Dalam sebuah sinetron
kehidupan, kita kerapkali menyaksikan, mendengar atau bahkan mengalaminya
sendiri. Di mana seorang istri mengeluh karena sang suami jarang berada di
rumah. Kemudian, ketika keluhan itu dilontarkan kepada sang suami, dengan gaya
sebagai orang yang sangat penting, sang suami berkata, bahwa sesungguhnya ia
pergi pagi dan pulang malam hari itu tiada lain adalah untuk kesejahteraan
keluarganya sendiri.
Makna kesejahteraan yang dipahami banyak orang adalah kesejahteraan
ekonomi. Meskipun kita kerapkali mendengar orang melakukan sesuatu demi memperoleh
kesejahteraan lahir dan batin, pada dasarnya hal itu lebih banyak ditujukan
pada makna secara ekonomi.
Dengan kata lain, ketika seseorang berkata kesejahteraan batin, maka
sebetulnya yang ada di dalam pikirannya lebih banyak terpancang pada tenangnya batin
lantaran masalah ekonomi sudah serba tercukupi. Begitu pula ketika mereka
berkata kesejahteraan lahir, maksudnya adalah, tercukupinya semua kebutuhan
hidup yang diperlukan.
Kembali pada soal suami yang menisbatkan kesibukannya di dalam
bekerja untuk kepentingan keluarga. Mereka yang berpikir seperti ini, pada saat
diuji dengan persoalan yang muncul di dalam keluarganya, maka ia akan
mengungkit-ungkit, bahwasanya ia bekerja demi terpenuhinya kebutuhan
keluarganya.
Rasa Jenuh
Secara kasat mata, memang pada
dasarnya seorang suami atau ayah itu bekerja untuk menafkahi keluarganya.
Namun, jika ia menjadikan tujuannya di dalam bekerja itu untuk menafkahi
keluarganya belaka, maka cepat atau lambat, ia akan didatangi rasa jenuh dan
merasa superior karena menjadi tiang penopang keluarga. Ujung-ujungnya, akan
muncullah sikap tak ada rasa penghormatan kepada keluarganya sendiri.
Apalagi jika yang terjadi sebaliknya, yaitu suami lebih banyak tinggal di
rumah dan sang istri yang lebih banyak bekerja. Maka, tingkat persoalannya
semakin meninggi. Boleh jadi, sang istri akan merasa sebagai orang yang paling
berarti di dalam keluarganya, karena ia merasa dirinya sebagai orang yang
memberi nafkah kepada suami dan anak-anaknya.
Apabila kita sudah merasa sebagai orang paling penting dan dibutuhkan di
dalam keluarga, sehingga membuat kita meminorkan arti penting anggota keluarga
yang lainnya, maka pada saat itu, kita sebetulnya sudah mengikis sedikit demi
sedikit barakah dari rezeki yang kita
miliki. Hal ini dikarenakan kita lalai dalam mengingat, bahwa sesungguhnya
Allah-lah yang berkehendak agar rezeki itu lewat tangan kita. Demikian pula,
kita lalai mengingat, bahwa sekiranya Allah membuat kita tidak mampu bekerja,
maka tak akan ada rezeki yang bisa kita berikan untuk keluarga kita.
Mengenai hal ini, ada sebuah kisah, di mana dua orang bersaudara memiliki
sifat yang berbeda. Yang satu rajin bekerja, sedang yang satunya lagi tidak
pernah bekerja dan hanya tinggal di rumah saja. Suatu ketika, orang yang rajin
bekerja itu melontarkan keluhannya kepada Rasulullah SAW.
”Ya Rasulullah, aku selalu bekerja dan rezeki yang kuperoleh aku makan
bersama saudaraku. Sedangkan saudaraku itu kerjanya hanya di rumah saja.”
Kemudian Rasulullah SAW bersabda: ”Boleh jadi engkau memperoleh rezeki
karena do’a dari saudaramu yang di rumah itu.”
Oleh karena itulah, apabila Anda saat ini menjadi seorang penopang tiang
ekonomi keluarga, maka janganlah menganggap remeh peran orang yang Anda
nafkahi. Seorang suami yang bekerja untuk menafkahi istrinya, maka boleh jadi
ia lancar dan bisa bekerja adalah karena berkat do’a istrinya. Demikian pula
sebaliknya. Alhasil, jangan sampai kita meremehkan orang karena merasa telah
menjadi sebagai pemberi nafkah.
Menjaga Hati
Bagaimana caranya menjaga hati
agar tidak mengadili atau meremehkan orang yang kita nafkahi?
Pertama, bekerjalah dengan niat untuk menyebarkan barakah. Bukankah kita diciptakan di muka bumi ini untuk
menyebarkan keselamatan kepada seluruh makhluk? Maka, dengan bekerja,
sebarkanlah barakah kepada seluruh
makhluk. Misalnya dengan mendo’akan keselamatan untuk kawan-relasi, orang-orang
yang kita temui di jalan atau di tempat kerja dan lain-lain.
Kedua, bekerjalah dengan niat
untuk memperoleh cinta kasih Allah. Dengan demikian, kita akan senang terus-menerus
di dalam melaksanakan pekerjaan kita. Bukankah Rasulullah SAW pernah mencium
tangan seorang pekerja keras seraya berkata, ”Jika aku rindu bau surga, maka
aku akan mencium tangan orang ini.”
Ketiga, setiap kita memberi makan keluarga, maka sesungguhnya hal itu ada
perhitungannya di hadapan Allah. Dalam hal ini, bukan berarti kita membuat
perhitungan juga atas apa yang kita berikan kepada keluarga. Akan tetapi,
paling tidak, dengan mengingat bahwa memberi makan keluarga itu sudah termasuk
sedekah yang kita lakukan, maka kita tidak akan merasa sebagai orang yang
berjasa. Sebab, Allah sudah menghitung apa yang kita berikan kepada keluarga
kita itu.
Perhitungan yang dilakukan oleh Allah atas apa yang telah kita lakukan
itu, merupakan suatu bentuk kasih sayangNya kepada hambaNya. Agar kita tidak
tampak sebagai orang yang tidak berprestasi. Padahal, sejatinya, bukanlah kita
yang memberi makan keluarga.Akan tetapi, Allah-lah yang telah memberi makan
keluarga kita melalui rezeki yang diberikan kepada kita. Dengan menanamkan
pedoman tersebut di dalam hati kita, maka insya allah kita tidak akan banyak
menuntut kepada keluarga, lantaran sudah merasa banyak memberi dan berjasa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar