Kalau memang kita yakin bahwa Allah jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada seorang dukun,
maka seharusnya,
kita tidak perlu lagi memberi sedikitpun ruangan dalam kerangka berpikir kita
untuk mempercayai, meyakini dan mengikuti apa yang telah dikatakan seorang
dukun.
Kalau,
misalnya, kita masih tetap memberi ruangan --- meski cuma sedikit --- untuk
mengakui
‘kehebatan’ seorang dukun, maka itu berarti kita telah terjebak ke
dalam
sikap menduakan keyakinan kepada
Al-Khaliq.
Disadari
atau tidak, kita acapkali sering ‘dikecoh’ oleh cara berpikir yang kita pakai
sendiri. Misalnya, ketika kita melihat dan
menyikapi bagaimana praktek perdukunan yang ada di sekitar kita. Kita
terkadang, tanpa sadar, seringkali terbawa arus yang berkembang di masyarakat.
Yaitu menganggap praktek perdukunan itu memang benar-benar nyata dan ada.
Bahkan tak jarang, kita juga sering mengakui kehebatan
seorang dukun, yang sebetulnya hanya ‘mengaku-aku’ punya daya linuwih.
Tapi, anehnya, pada kesempatan yang sama, ternyata kita juga yakin kalau Allah
itu adalah Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Kuat. Pasalnya, semua yang hidup dan
mati di dunia ini, ada dalam genggaman-Nya. Termasuk sang dukun yang
kita yakini itu sendiri.
Sepintas, memang tidak ada yang salah dari pernyataan dan
sikap kita itu. Tapi, kalau kita mau mencermatinya lagi, maka dalam pernyataan
dan sikap kita itu, ada kerancuan berpikir yang
cukup fatal.
Perhatikanlah, misalnya, bagaimana di satu sisi kita
percaya (minimal ‘mengakui’) tentang ‘kehebatan’ seorang dukun. Tapi, pada sisi
yang lain, kita yakin kalau Allah lebih hebat daripada seorang dukun. Namun,
dalam pratek kesehariannya, kita masih juga mau mendengar advis dari seorang
dukun.
Kalau memang kita yakin bahwa Allah
jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada seorang dukun, maka seharusnya, kita
tidak perlu lagi memberi sedikitpun ruangan dalam kerangka berpikir kita untuk
mempercayai, meyakini dan mengikuti apa yang telah dikatakan seorang dukun.
Kalau, misalnya, kita masih tetap
memberi ruangan --- meski cuma sedikit --- untuk mengakui ‘kehebatan’ seorang
dukun, maka itu berarti kita telah terjebak ke dalam sikap menduakan keyakinan kepada Al-Khaliq.
Memang,
secara dzahir, tindakan kita yang telah menduakan Allah itu tidak begitu
nampak. Apalagi jika kita masih menganggap,
keyakinan pokok kita pada Allah, masih sterill dan utuh. Tapi, siapa
yang bisa menjamin, bahwa keyakinan pokok kita itu masih sterill dan
utuh? Sementara, kita sadar betul, dalam praktek hidup keseharian kita, masih
ada tindakan kita yang memberi ruang ‘pengakuan’ terhadap seorang dukun. Itu
artinya, tindakan kita saat itu sudah termasuk ke dalam perbuatan telah
menduakan Allah.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena kita masih sering
berteman dengan musuh abadi manusia. Apa musuh abadi manusia itu? Yakni, hawa
nafsu kita sendiri, yang notabene selalu
ingin ‘membenarkan’ tindakan kita yang sebetulnya salah. Padahal, jauh-jauh
hari Allah telah mengingatkan manusia, sebagaimana yang tercantum dalam surat
Shaad ayat 38: “ …, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah.”
Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Hapus semua ‘keyakinan’ dan ‘pengakuan’ kita terhadap praktek perdukunan.
Kembali ke syari’at agama secara benar. Perangi musuh abadi yang telah
ditetapkan oleh Allah. Dan yang penting, jangan berteman dengan
musuh abadi manusia. Yaitu hawa nafsu dan setan. Sebab, hal itu sama saja dengan telah menduakan Allah.
Dengan cara seperti itu, insya Allah kita akan selamat. ■
Tidak ada komentar:
Posting Komentar