Selasa, 13 Maret 2012

| Manusia Tanpa Kepala? |

Allah tidak pernah zalim kepada hamba-Nya.
Hamba-Nyalah yang suka menzalimi diri sendiri. Karena itu, jika sebuah musibah terjadi, 
maka sebetulnya semua itu tak lain adalah akibat dari perbuatan
diri kita sendiri.


Pernah melihat tubuh berjalan tanpa kepala? Mungkin Anda akan membayangkan ada hantu tanpa kepala yang sering menjadi tema film-film horror di televisi. Tetapi ini bukan dalam film. Melainkan dalam kehidupan nyata. Bahkan, mungkin, sangat boleh jadi, diri kita sendirilah yang tidak berkepala itu.
            Tubuh tanpa kepala adalah sebuah kiasan simbolik yang dibuat imam Ali bin Abi Thalib karamullah wajhah. Tubuh dan kepala adalah simbol dari iman dan sabar. Jadi, meskipun beriman, tetapi jika tidak diiringi dengan sabar, maka tak ada fungsi imannya. Ibarat tubuh, jika tidak punya kepala, maka tubuh itu tidak berguna alias mati.
            Hubungan iman dan sabar sangat erat sekali. Keimanan kita bisa terkikis jika kita tidak sabar dalam menempuh kehidupan ini. Suatu misal, kita yakin dan percaya pada kebesaran dan kemurahan Allah. Namun, ketika kita mengalami suatu musibah yang tak bisa dielakkan, seperti rumah terbakar, warung digusur atau sawah gagal panen, kita menjadi lupa bahwa apa yang menimpa kita itu juga atas kehendak Allah.
            Sikap sabar kita menjadi sirna dan diganti dengan keluh-kesah. Dan bahkan mungkin, kita justru menghujat sifat kemaha-adilan Tuhan. Sehingga, hilanglah rasa syukur atas nikmat yang telah kita terima berpuluh-puluh tahun sebelum musibah itu terjadi.
Seakan-akan, kemurahan Allah dengan limpahan nikmat dalam sepanjang hidup kita, menjadi terhapus oleh adanya musibah yang terjadi hari itu. Kita menjadi apatis dengan sifat kemaha-pemurahan Tuhan dalam kehidupan kita di bumi ini. Seakan-akan kita menganggap Tuhan telah menutup pintu masa depan bagi kehidupan kita.
Padahal, Allah menimpakan kesusahan dan kerugian itu, boleh jadi justeru sebagai ujian atas keimanan kita. Atau mungkin juga sebagai resiko dari perbuatan dosa yang pernah kita lakukan. Karena kasih sayang Allah, kita diberi semacam ‘siksaan’ di bumi ini untuk mengurangi siksa di akhirat kelak.
Yang jelas, jika suatu musibah terjadi, maka yakinlah bahwa semua itu berada dalam kawasan cinta dan kasih sayang Allah. Selalu menjaga hati agar berprasangka baik kepada Allah. Allah tidak pernah zalim kepada hamba-Nya. Hamba-Nyalah yang suka menzalimi diri sendiri. Karena itu, jika sebuah musibah terjadi, maka sebetulnya semua itu tak lain adalah akibat dari perbuatan diri kita sendiri.
Allah sendiri telah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Baginya akan  memperoleh akibat dari apa yang ia perbuat.”
Apabila kita selalu berbaik sangka kepada Allah dan percaya bahwa semua yang terjadi itu berada dalam kawasan cinta dan kasih sayang Allah, maka kita akan lebih mudah memunculkan sikap sabar dan menerima dengan ikhlas atas apa yang telah terjadi pada diri kita itu.
Namun demikian, sabar jangan kita artikan sebagai menerima pasrah tanpa mau berusaha sama sekali. Kalau demikian halnya, maka sama seperti orang yang meninggalkan keledainya dalam keadaan tidak terikat dan pasrah atas apa yang akan terjadi pada keledainya. Ia tidak berikhtiar lebih dulu.
Sabar yang dimaksud di sini adalah, tetap berprasangka baik kepada Allah atas apa yang telah dan akan terjadi. Di samping itu, kita juga tetap berikhtiar sesuai dengan yang seharusnya kita lakukan, dan tetap memperhatikan aturan agama. Untuk hasil dari ikhtiar kita itu, kita pasrahkan lagi kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar