Ada
sebuah kisah tragis yang menimpa sebuah keluarga. Seorang istri yang semula
hanya berdiam diri saja ketika suaminya memukul dan menendang dirinya,
tiba-tiba berubah menjadi orang yang garang dan bahkan boleh dibilang sangat
bengis. Ia merasa sangat direndahkan karena sang suami berselingkuh dengan
wanita lain. Sudahlah kebutuhan ekonominya kurang dicukupi, ia semakin merasa
diperlakukan secara tidak adil. Apalagi setelah ia mengetahui dengan mata
kepalanya sendiri, bahwa si suami bermain api dengan perempuan lain.
Luapan
amarahnya yang memuncak tumpah ruah. Ia mengambil sebatang besi yang ada di
dapur rumahnya dan memukulkan ke kepala suaminya dari arah belakang. Si suami
yang tidak menduga istrinya akan berbuat nekad seperti itu tak sempat mengelak.
Ia pun jatuh tersungkur dan sekarat. Dengan santainya sang istri pergi
meninggalkan suaminya yang sedang terkulai di lantai dengan darah yang
tergenang dari luka di kepalanya. Peristiwa seperti ini pernah terjadi dan tak
jarang kita temui ada di sekitar kita dengan bentuk kasus yang berbeda.
Orang
yang mengetahui kejadian itu pun bertanya-tanya. Bagaimana bisa perempuan
tersebut tega membunuh suaminya sendiri? Padahal mereka sudah dikaruniai tiga
orang anak. Mereka menduga, si istri sedang kalap dan tak bisa memakai akal sehatnya.
Sedang si istri sendiri mengaku, ia merasa sudah habis semua kesabarannya.
Ia berkata, ”Saya
sudah berada pada titik batas kesabaran saya. Selama ini, saya cuma diam saja
kalau suami memukul saya dan memperlakukan saya secara semena-mena. Saya sudah mencoba bersabar, tetapi ia
justru menghabiskan kesabaran saya dengan berselingkuh bersama wanita lain.”
Bahan Bakar
Belajar dari kasus
semacam itu, memang kebanyakan orang merasa, bahwa ia memiliki kekuatan untuk
bersabar selama sekian waktu -- yang menurutnya sudah cukup panjang. Padahal,
apa yang ia sebut sebagai kesabaran itu, boleh jadi adalah sebuah proses
pengumpulan bahan bakar untuk memberi kekuatan yang lebih besar lagi kepada
hawa nafsunya sendiri.
Sehingga, ketika bahan bakar itu sudah
cukup banyak, sedikit saja tersulut api, maka ledakannya menjadi sangat dahsyat
dan mengerikan. Mengapa demikian? Sebab, kita kerapkali mengira bahwa berdiam
diri itu adalah identik dengan bersabar.
Kita juga terkadang kerapkali menganggap
bahwa bersabar itu juga termasuk menerima perlakuan orang lain yang bersifat
semena-mena dengan cara menahan diri untuk berbuat sesuatu yang membuat si
zalim berhenti dari kezalimannya. Kebanyakan orang memahami bersabar itu
sebagai suatu bentuk kepasifan semata. Sehingga, ketika seseorang diam saja
saat dipukul, misalnya, maka dia dianggap sebagai orang yang sabar.
Anda, barangkali, pernah menyaksikan
acara di televisi tentang perbuatan usil yang dilakukan oleh seseorang terhadap
orang lain. Ketika orang yang diusili itu tidak marah, maka dianggap orang itu
memiliki kesabaran yang besar. Padahal, belum tentu orang yang diam saja itu
berarti ia tengah bersabar.
Sebab, boleh jadi mulut dan fisiknya
diam. Tetapi, siapa yang tahu kalau ternyata orang yang diam tadi itu, tiba-tiba
hatinya mengeluarkan sumpah-serapah dan berbagai kutukan yang tak terkendali di
dalam hatinya? Keadaan seperti inilah yang bisa memberi kekuatan kepada hawa
nafsu, sehingga memunculkan dendam kesumat atau paling tidak, ada rasa marah
yang terpendam lama.
Apabila betul-betul
bersabar, maka meskipun mulut diam, tetapi hatinya selalu diisi dengan doa
kebaikan bagi orang lain. Sedangkan jika ia memilih untuk membuka mulut, maka
kata-kata yang keluar dari mulutnya, benar-benar ditata dengan baik dan selalu
bertujuan untuk keselamatan bersama. Bukan kata-kata yang ditujukan untuk menyakitkan
hati orang ataupun kata-kata yang membuat orang lain semakin mendendam.
Tak hanya sampai di
situ saja. Ia juga berupaya menjadikan setiap kejadian itu sebagai alat untuk introspeksi
diri. Di samping itu, secara
lahiriah maupun batiniah, ia tetap bersikap hormat kepada sesama, meski orang
itu telah menyakiti hatinya. Pada tataran inilah, jika kita menemui suatu kasus
yang mengusik batas kesabaran kita, maka segeralah belajar mengurai diri di
hadapanNya.
Artinya, kita segera
melihat apa yang terjadi di hadapan kita itu sebagai kehendak dariNya dan
kemudian melakukan introspeksi diri. Sebab, tidaklah Allah menakdirkan sesuatu
itu secara sia-sia. Semua pasti ada ilmunya. Tinggal apakah kita dapat
mengambil pelajarannya atau tidak.
Dan, sudah barang
tentu, semuanya itu bisa kita lakukan, juga dikarenakan adanya pertolongan dari
Allah pula. Tanpa adanya pertolongan Allah, kita tidak dapat memahami sebuah
pelajaran pun dari berbagai kejadian yang kita temui dalam kehidupan kita ini.
Sampai
di sini, kita dapat melihat, bahwa ternyata, hawa nafsu itu sangat ’pandai’ dan
’licik’ sekali. Ia bisa memberi kekuatan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu
yang berada di luar dugaan orang lain. Bahkan, diri kita sendiri pun, bisa jadi
dibuat terheran-heran dan merasa berada dalam kondisi tidak lazim, tatkala
luapan amarah kita berubah menjadi tindakan brutal yang tidak terkendali. Itu
semua karena ulah dari hawa nafsu kita yang tak terkendali.
Kekuatan Nafsu
Barangkali Anda pernah
melihat atau mendengar seseorang yang sedang naik pitam, bisa membunuh orang
hanya dengan sekali tendangan atau pukulan. Si pelaku sendiri, barangkali
merasa bahwa tendangan atau pukulannya itu tidak cukup kuat. Namun,
kenyataannya, ia mampu membunuh orang dengan sekali tendangan atau pukulan.
Mengapa
bisa sampai terjadi seperti itu? Sebab hawa nafsulah yang memberinya kekuatan
sebesar itu. Hawa nafsu yang meluap bisa memberi kekuatan kepada seseorang
untuk melakukan sesuatu yang ia sendiri mungkin tidak pernah membayangkannya.
Akan tetapi, kekuatan yang diberikan oleh hawa nafsu itu sebetulnya bersifat
semu atau sekedar fatamorgana.
Dikatakan demikian
karena, pada dasarnya, apa yang terlihat itu jauh bertolak belakang dengan apa
yang tersembunyi. Artinya, meski seseorang itu terlihat kuat dan menakutkan
tatkala kekuatan hawa nafsunya sedang ia umbar, namun sejatinya, dalam
tataran ruhani, ia saat itu sebetulnya sedang berada pada titik kelemahannya.
Pada
pencapaian titik kelemahan itulah, seseorang bisa tergelincir begitu jauh dan
kehilangan arah kendali dalam kehidupannya. Di samping itu, ketika seseorang
tengah mengumbar kekuatan hawa nafsunya, maka pada saat itu, ia tidak bisa lagi
menimbang – baik dengan akal pikirannya maupun dengan hati nuraninya – tentang
mana yang benar dan salah, mana yang layak dan tidak layak dilakukan, serta
mana yang akan menimbulkan mudharat dan manfaat.
Dampak
yang lebih jauh lagi dari itu adalah, hilangnya keimanan seseorang selama detik-detik
ketika ia akan mengumbar kekuatan hawa nafsunya tersebut. Aslinya, jangankan
ketika kita mengumbar kekuatan hawa nafsu, sekedar mendapat senggolan hawa
nafsu saja, sebetulnya keimanan kita sudah menjadi berguncang hebat dan menculat
keluar dari hati kita. Apalagi saat seseorang mengumbar kekuatan hawa nafsunya.
Maka, pada saat itu, keimanannya pun sudah terpental jauh entah ke mana.
Apabila ia mau
menyadari, mengakui dan menobati kesalahannya itu, maka atas izin dan kemurahan
pertolongan Allah, keimanannya dapat kembali dan masuk lagi ke dalam hatinya.
Maka itu, para kaum ’arif billah seringkali menasihati kita agar jangan
menuruti keinginan hawa nafsu.
Hamba Yang
Berkualitas
Namun,
jika ingin menjadi hamba yang berkualitas dan tak mau jatuh pada lubang yang
serupa ataupun lubang yang tidak serupa, maka janganlah berhenti hanya sampai
pada memohon ampunan Allah. Sebab, tanpa dimintapun, Allah itu sudah
mengampuni. Bukankah Allah itu Maha Mengampuni? Oleh karena itu, ampunanNya
meliputi seluruh dosa hambaNya.
Alhasil, bukan
karena Anda mohon ampun, maka Allah mengampuni. Jika itu yang terjadi, maka
sama halnya Anda telah memerintahkan Allah untuk mengampuni diri Anda. Akan
tetapi, karena Allah melihat pada penyesalan dan kesungguhan yang ada di dalam
hati hambaNyalah, maka Dia bersedia mengampuni kesalahan hambaNya itu. Sedang
permohonan ampunan yang kita lakukan saat itu, merupakan suatu pertanda bahwa
kita sudah memahami tentang siapa Yang Berkuasa dan siapa yang dikuasai. Di
samping itu, juga sebagai suatu bukti, bahwa sejatinya, kita butuh ampunanNya.
Bagaimana caranya
agar kita bisa menjadi hamba yang berkualitas tadi? Yaitu hamba yang bersedia
bangkit dari kekalahan atas kekuatan hawa nafsunya sendiri? Pertama – setelah menyadari dan
mengakui kesalahan yang baru saja kita lakukan dan memohon ampunanNya –, maka
mulailah membuka buku catatan tentang diri kita sendiri alias
introspeksi diri.
Artinya, carilah apa
saja bentuk kesalahan yang telah kita lakukan sebelumnya, sehingga menyebabkan
lahirnya kesalahan yang baru tersebut. Kesalahan apapun yang kita ingat, maka
segeralah ditobati. Sedang kesalahan yang tidak kita ingat lagi, juga kita
tobati dengan terlebih dahulu mengakui bahwa semua yang baru terjadi dan
telah terjadi sebelumnya itu, adalah murni merupakan kesalahan dan
kekhilafan diri kita sendiri.
Kedua, jangan pernah menisbatkan kesalahan yang
telah kita lakukan itu sebagai buah dari kesalahan orang lain. Misalnya kita
berkata, ”Saya berbuat begini, karena ia telah berbuat begitu.” Biasanya,
kelanjutan dari berkata atau berpikir demikian itu adalah, kita akan berkata
atau berpikir, ”Seandainya dia tidak berbuat begitu, maka saya tidak akan
berbuat begini.”
Dalam hal ini, ada
dua persoalan yang perlu digarisbawahi. Yaitu, satu, jika seseorang
lebih cenderung menisbatkan kesalahannya sendiri sebagai buah dari
kesalahan orang lain, maka ia akan sulit mengakui kesalahannya sendiri di
hadapan Allah. Akibatnya, hatinya akan tetap terhijab dan ia tak bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang ia
alami atau kesalahan yang telah ia lakukan.
Kemudian, yang kedua,
apabila seseorang berandai-andai dengan kesalahannya sendiri seperti itu, dan
menganggap kesalahan orang lain – bukan kesalahannya sendiri – sebagai titik central penyebab adanya masalah tersebut,
maka itu sama saja halnya ia telah menentang takdir Allah. Padahal, Allah telah
menakdirkan kejadian tersebut berlangsung seperti itu. Tetapi ia seakan-akan
ingin membuat skenario baru, yang bertolak belakang dari kejadian yang
sebenarnya telah terjadi.
Rela Atas
Kejadian
Oleh karena itu,
sebaik-baik perbuatan yang dapat dilakukan dalam menghadapi sebuah kejadian
adalah, menerima dengan rela atas setiap kejadian yang telah berlangsung akibat
dari kesalahan kita itu sebagai suatu takdir Tuhan yang harus dihadapi.
Kemudian, mengakui bahwa semuanya itu sebagai buah dari dosa dan kesalahan diri
kita sendiri.
Selanjutnya, kita
bersyukur karena Allah telah berkenan memberikan teguranNya kepada kita, serta
memberi kesadaran pada hati dan pikiran kita untuk mengakui bahwa semua yang
telah terjadi itu merupakan salah satu tanda tentang adanya kasih sayang atau
pertolongan rahmatNya pada diri kita. Lebih lanjut lagi, cobalah berupaya untuk
mengurai bagian-bagian dari isi hati kita. Mana yang membuat hati menjadi
panas, marah, kesal dan lelah, segera diikhtiarkan untuk dapat dihilangkan.
Sedang mana yang membuat hati menjadi dingin, damai, tenteram dan menyejukkan,
diikhtiarkan untuk dipupuk dan dirawat.
Apabila seseorang bisa melakukan semua
hal di atas, maka insya Allah ia akan dapat memetik hikmah dari setiap kejadian
dan kesalahan yang telah dilakukannya, sehingga ia tidak jatuh lagi pada lubang
yang serupa ataupun di lubang lain yang tak serupa. Kesemuanya itu dapat
dilakukan tiada lain karena adanya pertolongan dan kemurahan rahmat Allah.
Begitu
pula, jika seseorang dapat mengambil pelajaran dari setiap kejadian dan
kesalahan yang telah dilakukannya, juga atas pertolongan Allah. Sesungguhnya,
tiada daya dan kekuatan pada diri kita untuk melakukan sesuatu hal, kecuali
karena adanya pertolongan dari Allah yang telah memberi kita kemampuan untuk
melakukan hal itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar