Selasa, 13 Maret 2012

| Buruk Sangka |

… mempersangkakan Allah bersikap tidak adil pada diri kita, jelas nanti akan menjadi masalah besar.
Sebab, yang kita prasangkai itu adalah Zat yang justeru telah menciptakan kita dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’.
Wong kepada sesama makhluk saja, Allah tidak membolehkan kita berprasangka buruk. Bagaimana mungkin kok kita sampai berani-beraninya ‘menuduh’
Allah berlaku tidak adil pada diri kita.


    Salah satu perbuatan dosa yang sering kita lakukan, baik dalam posisi sadar atau tanpa sadar adalah, suka berburuk sangka. Tidak saja kepada sesama makhluk, tapi tak jarang kita justeru berburuk sangka kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
   Misalnya, ketika kita sedang tertimpa musibah terkena penyakit menahun atau karena orang yang kita cintai telah dipanggil Allah lebih cepat daripada diri kita. Saat musibah itu muncul, sangat boleh jadi, yang terlintas dalam hati dan pikiran kita saat itu adalah: “Mengapa harus saya yang menanggung beban ini, kok bukan orang lain?”
     Sepintas, memang nampak wajar jika ada orang yang sedang tertimpa musibah berkata seperti itu. Tapi, kalau kita oncek-i (kupas secara lebih mendalam), ungkapan kata hati kita yang demikian itu tadi, baik secara tersirat maupun tersurat,  sebetulnya mengandung makna sebuah sikap ‘penolakan’ terhadap apa yang telah ditetapkan atau ditakdirkan Allah atas diri kita.
    Pernyataan “Mengapa harus saya, kok bukan orang lain,”  melukiskan dengan jelas tentang bagaimana sikap ‘penolakan’ kita terhadap ketetapan Allah. Yang kalau kita tafsirkan lebih jauh, konsekuensi dari pernyataan itu mengandung pengertian, seakan-akan, perlakuan Allah tidak adil terhadap diri kita. Atau bahkan, sangat boleh jadi, kita justeru ‘menuduh’ Allah telah berbuat semena-mena atas diri kita. Na’udzubillahi mindzalik!
      Hanya karena masalah ‘titipan’ penyakit menahun, telah dipanggil-Nya orang yang kita cintai lebih cepat, atau karena kita gagal menjadi orang kaya, lalu kita berprasangka buruk pada Allah. Padahal, jelas-jelas, di balik apa yang telah ‘dititipkan’ Allah pada diri kita itu, sangat boleh jadi justeru sebetulnya Allah hendak menyelamatkan kita dari jurang kerusakan yang lebih fatal lagi.
     Yang perlu kita ingat adalah, mempersangkakan Allah bersikap tidak adil pada diri kita, jelas nanti akan menjadi masalah besar. Sebab, yang kita prasangkai itu adalah Zat yang justeru telah menciptakan kita dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’. Wong kepada sesama makhluk saja, Allah tidak membolehkan kita berprasangka buruk. Bagaimana mungkin kok kita sampai berani-beraninya ‘menuduh’ Allah berlaku tidak adil pada diri kita.
    Berkaitan dengan prasangka itulah, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ra  disebutkan bahwa, Rasulullah SAW bersabda: 

       “Allah telah berfirman: Aku selalu mengikuti sangka hambaKu. Dan Aku selalu menyertai dia, di mana ia ingat kepadaKu. Demi Allah, sungguh, Allah lebih senang menerima tobat hambaNya dari seseorang yang mendapat kembali barangnya yang telah hilang di hutan.
       Dan siapa yang mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadaNya sehasta, dan siapa yang mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Dan bila ia datang kepadaKu dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berjalan cepat.” (HR. Buchary, Muslim)
     
     Pertanyaannya sekarang ialah, patutkah kita membalas kebaikan Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara berprasangka buruk kepadaNya? ■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar