Adalah
si Fulan, seorang mahasiswa yang sangat hobby membaca. Segala macam bacaan
dilahapnya. Mulai dari koran, majalah, komik, novel, hingga buku-buku ilmiah.
Ke mana pun ia pergi, ia selalu membawa buku. Baginya, selain bayangannya, buku
adalah termasuk sahabatnya yang paling setia.
Karena hobbynya membaca, maka tak heran jika ia memiliki
wawasan yang cukup luas. Terutama jika ia tengah membahas tentang
masalah-masalah yang berkaitan dengan apa yang sedang atau telah dibacanya. Ia
selalu bersuara atau angkat bicara dalam setiap perdebatan. Tak ada yang tidak
mengenal dirinya. Terutama di kalangan anggota kelompok diskusinya. Setiap ada
orang yang menyanggah pendapatnya, ia selalu mempunyai jawaban untuk
menangkisnya. Orang-orang sering mengacungkan jempol kepadanya seraya berkata:
”Hebat!”.
Fulan memang pandai bersilat lidah. Setiap forum diskusi
selalu ia isi dengan perdebatan seru. Dengan sangat sistematis, ia dapat
mementahkan pendapat-pendapat orang lain.
Kata-katanya yang menggebu-gebu bak sirine
kematian bagi pendapat orang lain. Para dosennya pun salut kepadanya, karena
semangatnya yang membara di dalam menyelami berbagai ilmu pengetahuan. Akan
tetapi, Fulan hanya tampak subur dalam ide-ide dan pemikirannya.
Sebaliknya, hatinya justru merasa gersang dan hampa. Ia melalui
hari-harinya tanpa ada rasanya. Apakah manis, pahit, getir atau hambar. Ia
bahkan tak tahu apakah hari-harinya itu punya rasa ataukah tidak. Ia menjalani
hari-harinya tanpa kehidupan dalam hatinya.
Memunculkan Ketidaktenangan
Hati
yang tidak hidup adalah hati yang dipenuhi oleh berbagai rasa yang memunculkan
ketidak-tenangan di dalam hati itu sendiri. Misalnya, merasa gusar, gundah,
ingin selalu menang, merasa dirinya lebih pandai dan hebat, merasa orang lain
lebih bodoh daripada dirinya, meremehkan kemampuan orang lain dan lain
sebagainya.
Alhasil, ilmu yang dimiliki oleh si Fulan itu justru
tidak mencerahkan hatinya. Padahal, sejatinya, ilmu itu bisa membawa pencerahan
hati terhadap orang yang memilikinya. Namun, mengapa si Fulan mengalami
fenomena yang berbeda? Penyebabnya adalah, karena ilmu itu hanya berdiri saja
di luar pintu hatinya.
Yang bisa membuat ilmu itu dapat membuka pintu hati dan masuk ke dalamnya
untuk mencerahkannya adalah kesadaran. Apabila kesadaran muncul, maka ilmu akan
menerangi hati dan tampaklah apa yang tadi belum terlihat, yakni kepahaman.
Dengan kata lain, meskipun si Fulan itu memiliki ilmu,
namun ia belum memiliki kesadaran atas dirinya, sehingga ia sendiri belum bisa
memahami hakikat ilmu yang dimilikinya. Seorang tokoh sufi bernama Ali Al-Khawwas
berkata, bahwa ilmu semacam itu sebetulnya bukanlah ilmu. Melainkan hanya
wawasan yang diperoleh dari hasil pengetahuannya terhadap pendapat orang lain,
yakni melalui bacaan-bacaannya tadi.
Pada konteks inilah, pada dasarnya, kita belum tahu apa-apa,
meskipun ilmu kita segudang, jika kita belum memiliki sebuah kesadaran diri.
Sedangkan kesadaran diri itu sendiri hanya bisa kita peroleh, jika kita sudah
dapat memfungsikan rasa yang kita miliki. Sehingga, kita bisa mengetahui
bagaimana rasanya jika kita mengeluarkan satu patah kata saja.
Barangkali, kita sudah akrab dengan pepatah yang
mengatakan bahwa diam itu emas. Sejatinya, bukan pada aktivitas diam itu,
seseorang menjadi terangkat derajatnya. Namun, jika seseorang mampu
memfungsikan rasanya di dalam diamnya itu – sehingga ia bisa memaknai rasa yang
ada di dalam diamnya itu – maka hal itulah yang bisa mengangkat derajatnya.
Bukankah ada orang yang diam, namun di dalam hatinya ia sibuk berbicara
negatif?
Alhasil, pada dasarnya, ilmu itu membawa pada hati yang terang, jika disertai dengan kesadaran
diri pada diri orang yang bersangkutan. Misalnya, sadar bahwa dirinya adalah
makhluk, sadar bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa melainkan atas
pertolongan Allah, sadar bahwa sejatinya hidup ini hanya tempat untuk menumpuk
bekal di hari esok.
Apabila kesadaran ini sudah muncul di dalam diri
kita, maka kita akan semakin jadi paham, bahwa sesungguhnya, tak ada celah di
dalam setiap nafas kehidupan kita ini tanpa disertai oleh kasih sayang Allah.
Alhasil, kita pun jadi semakin memahami tentang di mana letak kekeliruan kita
dan apa saja yang perlu kita perbaiki di dalam menapaki hidup di dunia ini.
Pada tataran inilah, kita baru bisa mempraktekkan bagaimana cara hidup sebagai
seorang hamba yang mengabdi kepada Tuhannya. Bukan sebagai abdi yang ingin
menjadi tuan.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar