Senin, 05 Maret 2012

| Terlanjur Marah |

    Seorang istri mengomel tanpa henti karena merasa tidak terima dengan perlakuan suaminya. Sang suami marah kepadanya, hanya gara-gara ia lupa mematikan kompor ketika ia tengah mendidihkan air. Kemarahan suaminya itu dikarenakan rasa khawatirnya  mengenai kelalaian istrinya tersebut. Dalam pandangan suaminya, sikap lalai itu jika dibiarkan terus terjadi, maka suatu saat bisa mengakibatkan kecelakaan yang fatal. Misalnya kompor meledak yang bisa menjadi penyebab terjadinya kebakaran, sebagaimana yang kerapkali dibaca oleh sang suami di surat kabar dan tak jarang muncul di tayangan berita stasiun televisi.
   Sementara itu, sang istri merasa kesal kepada suaminya karena dimarahi. ”Wong saya ini ya manusia juga, mosok tidak boleh lupa,” ujarnya sewot. ”Mbok yao, kompornya itu dimatikan sendiri, ndak perlu pakai marah-marah. ’Kan urusannya selesai, ndak jadi ribut. Gitu aja kok repot,” omelan sang istri masih berlanjut.
   Kejadian semacam itu, di dalam sebuah keluarga sudah merupakan bumbu yang tak terelakkan. Masalah sepele bisa jadi penyulut kemarahan. Akibat rasa capek ataupun karena ulah anak-anak yang meminta perhatian orangtuanya, juga tak jarang sering menjadi penyebab terjadinya keributan di dalam sebuah keluarga.
Keributan kecil pun tak urung memicu munculnya kemarahan besar yang mengundang perhatian para sanak keluarga dan tetangga. Baik itu kemarahan antara suami dan istri, antara orangtua dengan anak, antara sesama saudara atau sesama tetangga.

Konsekuensi Marah
     Kemarahan itu sendiri ada yang sifatnya meledak dengan keras bagaikan ledakan bom di siang hari bolong. Ada pula yang hanya berupa letupan-letupan kecil, dan ada juga yang hanya terpendam dalam hati. Yang jelas, setiap bentuk kemarahan, ada konsekuensinya bagi yang terlibat di dalam kemarahan tersebut maupun bagi yang hanya mendengar suara kemarahan itu. Namun, seperti apapun konsekuensi yang dimunculkannya, yang jelas, kemarahan itu sendiri selalu mengarah kepada konsekuensi atau akibat yang bersifat negatif.
     Persoalannya adalah, bagaimana caranya agar kemarahan yang menghasilkan konsekuensi negatif tadi itu dapat berujung pada konsekuensi yang positif? Apa yang sebaiknya kita lakukan agar kemarahan yang sudah terjadi itu tidak sekedar menjadi luapan emosi sesaat – ataupun dalam rentang waktu yang cukup lama –, kemudian dilupakan begitu saja, terkubur bersama berlalunya waktu?
Langkah apa yang perlu kita tempuh, agar kemarahan itu tidak hanya dapat meninggalkan luka yang selalu menganga tak terobati, hingga kita sendiri pun akhirnya menjadi terbiasa dengan adanya luka tersebut? Bagaimanakah caranya agar kemarahan itu justru bisa menjadi semacam bahan bakar yang bermanfaat untuk kebaikan?
    Apakah sebuah kemarahan – yang notabene merupakan perilaku buruk itu – bisa memberikan kebaikan? Jawabannya adalah: ”Ya”. Bahkan, kemarahan itu bisa menjadi salah satu jalan bagi munculnya proses peningkatan iman. Akan tetapi, untuk bisa mencapai hal tersebut, sudah barang tentu, ada ilmunya atau ada cara-caranya.
Sebelum kita melangkah kepada pembahasan tentang cara-cara yang dimaksud, maka terlebih dahulu kita harus memahami, bahwa kemarahan yang dimaksud di sini adalah kemarahan yang sudah terlanjur terjadi. Bukan kemarahan yang secara sengaja direncanakan dengan tujuan agar bisa meningkatkan iman.
Sekiranya kemarahan itu direncanakan dengan tujuan tersebut, maka dalam hal itu pun, si pelaku tentu saja akan dapat memetik hikmah (ilmu)nya, apabila ia mau menyadari letak kekeliruannya dan bersedia menempuh langkah-langkah berikut ini.

Beberapa Langkah
Ada beberapa langkah yang sebaiknya kita pertimbangkan untuk dilakukan, terutama ketika amuk kemarahan itu terlanjur terjadi. Pertama, segera menyadari, bahwa apapun alasannya, yang namanya marah itu tetap salah. Artinya, seperti apapun kita menganggap diri kita benar --- dan orang lain juga berpandangan yang sama tentang kita (yaitu dalam posisi benar) ---, namun, jika kita marah, maka jatuhnya tetaplah salah.
Ibaratnya, Anda mengendarai sepeda motor dan kemudian menabrak pejalan kaki. Meski pejalan kaki itu salah, karena ia tidak berhati-hati dalam menyeberang jalan, namun Anda tetap berada dalam posisi yang salah. Sebab, Andalah yang sedang menggunakan kendaraan. Demikian pula halnya dengan orang yang marah. Oleh karena itu, jangan pernah menganggap diri kita benar, manakala kita sedang dalam keadaan marah. Sebab, hal itu sama seperti memperbanyak hijab di dalam hati kita sendiri.
Dalam melaksanakan point pertama ini, memang sangat sulit. Apalagi jika secara logika, posisi kita saat itu berada pada posisi yang benar. Maka tingkat kesulitan untuk mempraktekkan hal ini semakin tinggi. Namun, untuk mengantisipasi kesulitan ini, paling tidak ada tiga cara yang perlu kita lakukan. Yakni, belajar meyakini bahwa kejadian yang memicu kemarahan kita itu, merupakan cara Tuhan dalam membimbing kita untuk lebih dekat menuju jalanNya.
Kemudian, kita belajar memprasangkai, bahwa orang-orang yang terlibat dalam masalah atau kejadian tersebut, adalah orang-orang yang sejatinya berada dalam cakupan kasih sayang Allah. Karenanya, sudah selayaknyalah jika kita sebagai seorang hamba juga menyayangi mereka.
Selanjutnya, jangan lupa pula untuk belajar mengandalkan kemurahan Allah. Artinya, di dalam mengakui kesalahan diri itu, kita tetap mengingat bahwa semua proses tersebut berada dalam kemurahan Allah. Termasuk ketika kita bisa mengakui kesalahan kita itu, juga atas dasar karena adanya kemurahan dari Allah.
Dalam hal ini, seluruh proses tersebut kita laksanakan dengan cara belajar. Mengapa dikatakan belajar? Karena, yang namanya belajar itu, kadang-kadang bisa faham, kadang-kadang tidak. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal. Bisa di satu hal, namun di hal lainnya kurang bisa. Itulah yang menjadi lika-liku di dalam belajar.
Namun, kendati tampaknya belajar itu merupakan sebuah proses yang bersifat jatuh-bangun, pasang dan surut, dalam kenyataannya, belajar itu tetaplah merupakan sebuah proses untuk menuju ke arah perubahan yang lebih baik. Yakni, untuk menjadi bisa. Bukankah tidak ada orang yang belajar dengan maksud agar menjadi tidak berhasil? Yang namanya belajar itu, sudah barang tentu, dimaksudkan untuk mencapai keberhasilan. Disitulah letak dinamika perjuangan kita sebagai hamba Allah di dalam menghadapi berbagai ujian dunia ini.

Menyadari
Adapun langkah yang kedua adalah, menyadari, bahwa kemarahan itu muncul dari hawa nafsu kita sendiri. Dengan demikian, kita tidak berupaya untuk mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak menisbatkan kesalahan dari hawa nafsu kita itu kepada orang lain. Bahwa kemarahan itu munculnya karena disulut oleh sebuah kejadian atau perbuatan orang lain, boleh jadi hal itu benar.
Akan tetapi, kemunculan amuk kemarahan itu sendiri, asalnya jelas dari hawa nafsu kita sendiri. Sebab, kita sendiri belum bisa melemahkan hawa nafsu yang ada pada diri kita. Kobaran hawa nafsu kita itulah yang kemudian menjadi biang keroknya.
Nah, yang sering kali menjadi kendala pada diri manusia adalah, bagaimana caranya agar ia bisa melemahkan hawa nafsunya sendiri? Jawabnya adalah dengan berpuasa. Sebab, puasa itu adalah salah satu jalan untuk melemahkan hawa nafsu kita. Mengapa demikian? Karena, berpuasa itu merupakan sebuah proses penghentian pemenuhan kebutuhan biologis (makan, minum dan seksualitas) dari waktu Shubuh sampai Maghrib. Penghentian sementara ini, menurut para ahlul kasyaf, merupakan suatu bentuk pembakaran terhadap hawa nafsu agar ia lebih mengenal siapa dirinya dan siapa Tuhannya.
Akan tetapi, banyak orang yang mengalami kegagalan dengan cara berpuasa ini. Sebab, setelah Maghrib, mereka kembali memberikan pelayanan ekstra terhadap hawa nafsunya dengan cara memanjakan hawa nafsunya sedemikian rupa, sehingga proses pembakaran yang telah ia lalui sebelumnya menjadi kurang begitu sempurna. Maka itu, tak heran jika di kalangan kaum salaf, berbuka puasa itu dilakukan dengan cara tidak lebih dari lima teguk air dan tiga butir kurma. Setelah itu, langsung shalat maghrib. Jika masih ada makanan lainnya, maka barulah makan secukupnya (berhenti sebelum kenyang).
Apakah cara lainnya yang dapat dilakukan untuk melemahkan hawa nafsu? Yakni, dengan cara menyadari kehadiran hawa nafsu yang mengarah kepada hal yang negatif. Misalnya, hawa nafsu yang mengajak untuk marah, mengajak untuk membicarakan aib orang, mengajak untuk mencari-cari kesalahan orang lain, mengajak bersikap takabbur (sombong), ’ujub (berbangga diri) dan lain sebagainya. Disinilah letak pentingnya introspeksi diri. Mengupas kelemahan dan kekurangan diri merupakan salah satu cara yang perlu kita lakukan untuk dapat menyadari kehadiran hawa nafsu kita tersebut.
Apabila kita lebih suka membaca kekurangan dan kesalahan diri sendiri, maka tak banyak ruang yang tersedia bagi hawa nafsu untuk menonjolkan dirinya. Barangkali, di sini pulalah letak kunci dari puasa sepanjang waktu yang sering diamalkan oleh para musallaf. Sebab, yang dipuasakan itu bukan sekedar bagian perut dan farjinya (seksualitas) saja, melainkan adalah benar-benar mempuasakan hawa nafsunya. Sehingga, segala anggota badan dan terutama hati, dengan sendirinya juga ikut terjaga. Puasa seperti itu, jelas sangatlah tidak mudah. Tapi, kedudukannya, cukup penting bagi proses perjalanan manusia dalam melemahkan hawa nafsu.

Mengambil Pelajaran
Masih mengenai langkah berikutnya, yaitu langkah yang ketiga adalah, mengambil pelajaran atau ilmu dari peristiwa yang telah terjadi. Mengambil pelajaran itu bukanlah termasuk perkara yang mudah, jika langkah yang pertama dan kedua belum kita praktekkan. Ilmu itu adalah lentera hati. Demikian Rasulullah Saw pernah bersabda.
Namun, agar ilmu itu benar-benar bisa menjadi penerang hati, maka ilmu itu harus diletakkan dalam tingkat praktek dan menyadari betul dari siapa ilmu itu berasal. Alhasil, kita tidak hanya sekedar bisa mengambil pelajaran atau ilmunya, melainkan kita juga berupaya belajar bersyukur dan mempraktekkan ilmu tersebut, sehingga kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan yang sama.
   Sudah barang tentu, dalam menempuh keseluruhan proses tersebut, kita jangan sampai lupa untuk menyandarkannya pada kemurahan pertolongan Allah ’Azza wa Jalla. Sebab, kita dapat mengenali gerak hati kita, melemahkan hawa nafsu kita, dan bisa belajar bersyukur dan praktek, kesemuanya itu adalah mutlak karena adanya pertolongan dari Zat Yang Menguasai hati kita dan Zat Yang Maha Menyelamatkan. Yaitu, Allah, Tuhan Yang Sebenarnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar