Di dalam Al-Qur’an sudah
sangat jelas disebutkan, bahwa Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk
beribadah kepada Allah. Pertanyaannya sekarang ialah, untuk apa manusia itu
beribadah? Sebagian besar orang, barangkali akan mengatakan, bahwa kita
beribadah untuk memperoleh surga dan terhindar dari neraka.
Sebagiannya lagi boleh jadi memberi alasan, bahwa ia beribadah karena
ingin mendapatkan pahala. Kemudian, sebagian orang yang lainnya lagi mungkin
saja beralasan, bahwa ia beribadah untuk memperoleh ridha Allah.
Semua jawaban itu benar menurut tafsirannya masing-masing. Namun, ada
beberapa celah yang terdapat di dalamnya. Orang yang beribadah karena
mengharapkan surga dan ingin terhindar dari neraka, adalah tipe ibadahnya
seorang budak terhadap majikan. Seorang budak, biasanya, bekerja karena takut
dihukum oleh majikannya. Agar ia tidak dihukum dan bisa tenang hidupnya, maka
ia berusaha untuk selalu tampak bekerja di hadapan majikannya.
Akibatnya, ia tidak mementingkan rasa senang terhadap pekerjaan yang
dilakukannya. Yang penting baginya adalah, melaksanakan tugas yang diberikan
dan yang ia rasakan hanyalah rasa capek, manakala ia merasa sang majikan
terlalu banyak memberinya tugas.
Ibadah seperti itu, biasanya akan mengabaikan rasa senang terhadap
pelaksanaan ibadah itu sendiri. Sehingga, proses pelaksanaan ibadah tersebut
berlalu begitu saja tanpa dinikmati rasanya dan tanpa dipikirkan kualitas hasil
akhirnya. Kalaupun ada rasanya, maka yang muncul adalah rasa lelah. Sebab, yang
beribadah adalah fisik atau raganya belaka.
Mengharap Pahala
Adapun orang yang beribadah
karena mengharapkan pahala, maka hal itu merupakan ibadah tipe bisnisman.
Seorang pebisnis, tidak akan melakukan sesuatu jika tidak menghasilkan
keuntungan bagi usaha yang tengah ditekuninya. Hal ini cukup masuk akal juga.
Sebab, untuk apa kita melakukan sesuatu, jika ternyata hal itu tidak memberikan
keuntungan atau hanya akan menjadi sia-sia saja.
Akan tetapi, dalam konteks ini, yang dimaksudkan adalah, orang yang hanya
mau beribadah jika pahala yang dijanjikan bagi orang yang melaksanakannya,
ternyata cukup besar. Misalnya, kelipatan sepuluh, seratus, seribu dan lain
sebagainya. Allah pun telah memberikan janji-janji kelipatan pahala seperti
itu.
Dengan demikian, manusia jadi termotivasi untuk melaksanakan ibadah yang
dimaksudkan. Hal tersebut tidaklah keliru. Hanya saja, rasa-rasanya kita jadi
malu, jika sibuk memikirkan pahala amalan yang kita lakukan. Padahal, setiap
detik, aslinya, kita selalu menerima kenikmatan dari Allah.
Di samping itu, tujuan beribadah seperti itu bisa membuat kita jadi
tergelincir. Misalnya, dengan menganggap bahwa kita bisa masuk surga karena
sebab amalan yang kita lakukan itu banyak pahalanya. Sekiranya karena pahala
amalan itulah seseorang bisa masuk surga, maka boleh jadi tak ada orang yang
bisa masuk surga.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa ada seorang ahli ibadah yang menghabiskan
waktunya hanya untuk shalat dan puasa selama hidupnya. Setiap hari ia berwudhu’
dengan menggunakan air dari sebuah sungai yang airnya jernih. Di tepi sungai
itu, tumbuh sebuah pohon yang selalu berbuah lebat. Setiap ia berbuka, ia
mengambil buah yang ranum dari pohon tersebut.
Setelah ia wafat dan tiba hari penentuan di mana ia akan ditempatkan,
maka ia termasuk sebagai salah seorang dari penghuni surga. Tatkala ia akan
dimasukkan oleh malaikat ke dalam surga, ia berceletuk, ”Semua ini karena
pahala amalan yang telah aku lakukan.” Mendadak ia dihentikan dan tidak jadi
masuk ke dalam surga. Karena ia telah berhitung dengan pahala amalannya, maka
Allah pun akhirnya melakukan perhitungan pula dengannya.
Selanjutnya Allah memerintahkan agar pahala amalannya ditimbang dengan
nikmat yang telah ia terima selama masa hidupnya di dunia. Ternyata, nikmat
Allah jauh lebih berat daripada pahala amalannya. Alhasil, Allah memerintahkan
malaikat agar menggiringnya menuju ke neraka. Menghadapi keputusan tersebut,
sang ahli ibadah itu menjadi panik.
Pada saat itulah, ia jadi sadar. Bahwasanya, ia telah salah dalam
menafsirkan janji Allah. Ia pun mengaku bersalah dan berkata, ”Aku salah.
Sesungguhnya, surga diperoleh karena rahmatMu, bukan karena pahala amalanku.”
Karena pengakuan atas kesalahannya itulah, maka Allah memerintahkan malaikat
untuk memasukkannya ke dalam surga.
Kisah itu merupakan gambaran tentang betapa kecilnya pahala amalan kita jika
dibandingkan dengan nikmat Allah yang telah kita peroleh. Karena itu, adalah
tidak pantas jika kita merasa bisa masuk surga karena sebab pahala amalan yang
kita lakukan.
Mengharap Ridha
Adapun orang yang beribadah
karena mengharapkan ridha Allah, sebetulnya sudah benar. Akan tetapi, ibadah
dengan tujuan seperti itu merupakan ibadahnya orang awam. Pada umumnya,
orang sering mengatakan, bahwa ia
melakukan suatu kebajikan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah.
Persoalannya adalah, kita sendiri kerap kali tidak mengetahui bagaimana
caranya memformulasikan ibadah kita itu sehingga benar-benar dapat memperoleh
ridha Allah. Alhasil, kita sendiri tidak bisa membayangkan, seperti apa rasanya
ridha Allah itu.
Oleh karena itulah, dari berbagai titik celah yang ada itu, ada beberapa
hal yang bisa kita pertimbangkan di dalam memahami tujuan dari kita beribadah.
Pertama, praktekkanlah ibadah itu berdasarkan dari yang kita miliki ilmunya.
Sebab, jika sudah punya ilmunya tetapi tidak dipraktekkan, maka ilmu itu jadi
tidak bermanfaat. Sebaliknya, jika beribadah tanpa ada ilmunya, maka gampang
diperdaya oleh nafsunya sendiri. Bukankah setan lebih takut terhadap orang yang
berilmu meskipun sedang tidur, daripada terhadap orang yang sedang beribadah
tetapi tak berilmu?
Di samping itu, beribadah tanpa ilmu
sama seperti orang yang berjalan dalam kegelapan, melangkah tanpa arah.
Misalnya, ia melakukan shalat, tetapi ia tidak tahu ilmu tentang rukun-rukun
shalat, hal-hal yang membatalkan shalat dan lain-lainnya. Oleh karena itulah,
kita perlu mencari ilmu untuk menguatkan praktek amal kebajikan dan ibadah yang
kita lakukan. Bukankah Rasulullah Saw pernah menegaskan bahwa ilmu itu adalah
lentera?
Kedua, apabila mengetahui
pahala atau fadhilah (keutamaan)
suatu amalan, maka sadarilah, bahwa pahala atau fadhilah itu tidak akan kita peroleh, jika Allah tidak
menghendakiNya. Dan yakinlah, bahwa hanya dengan adanya izin Allah sajalah,
maka kita bisa memperoleh pahala dan fadhilah
dari amalan tersebut.
Dengan demikian, kita tidak merasa bahwa ketika kita melakukan suatu
amalan, maka Allah wajib memberikan pahala dan fadhilah dari amalan itu kepada kita. Lebih daripada itu, kita juga
tidak merasa bahwa karena pahala amalan kitalah, maka kita berhak memperoleh
surga. Sebab, seseorang dapat masuk surga adalah semata-mata karena adanya
rahmat Allah.
Ketiga, apabila melakukan suatu amal kebajikan atau ibadah, maka bayangkanlah,
bahwa Allah senang melihat kepada kita, sehingga hati kita pun jadi senang
untuk melakukannya. Inilah yang disebut dengan beribadah karena rasa cinta.
Orang yang sedang jatuh cinta, biasanya rela tidak tidur demi memikirkan orang
yang dicintainya. Ia rela begadang demi memikirkan sepatah dua patah kata untuk
diucapkan kepada orang yang dicintainya. Hatinya selalu berbunga-bunga dan tak
mengenal rasa lelah.
Demikian itulah perumpamaan untuk menunjukkan betapa
rasa cinta tidak membuat kita menjadi gampang lelah, bosan dan tak bersemangat.
Sebaliknya, rasa cinta justru membuat kita jadi selalu semangat, tak kenal lelah
dan tiada merasa bosan. Ibadah yang seperti itulah yang perlu kita pupuk. Yakni
ibadah dengan rasa cinta, sehingga dapat memperoleh cinta Ilahi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar