati dan ditahan
agar tidak keluar ke permukaan. Padahal, apabila untuk belajar sabar sudah ’dihantui’ oleh perasaan seperti itu,
maka bagaimana mungkin kita bisa belajar melatih diri kita untuk bersabar?
Oleh
karenanya, janganlah memikirkan tentang berbagai hal seperti itu, yang justru
akan membuat hati kita akhirnya bertambah tebal hijab (penutup)nya dan
semakin banyak penyakitnya. Mulailah
dari belajar bersyukur atas hal-hal yang sering kita abaikan. Misalnya,
bersyukur karena kita bisa makan, lidah kita bisa merasakan rasa dari makanan
itu. Sebab, kalau kita sakit, semua makanan akan terasa jadi tidak enak.
Bersyukur karena sudah bisa memasak makanan, sebab kalau sakit, juga tak bisa
bergerak dengan leluasa. Bersyukur bisa minum, karena kalau tubuh kita
kekurangan air juga akan menjadi sakit. Bersyukur bisa mandi, karena kalau tidak
mandi, misalnya, badan akan terasa gatal dan mengeluarkan aroma tak sedap.
Mari
kita belajar mensyukuri segala hal yang kita kerjakan sehari-hari, dan karena
sudah menjadi rutinitas itulah, maka kita kerapkali tidak merasakan bahwa hal
itu adalah nikmat Allah. Apabila kita sudah terbiasa bersyukur atas nikmat
Allah yang kita miliki sehari-hari, maka insya’ Allah, kita pun akan ingat
untuk bersyukur tatkala memperoleh nikmat Allah yang lainnya.
Menanam Prasangka
Baik
Selanjutnya, kita juga
perlu belajar menanamkan prasangka baik kepada Allah, agar kita selalu dapat
melihat kemurahan nikmat Allah di dalam kehidupan kita. Menanamkan prasangka
baik kepada Allah tatkala menghadapi suatu kejadian yang menyenangkan,
barangkali akan lebih mudah untuk dilakukan, sehingga kita pun lebih dapat
mensyukurinya. Namun, ketika kita menghadapi suatu musibah atau kejadian yang
tidak sesuai dengan harapan, maka barangkali kita akan sulit untuk berprasangka
baik kepada Allah. Sehingga, sulit pula bagi kita untuk dapat bersyukur dalam
keadaan seperti itu.
Dalam tataran
inilah, penting bagi kita untuk memiliki keyakinan yang kuat tentang Tuhan
selalu memberikan yang terbaik bagi hambaNya. Pada sebagian orang, barangkali,
ada yang bisa memetik hikmah dari berbagai kejadian sehingga kejadian itu dapat
disyukurinya. Namun, boleh jadi pula, pada sebagian orang yang lainnya, sulit
untuk melihat hikmah dari sebuah kejadian.
Hal itu terjadi
karena hatinya sedang tertutupi oleh
rasa tidak terimanya terhadap kejadian tersebut. Pada saat yang demikian itu,
sebaiknya keyakinan kita segera mengambil alih terlebih dahulu. Yakni, meyakini
bahwa kejadian tersebut adalah yang terbaik dari Allah untuk diri kita.
Sedangkan persoalan apa hikmah yang terkandung di balik dari peristiwa itu, akan
diberikan oleh Allah tatkala hati kita sudah mulai terbuka tabirnya dan tidak
mengadili kehendak Allah atas diri kita.
Keyakinan
itu Hadiah
Lalu, pertanyaannya
sekarang ialah, bagaimana caranya agar kita bisa memiliki keyakinan yang kuat
kepada Allah itu? Keyakinan itu sendiri adalah hadiah dari Allah. Seseorang
bisa memiliki keyakinan adalah karena Allah telah memberi hidayah ke dalam hati
orang tersebut. Oleh karena itu, tak ada seorang pun yang bisa memberikan
keyakinan kepada makhluk lainnya. Bahkan, seorang Nabi sekali pun, tak bisa
memberikan keyakinan kepada siapa yang ia inginkan.
Banyak contoh yang
bisa kita peroleh dari sejarah. Nabi Musa asw, misalnya, beliau tidak bisa
membuat Fir’aun yang merupakan ayah angkatnya itu agar percaya kepada Tuhan yang
sebenarnya. Begitu pula dengan nabi-nabi lainnya, seperti Nabi Nuh asw terhadap
anaknya, Nabi Luth asw terhadap istrinya, dan termasuk Nabi Muhammad saw
terhadap pamannya Abu Jahal.
Kesemuanya itu
merupakan bukti bahwa seseorang bisa memperoleh keyakinan kepada Tuhannya itu
adalah mutlak karena adanya pertolongan kemurahan rahmat Allah ’Azza wa
Jalla. Alhasil, mintalah kepadaNya agar diberikan keyakinan dan selalu
ditambah keyakinan itu agar menjadi kuat. Kemudian bersyukurlah selalu karena
Allah telah memberikan nikmat kepada kita berupa keyakinan kepadaNya.
Apabila kita dapat
melatih diri kita untuk belajar bersyukur atas segala sesuatu yang kita peroleh
dalam hidup ini, maka rasa yang kita miliki akan mulai terasah. Sebab, untuk
bisa bersyukur itu, kita terlebih dahulu harus bisa merasakan nikmat Allah atas
diri kita.
Rasa yang terasah
inilah, yang kemudian akan membuat hati kita menjadi lunak. Hati yang lunak,
akan cenderung melihat makhluk lain dengan penuh rasa penghormatan. Sehingga,
orang yang senang bersyukur itu, sejatinya, akan merasa senang pula untuk
menghormati orang lain.
Bentuk penghormatan
yang umum dimaklumi banyak orang adalah, tidak menyakiti orang lain,
menghormati hak-haknya dan melihat orang lain sama dengan diri kita. Yakni,
sama-sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kesemuanya itu merupakan bentuk
penghormatan secara lahiriah atau yang dapat dilihat secara kasat mata dalam
tindak perilaku seseorang kepada makhluk lainnya.
Namun, ada satu
bentuk penghormatan yang sifatnya sirri atau tersembunyi. Penghormatan sirri
ini, dari segi tingkat amalan, justru lebih utama daripada penghormatan
secara zhahir. Mengapa demikian? Sebab, penghormatan secara sirri itu,
karena sifatnya yang tersembunyi, maka sudah jelas akan ketulusannya dan sama
sekali tidak mengharapkan pamrih dari orang lain.
Penghormatan
Sirri
Apakah bentuk
penghormatan secara sirri itu? Yaitu dengan mendo’akan kebaikan bagi
orang lain. Dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa salah satu do’a yang akan
dikabulkan oleh Allah itu adalah do’a yang tidak diketahui oleh orang yang
dido’akan. Mendo’akan kebaikan bagi orang yang berbuat baik kepada kita, itu
merupakan hal yang sepatutnya dilakukan.
Namun, mendo’akan
kebaikan bagi orang yang perbuatannya telah menyakiti hati kita, itulah yang
disebut dengan akhlak kebagusan. Oleh karena itu, marilah kita belajar
menghormati orang lain tidak hanya secara lahiriah belaka, melainkan juga
secara sirri, yakni dengan mendo’akan kebaikan bagi sesama makhluk
Tuhan.
Manakala kita telah
melatih diri kita dengan penghormatan secara lahiriah dan terutama secara sirri
tadi, maka lambat laun, akan memunculkan rasa kasih sayang di hati kita
kepada sesama makhluk Tuhan. Jauh-jauh hari, Rasulullah saw pernah memberikan
resep kepada umatnya. Kata beliau, untuk menimbulkan rasa kasih sayang kepada
sesama itu adalah dengan cara menyebarkan salam. Salam itu adalah do’a
keselamatan. Itu berarti, saat kita berdoa, sama halnya dengan kita
menginginkan orang lain itu agar selamat dan selalu mendapat kebaikan dalam hidupnya.
Dengan demikian,
setiap seseorang mendo’akan kebaikan dan keselamatan bagi orang lain, maka pada
saat itu ia tengah menanam pohon kasih sayang di dalam dirinya. Semakin ia
senang mendo’akan orang lain, maka pohon kasih sayang itu akan terus tumbuh-berkembang. Pohon
kasih sayang itulah yang nantinya akan memunculkan buah kedamaian di dalam hati
kita sendiri. Pada saat itulah, kita telah berhasil memperoleh sebuah kesabaran
yang kekuatannya begitu besar. Sebab, pada saat yang sama, kita tengah berada bersama
Tuhan (ma’allaah). Sehingga, siapapun yang melihat dan berinteraksi
dengan kita, insya Allahh akan ikut merasakan kedamaian karena kekuatan dari
kesabaran yang dikaruniakan Tuhan atas diri kita. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar