Seorang
istri mengomel tanpa henti karena merasa tidak terima dengan perlakuan
suaminya. Sang suami marah kepadanya, hanya gara-gara ia lupa mematikan kompor
ketika ia tengah mendidihkan air. Kemarahan suaminya itu dikarenakan rasa
khawatirnya mengenai kelalaian istrinya
tersebut. Dalam pandangan suaminya, sikap lalai itu jika dibiarkan terus
terjadi, maka suatu saat bisa mengakibatkan kecelakaan yang fatal. Misalnya
kompor meledak yang bisa menjadi penyebab terjadinya kebakaran, sebagaimana
yang kerapkali dibaca oleh sang suami di surat kabar dan tak jarang muncul di
tayangan berita stasiun televisi.
Sementara
itu, sang istri merasa kesal kepada suaminya karena dimarahi. ”Wong saya ini ya manusia juga, mosok tidak boleh lupa,” ujarnya sewot.
”Mbok yao, kompornya itu dimatikan
sendiri, ndak perlu pakai
marah-marah. ’Kan urusannya selesai, ndak
jadi ribut. Gitu aja kok repot,” omelan sang istri masih berlanjut.
Kejadian
semacam itu, di dalam sebuah keluarga sudah merupakan bumbu yang tak
terelakkan. Masalah sepele bisa jadi penyulut kemarahan. Akibat rasa capek
ataupun karena ulah anak-anak yang meminta perhatian orangtuanya, juga tak
jarang sering menjadi penyebab terjadinya keributan di dalam sebuah keluarga.
Keributan kecil pun
tak urung memicu munculnya kemarahan besar yang mengundang perhatian para sanak
keluarga dan tetangga. Baik itu kemarahan antara suami dan istri, antara
orangtua dengan anak, antara sesama saudara atau sesama tetangga.
Konsekuensi Marah
Kemarahan
itu sendiri ada yang sifatnya meledak dengan keras bagaikan ledakan bom di
siang hari bolong. Ada pula
yang hanya berupa letupan-letupan kecil, dan ada juga yang hanya terpendam
dalam hati. Yang jelas, setiap bentuk kemarahan, ada konsekuensinya bagi yang
terlibat di dalam kemarahan tersebut maupun bagi yang hanya mendengar suara
kemarahan itu. Namun, seperti apapun konsekuensi yang dimunculkannya, yang
jelas, kemarahan itu sendiri selalu mengarah kepada konsekuensi atau akibat
yang bersifat negatif.
Persoalannya adalah,
bagaimana caranya agar kemarahan yang menghasilkan konsekuensi negatif tadi itu
dapat berujung pada konsekuensi yang positif? Apa yang sebaiknya kita lakukan
agar kemarahan yang sudah terjadi itu tidak sekedar menjadi luapan emosi sesaat
– ataupun dalam rentang waktu yang cukup lama –, kemudian dilupakan begitu
saja, terkubur bersama berlalunya waktu?
Langkah apa yang
perlu kita tempuh, agar kemarahan itu tidak hanya dapat meninggalkan luka yang
selalu menganga tak terobati, hingga kita sendiri pun akhirnya menjadi terbiasa
dengan adanya luka tersebut? Bagaimanakah caranya agar kemarahan itu justru
bisa menjadi semacam bahan bakar yang bermanfaat untuk kebaikan?
Apakah
sebuah kemarahan – yang notabene merupakan perilaku buruk itu – bisa
memberikan kebaikan? Jawabannya adalah: ”Ya”. Bahkan, kemarahan itu bisa
menjadi salah satu jalan bagi munculnya proses peningkatan iman. Akan tetapi,
untuk bisa mencapai hal tersebut, sudah barang tentu, ada ilmunya atau ada
cara-caranya.
Sebelum kita
melangkah kepada pembahasan tentang cara-cara yang dimaksud, maka terlebih
dahulu kita harus memahami, bahwa kemarahan yang dimaksud di sini adalah
kemarahan yang sudah terlanjur terjadi. Bukan kemarahan yang secara sengaja
direncanakan dengan tujuan agar bisa meningkatkan iman.
Sekiranya kemarahan
itu direncanakan dengan tujuan tersebut, maka dalam hal itu pun, si pelaku
tentu saja akan dapat memetik hikmah (ilmu)nya, apabila ia mau menyadari letak
kekeliruannya dan bersedia menempuh langkah-langkah berikut ini.
Beberapa
Langkah
Ada beberapa langkah
yang sebaiknya kita pertimbangkan untuk dilakukan, terutama ketika amuk kemarahan itu terlanjur terjadi. Pertama, segera menyadari, bahwa apapun
alasannya, yang namanya marah itu tetap salah. Artinya, seperti apapun kita
menganggap diri kita benar --- dan orang lain juga berpandangan yang sama
tentang kita (yaitu dalam posisi benar) ---, namun, jika kita marah, maka
jatuhnya tetaplah salah.
Ibaratnya, Anda
mengendarai sepeda motor dan kemudian menabrak pejalan kaki. Meski pejalan kaki
itu salah, karena ia tidak berhati-hati dalam menyeberang jalan, namun Anda
tetap berada dalam posisi yang salah. Sebab, Andalah yang sedang menggunakan
kendaraan. Demikian pula halnya dengan orang yang marah. Oleh karena itu,
jangan pernah menganggap diri kita benar, manakala kita sedang dalam keadaan marah.
Sebab, hal itu sama seperti memperbanyak hijab
di dalam hati kita sendiri.
Dalam melaksanakan
point pertama ini, memang sangat sulit. Apalagi jika secara logika, posisi kita
saat itu berada pada posisi yang benar. Maka tingkat kesulitan untuk mempraktekkan
hal ini semakin tinggi. Namun, untuk mengantisipasi kesulitan ini, paling tidak
ada tiga cara yang perlu kita lakukan. Yakni, belajar meyakini bahwa kejadian
yang memicu kemarahan kita itu, merupakan cara Tuhan dalam membimbing kita
untuk lebih dekat menuju jalanNya.
Kemudian, kita
belajar memprasangkai, bahwa orang-orang yang terlibat dalam masalah atau
kejadian tersebut, adalah orang-orang yang sejatinya berada dalam cakupan kasih
sayang Allah. Karenanya, sudah selayaknyalah jika kita sebagai seorang hamba
juga menyayangi mereka.
Selanjutnya, jangan
lupa pula untuk belajar mengandalkan kemurahan Allah. Artinya, di dalam
mengakui kesalahan diri itu, kita tetap mengingat bahwa semua proses tersebut
berada dalam kemurahan Allah. Termasuk ketika kita bisa mengakui kesalahan kita
itu, juga atas dasar karena adanya kemurahan dari Allah.
Dalam hal ini,
seluruh proses tersebut kita laksanakan dengan cara belajar. Mengapa dikatakan
belajar? Karena, yang namanya belajar itu, kadang-kadang bisa faham, kadang-kadang
tidak. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal. Bisa di satu hal, namun di
hal lainnya kurang bisa. Itulah yang menjadi lika-liku di dalam belajar.
Namun, kendati
tampaknya belajar itu merupakan sebuah proses yang bersifat jatuh-bangun,
pasang dan surut, dalam kenyataannya, belajar itu tetaplah merupakan sebuah
proses untuk menuju ke arah perubahan yang lebih baik. Yakni, untuk menjadi
bisa. Bukankah tidak ada orang yang belajar dengan maksud agar menjadi tidak
berhasil? Yang namanya belajar itu, sudah barang tentu, dimaksudkan untuk
mencapai keberhasilan. Disitulah letak dinamika perjuangan kita sebagai hamba
Allah di dalam menghadapi berbagai ujian dunia ini.
Menyadari
Adapun langkah
yang kedua adalah, menyadari, bahwa
kemarahan itu muncul dari hawa nafsu kita sendiri. Dengan demikian, kita tidak
berupaya untuk mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menisbatkan
kesalahan dari hawa nafsu kita itu kepada orang lain. Bahwa kemarahan itu
munculnya karena disulut oleh sebuah kejadian atau perbuatan orang lain, boleh
jadi hal itu benar.
Akan tetapi,
kemunculan amuk kemarahan itu
sendiri, asalnya jelas dari hawa nafsu kita sendiri. Sebab, kita sendiri belum
bisa melemahkan hawa nafsu yang ada pada diri kita. Kobaran hawa nafsu kita
itulah yang kemudian menjadi biang keroknya.
Nah, yang sering
kali menjadi kendala pada diri manusia adalah, bagaimana caranya agar ia bisa
melemahkan hawa nafsunya sendiri? Jawabnya adalah dengan berpuasa. Sebab, puasa
itu adalah salah satu jalan untuk melemahkan hawa nafsu kita. Mengapa demikian?
Karena, berpuasa itu merupakan sebuah proses penghentian pemenuhan kebutuhan
biologis (makan, minum dan seksualitas) dari waktu Shubuh sampai Maghrib.
Penghentian sementara ini, menurut para ahlul kasyaf, merupakan suatu
bentuk pembakaran terhadap hawa nafsu agar ia lebih mengenal siapa dirinya dan
siapa Tuhannya.
Akan tetapi, banyak orang yang mengalami
kegagalan dengan cara berpuasa ini. Sebab, setelah Maghrib, mereka kembali
memberikan pelayanan ekstra terhadap hawa nafsunya dengan cara memanjakan hawa
nafsunya sedemikian rupa, sehingga proses pembakaran yang telah ia lalui
sebelumnya menjadi kurang begitu sempurna. Maka itu, tak heran jika di kalangan
kaum salaf, berbuka puasa itu
dilakukan dengan cara tidak lebih dari lima teguk air dan tiga butir kurma.
Setelah itu, langsung shalat maghrib. Jika masih ada makanan lainnya, maka
barulah makan secukupnya (berhenti sebelum kenyang).
Apakah cara lainnya
yang dapat dilakukan untuk melemahkan hawa nafsu? Yakni, dengan cara menyadari
kehadiran hawa nafsu yang mengarah kepada hal yang negatif. Misalnya, hawa
nafsu yang mengajak untuk marah, mengajak untuk membicarakan aib orang,
mengajak untuk mencari-cari kesalahan orang lain, mengajak bersikap takabbur
(sombong), ’ujub (berbangga diri) dan lain sebagainya. Disinilah letak
pentingnya introspeksi diri. Mengupas kelemahan dan kekurangan diri merupakan
salah satu cara yang perlu kita lakukan untuk dapat menyadari kehadiran hawa
nafsu kita tersebut.
Apabila kita lebih
suka membaca kekurangan dan kesalahan diri sendiri, maka tak banyak ruang yang
tersedia bagi hawa nafsu untuk menonjolkan dirinya. Barangkali, di sini pulalah
letak kunci dari puasa sepanjang waktu yang sering diamalkan oleh para musallaf.
Sebab, yang dipuasakan itu bukan sekedar bagian perut dan farjinya
(seksualitas) saja, melainkan adalah benar-benar mempuasakan hawa nafsunya.
Sehingga, segala anggota badan dan terutama hati, dengan sendirinya juga ikut
terjaga. Puasa seperti itu, jelas sangatlah tidak mudah. Tapi, kedudukannya,
cukup penting bagi proses perjalanan manusia dalam melemahkan hawa nafsu.
Mengambil
Pelajaran
Masih mengenai
langkah berikutnya, yaitu langkah yang ketiga
adalah, mengambil pelajaran atau ilmu dari peristiwa yang telah terjadi.
Mengambil pelajaran itu bukanlah termasuk perkara yang mudah, jika langkah yang
pertama dan kedua belum kita praktekkan. Ilmu itu adalah lentera hati. Demikian
Rasulullah Saw pernah bersabda.
Namun, agar ilmu itu
benar-benar bisa menjadi penerang hati, maka ilmu itu harus diletakkan dalam
tingkat praktek dan menyadari betul dari siapa ilmu itu berasal. Alhasil, kita
tidak hanya sekedar bisa mengambil pelajaran atau ilmunya, melainkan kita juga
berupaya belajar bersyukur dan mempraktekkan ilmu tersebut, sehingga kita tidak
terus-menerus melakukan kesalahan yang sama.
Sudah
barang tentu, dalam menempuh keseluruhan proses tersebut, kita jangan sampai
lupa untuk menyandarkannya pada kemurahan pertolongan Allah ’Azza wa Jalla.
Sebab, kita dapat mengenali gerak hati kita, melemahkan hawa nafsu kita, dan
bisa belajar bersyukur dan praktek, kesemuanya itu adalah mutlak karena adanya
pertolongan dari Zat Yang Menguasai hati kita dan Zat Yang Maha Menyelamatkan.
Yaitu, Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar