Selasa, 06 Maret 2012

| Lemah Iman, Rasa Syukur Berkurang |


         Suatu ketika, seorang istri pegawai negeri mengeluh dengan melejitnya pengeluaran keluarga dalam satu bulan itu. Ia menghitung-hitung apa saja yang sudah ia keluarkan untuk keperluannya dalam satu bulan.
”Bulan masih seminggu lagi, tapi saya hanya tinggal megang uang lima puluh ribu. Apa nggak pusing coba,” ujarnya dengan memasang wajah susah.
Berulang-ulang ia menyebutkan besarnya total sumbangan yang harus ia keluarkan dalam satu bulan itu. Mulai dari sumbangan untuk acara selapanan bayi sampai dengan undangan pernikahan. Yang terakhir inilah yang memakan banyak sumbangan. Sebab, jumlah resepsi pernikahan yang harus ia hadiri dalam satu bulan itu cukup banyak Dari mulutnya yang terus mengeluh, terlontarlah ucapan, ”Bulan ini memang benar-benar bulan sial bagi saya.”
Terlepas dari ikhlas atau tidaknya ia mengeluarkan sumbangan, yang jelas, dalam kasus yang bervariasi, keluhan-keluhan semacam itu merupakan ‘makanannya’ manusia. Allah sendiri telah menyebutkan, bahwa yang namanya mengeluh itu merupakan sifatnya manusia. Akan tetapi, Allah berkata seperti itu, bukan berarti bahwa Allah senang kepada orang yang suka mengeluh. Malah sebaliknya, Allah justru sangat tidak senang dengan orang yang suka mengeluh. Tapi, Allah senang jika manusia mau berusaha untuk merubah sifatnya yang suka mengeluh itu.

Merasa Capek
Keluhan itu akan muncul, manakala manusia melihat kepada masalah yang dihadapinya. Keluhan itu sendiri, biasanya terlontar karena manusia merasa capek menghadapi masalahnya sendiri dan merasa tidak mampu untuk mengatasi masalahnya atau merasa sulit untuk menemukan jalan keluarnya. Hal ini akan menggiring manusia pada rasa tidak terima dengan masalah yang dihadapinya.
Ia tidak dapat lagi melihat celah untuk bersyukur. Sebab, pandangannya ditutupi oleh keluhan demi keluhan tadi. Pada tataran ini, keimanan manusia berada pada titik yang paling lemah. Sebab, ia hanya memfokuskan diri pada masalahnya. Bukan pada pelajaran yang dapat diambil dari masalah tersebut.
Apabila ia segera menyadari bahwa sejatinya masalah itu merupakan tanda kasih sayang Allah terhadap dirinya, maka masalah itu tentu akan menjadi penambah keimanannya kepada Allah. Bagaimana caranya melihat masalah sebagai tanda kasih sayang Allah?
Cobalah kita perhatikan, bukankah Allah pernah mengatakan, bahwa Allah tidak akan memberi cobaan yang tidak sanggup ditanggung oleh hambaNya? Maka itu, jika kita merasa menghadapi masalah yang besar, itu berarti Allah tengah menaikkan tingkatan kita, yaitu menjadi manusia yang akan diberi kemampuan mengatasi masalah yang besar.
Di samping itu, dengan adanya masalah, kita menjadi lebih banyak berdo’a. Dengan demikian, karena kasih sayang Allah, maka Dia memberikan masalah itu, agar kita lebih banyak mendekatkan diri kepadaNya, merasa butuh kepadaNya dan mengakui ketidak-mampuan diri kita tanpa adanya pertolongan Allah.
Maka, siapakah yang tidak merasa perlu bersyukur jika diperlakukan istimewa oleh Allah seperti itu? Jika Anda dipanggil untuk mendekat kepada seorang presiden, sudah barang tentu Anda akan merasa girang. Sekiranya Allah yang memanggil kita untuk mendekat, tentunya kita akan senang bukan? Nah, masalah itu merupakan salah satu cara Tuhan untuk memanggil kita agar mendekat kepadaNya.
Rasulullah saw pernah bersabda: ”Bukanlah suatu kebajikan jika seseorang itu tidak pernah mengalami musibah.” Hal ini menunjukkan bahwa, orang yang merasa tidak pernah mengalami masalah dalam hidupnya, justru perlu lebih banyak berintrospeksi diri. Sebab, itu berarti justru ada masalah dalam dirinya. Oleh karena itu, tetaplah bersyukur, jika menghadapi masalah. Sebab, pada dasarnya, masalah itu menuntun kita menuju ke arah peningkatan iman. Seorang yang beriman itu, bisa diibaratkan seperti tanaman padi. Ketika tertiup angin, terkadang ia jadi miring ke arah kanan, terkadang miring ke kiri. Dan pada akhirnya, kembali lagi ke tengah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar