Rabu, 07 Maret 2012

| Baru Belajar, Sudah Merasa Jadi Guru |

        Saya ingat sebuah kisah lucu pada masa saya masih baru duduk di bangku kelas tiga SMP di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta. Pada waktu itu, saya terhitung masih baru dalam mengenal ajaran agama yang lebih luas lagi. Terutama yang berkaitan dengan syari’at dan ilmu fiqih. Setiap saya memperoleh suatu pengetahuan baru dalam hal ilmu fiqih, maka saya langsung mengirim surat kepada orangtua saya guna menyampaikan pengetahuan yang baru saya peroleh itu.
            Saya masih ingat bagaimana perasaan saya ketika saya menulis surat kepada orangtua saya saat itu. Di dalam hati, saya merasa bahwa saya yang belajar di sekolah agama, baru saja mengetahui hal itu. Apalagi orang tua saya yang tidak pernah mengenyam sekolah agama. Pasti beliau lebih tidak tahu lagi. Begitulah kira-kira yang ada di benak saya pada saat itu.
            Masih di dalam hati saya, ketika menulis surat untuk orangtua saya itu, saya merasa bahwa pengetahuan saya itu sangat berharga. Sehingga, sifatnya menjadi sebuah maklumat. Bahwa orangtua saya harus mengerjakan apa yang telah saya sampaikan itu. Sebab, kalau tidak dilaksanakan, maka bisa mengakibatkan dosa. Demikianlah kira-kira perasaan yang menyertai setiap kalimat yang saya tuliskan untuk orangtua saya waktu itu.
            Hingga suatu ketika, tersebar kabar yang menghebohkan di seluruh wilayah negeri ini. Berbagai macam selebaran saya peroleh bersama teman-teman. Di dalam selebaran itu, tertulis berbagai macam merek produk yang mengandung lemak babi dan unsur-unsur yang diragukan kehalalannya.
Ketika saya dan teman-teman membaca selebaran itu, kami sepakat untuk ramai-ramai mengirimkan selebaran itu untuk orang tua kami masing-masing. Maksudnya, tentu saja agar orangtua dan keluarga kami tidak membeli barang-barang yang mereknya tertera di dalam selebaran tersebut.

Merasa Lebih Tahu
            Di tengah hiruk-pikuk kami membicarakan tentang selebaran tersebut, tiba-tiba ada kawan yang berceletuk, bahwasanya ia mendengar ada beberapa produk yang juga haram, namun tidak tertulis di dalam selebaran tersebut. Alhasil, kami segera mencari pulpen dan menambahkan di dalam selebaran itu produk apa saja yang disebutkan oleh kawan kami itu. Kawan kami yang memberi kabar itu juga ikut menulis di dalam selebarannya. Entah dari mana ia mendengar barang-barang tambahan yang diharamkan tersebut.
       Belakangan, setelah saya melampaui bangku kuliah, saya pulang menemui orangtua saya. Dalam perjumpaan kami itu, terungkaplah kisah tentang selebaran yang saya kirimkan itu. Namun, kenangan yang muncul pada saat itu sarat dengan peristiwa yang menggelikan, sehingga kami berkisah sambil tertawa.
Menurut yang saya dengar dari keluarga saya, ternyata di kampung saya pun tengah santer membicarakan hal yang sama. Sehingga, ketika keluarga saya menerima selebaran itu, tanpa pikir panjang lagi, mereka membuang semua barang-barang yang tersedia di rumah, yang mereknya tertera di dalam selebaran tersebut. Termasuk yang dibuang itu adalah beberapa kilogram gula pasir dan minyak goreng.
         Kami saling berkisah sambil tertawa geli. Saya sendiri mentertawakan kebodohan saya karena telah mengirim selebaran tanpa mengetahui asal-usulnya dan bahkan menuliskan sendiri beberapa catatan tambahan di dalamnya. Setelah saya mendalami ilmu agama lebih jauh lagi, saya jadi tertegun sendiri.
Ternyata, saya telah banyak melakukan su’ul adab terhadap orangtua saya. Saya menggurui mereka, padahal mereka adalah guru saya. Bayangkan saja, ketika saya belum bisa berbicara, belum bisa berjalan dan lain sebagainya, merekalah yang melatih saya dengan mengajak saya berbicara dan memegang tangan saya untuk belajar berjalan.
          Menyadari akan hal itu, saya akhirnya jadi merasa malu terhadap diri saya sendiri dan memohon ampunan Allah. Ternyata, tanpa sadar, saya merasa sudah menjadi guru terhadap guru saya sendiri. Padahal, aslinya, saya baru saja belajar dan bahkan saya sendiri belum mengetahui substansi dari apa yang sedang saya pelajari. Astaghfirullahal ’azhiim.
         Pada tataran inilah, ketika kita berbicara kepada orang lain, maka jangan pernah kita merasa bahwa kita lebih tahu dari orang yang mendengarkan kita. Sebab, boleh jadi, orang yang mendengarkan kita itu jauh lebih bijak dan lebih mengetahui daripada diri kita sendiri. Yang membuat kita tak bisa melihat sikap bijak orang lain adalah, karena kita kerap kali hanya ingin mendengarkan diri sendiri. Kita ingin agar orang lain mengikuti seperti apa yang kita harapkan. Hal inilah yang justru menjadi hijab di dalam hati kita. Dan hal ini pulalah yang acapkali membuat kita merasa lebih pandai dari orang lain. Padahal, aslinya, kita sama-sama sebagai orang yang sedang belajar. Belajar tentang memaknai kehidupan di muka bumi ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar