Kamis, 15 Maret 2012

| Musuh Manusia |

Kalau memang kita yakin bahwa Allah jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada seorang dukun, 
maka seharusnya, kita tidak perlu lagi memberi sedikitpun ruangan dalam kerangka berpikir kita untuk mempercayai, meyakini dan mengikuti apa yang telah dikatakan seorang dukun.
            Kalau, misalnya, kita masih tetap memberi ruangan --- meski cuma sedikit --- untuk mengakui 
‘kehebatan’ seorang dukun, maka itu berarti kita telah terjebak ke dalam   
sikap menduakan keyakinan kepada Al-Khaliq.




    Disadari atau tidak, kita acapkali sering ‘dikecoh’ oleh cara berpikir yang kita pakai sendiri. Misalnya, ketika kita melihat dan menyikapi bagaimana praktek perdukunan yang ada di sekitar kita. Kita terkadang, tanpa sadar, seringkali terbawa arus yang berkembang di masyarakat. Yaitu menganggap praktek perdukunan itu memang benar-benar nyata dan ada.
Bahkan tak jarang, kita juga sering mengakui kehebatan seorang dukun, yang sebetulnya hanya ‘mengaku-aku’ punya daya linuwih. Tapi, anehnya, pada kesempatan yang sama, ternyata kita juga yakin kalau Allah itu adalah Zat Yang Maha Kuasa dan Maha Kuat. Pasalnya, semua yang hidup dan mati di dunia ini, ada dalam genggaman-Nya. Termasuk sang dukun yang kita yakini itu sendiri.
      Sepintas, memang tidak ada yang salah dari pernyataan dan sikap kita itu. Tapi, kalau kita mau mencermatinya lagi, maka dalam pernyataan dan sikap kita itu, ada kerancuan berpikir yang  cukup fatal.
Perhatikanlah, misalnya, bagaimana di satu sisi kita percaya (minimal ‘mengakui’) tentang ‘kehebatan’ seorang dukun. Tapi, pada sisi yang lain, kita yakin kalau Allah lebih hebat daripada seorang dukun. Namun, dalam pratek kesehariannya, kita masih juga mau mendengar advis dari seorang dukun.
    Kalau memang kita yakin bahwa Allah jauh lebih kuat dan lebih hebat daripada seorang dukun, maka seharusnya, kita tidak perlu lagi memberi sedikitpun ruangan dalam kerangka berpikir kita untuk mempercayai, meyakini dan mengikuti apa yang telah dikatakan seorang dukun.
    Kalau, misalnya, kita masih tetap memberi ruangan --- meski cuma sedikit --- untuk mengakui ‘kehebatan’ seorang dukun, maka itu berarti kita telah terjebak ke dalam  sikap menduakan keyakinan kepada Al-Khaliq.
Memang, secara dzahir, tindakan kita yang telah menduakan Allah itu tidak begitu nampak. Apalagi jika kita masih menganggap, keyakinan pokok kita pada Allah, masih sterill dan utuh. Tapi, siapa yang bisa menjamin, bahwa keyakinan pokok kita itu masih sterill dan utuh? Sementara, kita sadar betul, dalam praktek hidup keseharian kita, masih ada tindakan kita yang memberi ruang ‘pengakuan’ terhadap seorang dukun. Itu artinya, tindakan kita saat itu sudah termasuk ke dalam perbuatan telah menduakan Allah.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena kita masih sering berteman dengan musuh abadi manusia. Apa musuh abadi manusia itu? Yakni, hawa nafsu kita sendiri, yang  notabene selalu ingin ‘membenarkan’ tindakan kita yang sebetulnya salah. Padahal, jauh-jauh hari Allah telah mengingatkan manusia, sebagaimana yang tercantum dalam surat Shaad ayat 38: “ …, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”
    Lalu bagaimana jalan keluarnya? Hapus semua ‘keyakinan’ dan ‘pengakuan’ kita terhadap praktek perdukunan. Kembali ke syari’at agama secara benar. Perangi musuh abadi yang telah ditetapkan oleh Allah. Dan yang penting, jangan berteman dengan musuh abadi manusia. Yaitu hawa nafsu dan setan. Sebab, hal itu sama saja dengan telah menduakan Allah. Dengan cara seperti itu, insya Allah kita akan selamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar