Di suatu sore,
seorang ibu muda tengah bermain bersama anaknya yang masih balita. Sang anak
mengajak ibunya berlomba main puzzle.
Siapa yang lebih dulu berhasil menyatukan potongan-potongan gambar yang ada di
hadapannya, maka dialah yang akan menjadi pemenang. Si anak dengan serius
memperhatikan potongan-potongan gambar yang ada di hadapannya.
Mulutnya jadi terlihat manyun karena
saking seriusnya. Tangan mungilnya berusaha mengambil potongan-potongan gambar
tersebut dengan secepat yang ia bisa. Sesekali ia melihat ke arah puzzle
milik ibunya. Ia tak ingin menjadi orang yang kalah.
Sementara itu, sang
ibu melirik anaknya sambil mengulum senyum. Ia
memperhatikan tingkah anaknya dengan pandangan bijaknya. Ia sangat
menyadari, bahwa anaknya itu ingin sekali tampil sebagai pemenang. Rasa sayang
kepada anaknya, menyebabkan ia tak ingin membuat anaknya yang masih sangat
belia itu jadi kecewa.
Tatkala si anak
melirik ke arah ibunya, sang ibu mulai memerankan sandiwaranya. Ia mengernyit
hingga dahinya penuh dengan kerutan, untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar
berpikir keras untuk menyatukan potongan-potongan gambar tersebut. Ia
berpura-pura bingung dan memperlambat ritme permainannya.
Demikianlah gambaran sikap hidup orang yang merendah karena rasa cinta kasih, bukan
karena mengharapkan pamrih lainnya. Merendah dengan maksud untuk menghormati
perjalanan dan perjuangan hidup orang lain. Jika kita simak pada sikap sang ibu
terhadap anaknya tadi, maka sejatinya, sang ibu itu bisa saja menyelesaikan
permainannya dengan mudah dan cepat.
Sebab, dari cara
berpikir dan pengalamannya, sang ibu tentu jauh lebih faham dan cermat di dalam
melihat potongan-potongan gambar puzzle tersebut. Akan tetapi, ia
memilih dirinya untuk menjadi orang yang kalah, agar anak yang diasuhnya itu
semakin bertambah semangatnya dan termotivasi untuk selalu berpikir dan
berusaha.
Rendah Hati
Dari
ilustrasi tentang ibu dan anak di atas, kita dapat melihat suatu sikap hidup
yang bijak. Yakni, rendah hati. Banyak orang yang merasa dirinya tidak dipandang, jika ia bersikap
rendah hati. Namun, anehnya, jika ditanya kepada mereka, apakah mereka senang
terhadap orang yang bersikap rendah hati; maka jawabannya bisa dipastikan akan
seragam. Yaitu, senang melihat orang
yang bersikap rendah hati.
Sikap rendah hati itu,
seperti ibu yang mengasuh anaknya ketika bermain tadi. Kendati ia lebih tahu,
tetapi ia tidak bersikap seolah-olah lebih tahu. Kendati ia lebih menguasai
permainan, namun ia tidak menunjukkan sikap arogan dan mau menang sendiri.
Kendati ia lebih berpengalaman, namun ia tidak bersikap menggurui dan tinggi
hati. Sebaliknya, ia memilih bersikap seolah-olah tidak tahu, tidak menguasai
dan tidak berpengalaman, dengan tujuan untuk menghormati anaknya dan untuk
membangkitkan sifat positif pada diri anaknya. Yaitu, rasa percaya diri.
Seorang yang rendah
hati, ia lebih memilih bersikap tidak merasa lebih tahu, lebih memahami, lebih
menguasai, lebih berpengalaman dan segala jenis perasaan merasa lebih lainnya. Hal itu
dilakukan, bukan untuk bersiasat menjatuhkan mental orang lain.
Misalnya, ia
berpura-pura tidak menguasai, tetapi begitu ada kesempatan, ia segera
menunjukkan kehebatan penguasaannya, dengan tujuan untuk membuat orang lain
merasa malu atau menjadi tahu tentang siapa dirinya. Alhasil, yang demikian itu
sama halnya dengan ia merendah secara lahiriah, namun jauh di dalam hatinya, ia
berkata, ”Huh, dia belum tahu siapa saya yang sebenarnya.”
Juga,
sikap merendah itu bukan ditujukan untuk mencari perhatian dan ingin dipuji-puji
orang. Misalnya, seseorang
merendah di hadapan orang lain, agar ia disenangi dan dipuji orang. Sedangkan
dalam hatinya, ia justru meremehkan orang lain, atau bahkan ia mencaci-maki
orang lain tersebut.
Menghormati Perbedaan
Sikap rendah hati
itu, tiada lain ditujukan untuk menghormati perbedaan di antara makhluk Tuhan.
Baik itu perbedaan pendapat, perbedaan pengalaman, perbedaan tingkat
pengetahuan, perbedaan keyakinan, perbedaan status sosial dan segala macam
perbedaan lainnya. Yang dilihat oleh seorang yang rendah hati itu bukanlah
perbedaan itu sendiri.
Akan tetapi, siapa
yang menciptakan berbagai perbedaan tersebut? Yakni, Allah. Alhasil, sejatinya,
orang yang rendah hati itu, ia bukanlah tengah merendahkan dirinya di hadapan
makhluk. Akan tetapi, ia tengah merendahkan dirinya di hadapan yang menciptakan
makhluk tersebut. Yaitu Sang Khaliq.
Oleh
karena itu, orang yang merendah itu, pada dasarnya ia memiliki tingkat keimanan
dan keilmuan (dalam lingkup ilmu hakikat) yang lebih tinggi. Mengapa demikian?
Sebab, yang dia lihat bukan pada gerak makhluk, melainkan pada gerak Allah.
Sehingga, sekalipun orang lain meninggikan diri di hadapannya, ia tetap memilih
untuk bersikap merendah dan tidak ikut terpancing. Hal itu ia lakukan, karena
yang ia lihat pada diri orang lain itu adalah gerak Allah. Barangkali, di
sinilah titik temu dari makna pepatah yang mengatakan, semakin padi berisi,
maka ia semakin merunduk.
Dengan demikian,
bukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan penguasaan ilmu syari’at
semata yang membuat seseorang jadi bisa bersikap rendah hati. Melainkan pada
penguasaan ilmu hakikat yang mendalam dan kemampuannya dalam membaca
tanda-tanda dari Sang Pencipta di setiap gerak makhluk, dan di setiap kejadian
serta peristiwa yang terjadi di muka bumi ini. Alhasil,
jangan malu dan sungkan untuk belajar menjadi orang yang rendah hati. Sebab,
sejatinya, yang merendah itulah yang justru lebih tinggi kedudukannya. Namun,
jangan lupa, bahwa sesungguhnya, semua kemampuan untuk bisa melakukan hal
tersebut adalah mutlak karena adanya pertolongan dari Allah ’Azza wa Jalla.***
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)