Selasa, 06 Maret 2012

| Cari Hidup Untuk Yang Maha Hidup |

Dalam sebuah sinetron kehidupan, kita kerapkali menyaksikan, mendengar atau bahkan mengalaminya sendiri. Di mana seorang istri mengeluh karena sang suami jarang berada di rumah. Kemudian, ketika keluhan itu dilontarkan kepada sang suami, dengan gaya sebagai orang yang sangat penting, sang suami berkata, bahwa sesungguhnya ia pergi pagi dan pulang malam hari itu tiada lain adalah untuk kesejahteraan keluarganya sendiri.
Makna kesejahteraan yang dipahami banyak orang adalah kesejahteraan ekonomi. Meskipun kita kerapkali mendengar orang melakukan sesuatu demi memperoleh kesejahteraan lahir dan batin, pada dasarnya hal itu lebih banyak ditujukan pada makna secara ekonomi.
Dengan kata lain, ketika seseorang berkata kesejahteraan batin, maka sebetulnya yang ada di dalam pikirannya lebih banyak terpancang pada tenangnya batin lantaran masalah ekonomi sudah serba tercukupi. Begitu pula ketika mereka berkata kesejahteraan lahir, maksudnya adalah, tercukupinya semua kebutuhan hidup yang diperlukan.
Kembali pada soal suami yang menisbatkan kesibukannya di dalam bekerja untuk kepentingan keluarga. Mereka yang berpikir seperti ini, pada saat diuji dengan persoalan yang muncul di dalam keluarganya, maka ia akan mengungkit-ungkit, bahwasanya ia bekerja demi terpenuhinya kebutuhan keluarganya.

Rasa Jenuh
Secara kasat mata, memang pada dasarnya seorang suami atau ayah itu bekerja untuk menafkahi keluarganya. Namun, jika ia menjadikan tujuannya di dalam bekerja itu untuk menafkahi keluarganya belaka, maka cepat atau lambat, ia akan didatangi rasa jenuh dan merasa superior karena menjadi tiang penopang keluarga. Ujung-ujungnya, akan muncullah sikap tak ada rasa penghormatan kepada keluarganya sendiri.
Apalagi jika yang terjadi sebaliknya, yaitu suami lebih banyak tinggal di rumah dan sang istri yang lebih banyak bekerja. Maka, tingkat persoalannya semakin meninggi. Boleh jadi, sang istri akan merasa sebagai orang yang paling berarti di dalam keluarganya, karena ia merasa dirinya sebagai orang yang memberi nafkah kepada suami dan anak-anaknya.
Apabila kita sudah merasa sebagai orang paling penting dan dibutuhkan di dalam keluarga, sehingga membuat kita meminorkan arti penting anggota keluarga yang lainnya, maka pada saat itu, kita sebetulnya sudah mengikis sedikit demi sedikit barakah dari rezeki yang kita miliki. Hal ini dikarenakan kita lalai dalam mengingat, bahwa sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak agar rezeki itu lewat tangan kita. Demikian pula, kita lalai mengingat, bahwa sekiranya Allah membuat kita tidak mampu bekerja, maka tak akan ada rezeki yang bisa kita berikan untuk keluarga kita.
Mengenai hal ini, ada sebuah kisah, di mana dua orang bersaudara memiliki sifat yang berbeda. Yang satu rajin bekerja, sedang yang satunya lagi tidak pernah bekerja dan hanya tinggal di rumah saja. Suatu ketika, orang yang rajin bekerja itu melontarkan keluhannya kepada Rasulullah SAW.
”Ya Rasulullah, aku selalu bekerja dan rezeki yang kuperoleh aku makan bersama saudaraku. Sedangkan saudaraku itu kerjanya hanya di rumah saja.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ”Boleh jadi engkau memperoleh rezeki karena do’a dari saudaramu yang di rumah itu.”
Oleh karena itulah, apabila Anda saat ini menjadi seorang penopang tiang ekonomi keluarga, maka janganlah menganggap remeh peran orang yang Anda nafkahi. Seorang suami yang bekerja untuk menafkahi istrinya, maka boleh jadi ia lancar dan bisa bekerja adalah karena berkat do’a istrinya. Demikian pula sebaliknya. Alhasil, jangan sampai kita meremehkan orang karena merasa telah menjadi sebagai pemberi nafkah.

Menjaga Hati
Bagaimana caranya menjaga hati agar tidak mengadili atau meremehkan orang yang kita nafkahi?
Pertama, bekerjalah dengan niat untuk menyebarkan barakah. Bukankah kita diciptakan di muka bumi ini untuk menyebarkan keselamatan kepada seluruh makhluk? Maka, dengan bekerja, sebarkanlah barakah kepada seluruh makhluk. Misalnya dengan mendo’akan keselamatan untuk kawan-relasi, orang-orang yang kita temui di jalan atau di tempat kerja dan lain-lain.
Kedua, bekerjalah dengan niat untuk memperoleh cinta kasih Allah. Dengan demikian, kita akan senang terus-menerus di dalam melaksanakan pekerjaan kita. Bukankah Rasulullah SAW pernah mencium tangan seorang pekerja keras seraya berkata, ”Jika aku rindu bau surga, maka aku akan mencium tangan orang ini.”
Ketiga, setiap kita memberi makan keluarga, maka sesungguhnya hal itu ada perhitungannya di hadapan Allah. Dalam hal ini, bukan berarti kita membuat perhitungan juga atas apa yang kita berikan kepada keluarga. Akan tetapi, paling tidak, dengan mengingat bahwa memberi makan keluarga itu sudah termasuk sedekah yang kita lakukan, maka kita tidak akan merasa sebagai orang yang berjasa. Sebab, Allah sudah menghitung apa yang kita berikan kepada keluarga kita itu.
Perhitungan yang dilakukan oleh Allah atas apa yang telah kita lakukan itu, merupakan suatu bentuk kasih sayangNya kepada hambaNya. Agar kita tidak tampak sebagai orang yang tidak berprestasi. Padahal, sejatinya, bukanlah kita yang memberi makan keluarga.Akan tetapi, Allah-lah yang telah memberi makan keluarga kita melalui rezeki yang diberikan kepada kita. Dengan menanamkan pedoman tersebut di dalam hati kita, maka insya allah kita tidak akan banyak menuntut kepada keluarga, lantaran sudah merasa banyak memberi dan berjasa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar