… mempersangkakan Allah bersikap tidak adil pada diri
kita, jelas nanti akan menjadi masalah besar.
Sebab, yang kita prasangkai itu adalah Zat yang justeru
telah menciptakan kita dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’.
Wong kepada sesama makhluk saja, Allah tidak membolehkan kita
berprasangka buruk. Bagaimana mungkin kok kita sampai berani-beraninya
‘menuduh’
Allah berlaku tidak adil pada diri kita.
Salah satu perbuatan dosa yang sering kita lakukan, baik
dalam posisi sadar atau tanpa sadar adalah, suka berburuk sangka. Tidak saja
kepada sesama makhluk, tapi tak jarang kita justeru berburuk sangka kepada
Allah ‘Azza wa Jalla.
Misalnya,
ketika kita sedang tertimpa musibah terkena penyakit menahun atau karena orang
yang kita cintai telah dipanggil Allah lebih cepat daripada diri kita. Saat
musibah itu muncul, sangat boleh jadi, yang terlintas dalam hati dan pikiran
kita saat itu adalah: “Mengapa harus saya yang menanggung beban ini, kok bukan
orang lain?”
Sepintas,
memang nampak wajar jika ada orang yang sedang tertimpa musibah berkata seperti
itu. Tapi, kalau kita oncek-i (kupas secara lebih mendalam), ungkapan
kata hati kita yang demikian itu tadi, baik secara tersirat maupun
tersurat, sebetulnya mengandung makna
sebuah sikap ‘penolakan’ terhadap apa yang telah ditetapkan atau ditakdirkan
Allah atas diri kita.
Pernyataan
“Mengapa harus saya, kok bukan orang lain,” melukiskan dengan jelas tentang bagaimana
sikap ‘penolakan’ kita terhadap ketetapan Allah. Yang kalau kita tafsirkan
lebih jauh, konsekuensi dari pernyataan itu mengandung pengertian, seakan-akan,
perlakuan Allah tidak adil terhadap diri kita. Atau bahkan, sangat boleh jadi,
kita justeru ‘menuduh’ Allah telah berbuat semena-mena atas diri kita. Na’udzubillahi
mindzalik!
Hanya
karena masalah ‘titipan’ penyakit menahun, telah dipanggil-Nya orang yang kita
cintai lebih cepat, atau karena kita gagal menjadi orang kaya, lalu kita
berprasangka buruk pada Allah. Padahal, jelas-jelas, di balik apa yang telah
‘dititipkan’ Allah pada diri kita itu, sangat boleh jadi justeru sebetulnya
Allah hendak menyelamatkan kita dari jurang kerusakan yang lebih fatal lagi.
Yang
perlu kita ingat adalah, mempersangkakan Allah bersikap tidak adil pada diri
kita, jelas nanti akan menjadi masalah besar. Sebab, yang kita prasangkai itu
adalah Zat yang justeru telah menciptakan kita dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Wong
kepada sesama makhluk saja, Allah tidak membolehkan kita berprasangka
buruk. Bagaimana mungkin kok kita sampai berani-beraninya ‘menuduh’
Allah berlaku tidak adil pada diri kita.
Berkaitan
dengan prasangka itulah, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah
ra disebutkan bahwa, Rasulullah SAW
bersabda:
“Allah telah
berfirman: Aku selalu mengikuti sangka hambaKu. Dan Aku selalu menyertai dia,
di mana ia ingat kepadaKu. Demi Allah, sungguh, Allah lebih senang menerima
tobat hambaNya dari seseorang yang mendapat kembali barangnya yang telah hilang
di hutan.
Dan siapa yang
mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadaNya sehasta, dan siapa yang mendekat
kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan bila
ia datang kepadaKu dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berjalan
cepat.” (HR. Buchary, Muslim)
Pertanyaannya sekarang ialah, patutkah kita membalas
kebaikan Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara berprasangka buruk kepadaNya? ■
Tidak ada komentar:
Posting Komentar