Suatu
ketika, seorang istri pegawai negeri mengeluh dengan melejitnya pengeluaran
keluarga dalam satu bulan itu. Ia menghitung-hitung apa saja yang sudah ia
keluarkan untuk keperluannya dalam satu bulan.
”Bulan masih
seminggu lagi, tapi saya hanya tinggal megang
uang lima puluh ribu. Apa nggak
pusing coba,” ujarnya dengan memasang wajah susah.
Berulang-ulang ia
menyebutkan besarnya total sumbangan yang harus ia keluarkan dalam satu bulan
itu. Mulai dari sumbangan untuk acara selapanan bayi sampai dengan
undangan pernikahan. Yang terakhir inilah yang memakan banyak sumbangan. Sebab,
jumlah resepsi pernikahan yang harus ia hadiri dalam satu bulan itu cukup
banyak Dari mulutnya yang
terus mengeluh, terlontarlah ucapan, ”Bulan ini memang benar-benar bulan sial
bagi saya.”
Terlepas dari ikhlas atau tidaknya ia
mengeluarkan sumbangan, yang jelas, dalam kasus yang bervariasi, keluhan-keluhan
semacam itu merupakan ‘makanannya’ manusia. Allah sendiri telah menyebutkan,
bahwa yang namanya mengeluh itu merupakan sifatnya manusia. Akan tetapi, Allah
berkata seperti itu, bukan berarti bahwa Allah senang kepada orang yang suka
mengeluh. Malah sebaliknya, Allah justru sangat tidak senang dengan orang yang
suka mengeluh. Tapi, Allah senang jika manusia mau berusaha untuk merubah
sifatnya yang suka mengeluh itu.
Merasa Capek
Keluhan itu akan
muncul, manakala manusia melihat kepada masalah yang dihadapinya. Keluhan itu
sendiri, biasanya terlontar karena manusia merasa capek menghadapi masalahnya
sendiri dan merasa tidak mampu untuk mengatasi masalahnya atau merasa sulit
untuk menemukan jalan keluarnya. Hal ini akan menggiring manusia pada rasa tidak
terima dengan masalah yang dihadapinya.
Ia tidak dapat lagi
melihat celah untuk bersyukur. Sebab, pandangannya ditutupi oleh keluhan demi
keluhan tadi. Pada tataran ini, keimanan manusia berada pada titik yang paling
lemah. Sebab, ia hanya memfokuskan diri pada masalahnya. Bukan pada pelajaran
yang dapat diambil dari masalah tersebut.
Apabila ia segera
menyadari bahwa sejatinya masalah itu merupakan tanda kasih sayang Allah
terhadap dirinya, maka masalah itu tentu akan menjadi penambah keimanannya kepada
Allah. Bagaimana caranya melihat masalah sebagai tanda kasih sayang Allah?
Cobalah kita
perhatikan, bukankah Allah pernah mengatakan, bahwa Allah tidak akan memberi
cobaan yang tidak sanggup ditanggung oleh hambaNya? Maka itu, jika kita merasa
menghadapi masalah yang besar, itu berarti Allah tengah menaikkan tingkatan
kita, yaitu menjadi manusia yang akan diberi kemampuan mengatasi masalah yang
besar.
Di samping itu,
dengan adanya masalah, kita menjadi lebih banyak berdo’a. Dengan demikian,
karena kasih sayang Allah, maka Dia memberikan masalah itu, agar kita lebih
banyak mendekatkan diri kepadaNya, merasa butuh kepadaNya dan mengakui
ketidak-mampuan diri kita tanpa adanya pertolongan Allah.
Maka, siapakah yang
tidak merasa perlu bersyukur jika diperlakukan istimewa oleh Allah seperti itu?
Jika Anda dipanggil untuk mendekat kepada seorang presiden, sudah barang tentu
Anda akan merasa girang. Sekiranya Allah yang memanggil kita untuk mendekat,
tentunya kita akan senang bukan? Nah, masalah itu merupakan salah satu cara
Tuhan untuk memanggil kita agar mendekat kepadaNya.
Rasulullah saw
pernah bersabda: ”Bukanlah suatu kebajikan jika seseorang itu tidak pernah
mengalami musibah.” Hal ini menunjukkan bahwa, orang yang merasa tidak
pernah mengalami masalah dalam hidupnya, justru perlu lebih banyak
berintrospeksi diri. Sebab, itu berarti justru ada masalah dalam dirinya. Oleh
karena itu, tetaplah bersyukur, jika menghadapi masalah. Sebab, pada dasarnya,
masalah itu menuntun kita menuju ke arah peningkatan iman. Seorang
yang beriman itu, bisa diibaratkan seperti tanaman padi. Ketika tertiup angin,
terkadang ia jadi miring ke arah kanan,
terkadang miring ke kiri. Dan pada akhirnya, kembali lagi ke tengah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar