Selasa, 06 Maret 2012

| Ilmu Datang, Hati Jadi Terang |

  Adalah si Fulan, seorang mahasiswa yang sangat hobby membaca. Segala macam bacaan dilahapnya. Mulai dari koran, majalah, komik, novel, hingga buku-buku ilmiah. Ke mana pun ia pergi, ia selalu membawa buku. Baginya, selain bayangannya, buku adalah termasuk sahabatnya yang paling setia.
    Karena hobbynya membaca, maka tak heran jika ia memiliki wawasan yang cukup luas. Terutama jika ia tengah membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan apa yang sedang atau telah dibacanya. Ia selalu bersuara atau angkat bicara dalam setiap perdebatan. Tak ada yang tidak mengenal dirinya. Terutama di kalangan anggota kelompok diskusinya. Setiap ada orang yang menyanggah pendapatnya, ia selalu mempunyai jawaban untuk menangkisnya. Orang-orang sering mengacungkan jempol kepadanya seraya berkata: ”Hebat!”.
     Fulan memang pandai bersilat lidah. Setiap forum diskusi selalu ia isi dengan perdebatan seru. Dengan sangat sistematis, ia dapat mementahkan pendapat-pendapat orang lain.
Kata-katanya yang menggebu-gebu bak sirine kematian bagi pendapat orang lain. Para dosennya pun salut kepadanya, karena semangatnya yang membara di dalam menyelami berbagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, Fulan hanya tampak subur dalam ide-ide dan pemikirannya.
Sebaliknya, hatinya justru merasa gersang dan hampa. Ia melalui hari-harinya tanpa ada rasanya. Apakah manis, pahit, getir atau hambar. Ia bahkan tak tahu apakah hari-harinya itu punya rasa ataukah tidak. Ia menjalani hari-harinya tanpa kehidupan dalam hatinya.

Memunculkan Ketidaktenangan
       Hati yang tidak hidup adalah hati yang dipenuhi oleh berbagai rasa yang memunculkan ketidak-tenangan di dalam hati itu sendiri. Misalnya, merasa gusar, gundah, ingin selalu menang, merasa dirinya lebih pandai dan hebat, merasa orang lain lebih bodoh daripada dirinya, meremehkan kemampuan orang lain dan lain sebagainya.
       Alhasil, ilmu yang dimiliki oleh si Fulan itu justru tidak mencerahkan hatinya. Padahal, sejatinya, ilmu itu bisa membawa pencerahan hati terhadap orang yang memilikinya. Namun, mengapa si Fulan mengalami fenomena yang berbeda? Penyebabnya adalah, karena ilmu itu hanya berdiri saja di luar pintu hatinya.
Yang bisa membuat ilmu itu dapat membuka pintu hati dan masuk ke dalamnya untuk mencerahkannya adalah kesadaran. Apabila kesadaran muncul, maka ilmu akan menerangi hati dan tampaklah apa yang tadi belum terlihat, yakni kepahaman.
     Dengan kata lain, meskipun si Fulan itu memiliki ilmu, namun ia belum memiliki kesadaran atas dirinya, sehingga ia sendiri belum bisa memahami hakikat ilmu yang dimilikinya. Seorang tokoh sufi bernama Ali Al-Khawwas berkata, bahwa ilmu semacam itu sebetulnya bukanlah ilmu. Melainkan hanya wawasan yang diperoleh dari hasil pengetahuannya terhadap pendapat orang lain, yakni melalui bacaan-bacaannya tadi.
     Pada konteks inilah, pada dasarnya, kita belum tahu apa-apa, meskipun ilmu kita segudang, jika kita belum memiliki sebuah kesadaran diri. Sedangkan kesadaran diri itu sendiri hanya bisa kita peroleh, jika kita sudah dapat memfungsikan rasa yang kita miliki. Sehingga, kita bisa mengetahui bagaimana rasanya jika kita mengeluarkan satu patah kata saja.
     Barangkali, kita sudah akrab dengan pepatah yang mengatakan bahwa diam itu emas. Sejatinya, bukan pada aktivitas diam itu, seseorang menjadi terangkat derajatnya. Namun, jika seseorang mampu memfungsikan rasanya di dalam diamnya itu – sehingga ia bisa memaknai rasa yang ada di dalam diamnya itu – maka hal itulah yang bisa mengangkat derajatnya. Bukankah ada orang yang diam, namun di dalam hatinya ia sibuk berbicara negatif?
Alhasil, pada dasarnya, ilmu itu membawa pada hati  yang terang, jika disertai dengan kesadaran diri pada diri orang yang bersangkutan. Misalnya, sadar bahwa dirinya adalah makhluk, sadar bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa melainkan atas pertolongan Allah, sadar bahwa sejatinya hidup ini hanya tempat untuk menumpuk bekal di hari esok.
     Apabila kesadaran ini sudah muncul di dalam diri kita, maka kita akan semakin jadi paham, bahwa sesungguhnya, tak ada celah di dalam setiap nafas kehidupan kita ini tanpa disertai oleh kasih sayang Allah. Alhasil, kita pun jadi semakin memahami tentang di mana letak kekeliruan kita dan apa saja yang perlu kita perbaiki di dalam menapaki hidup di dunia ini. Pada tataran inilah, kita baru bisa mempraktekkan bagaimana cara hidup sebagai seorang hamba yang mengabdi kepada Tuhannya. Bukan sebagai abdi yang ingin menjadi tuan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar