Sabtu, 03 Maret 2012

| Ternyata, Tuhanku Adalah Hawa Nafsuku Sendiri |

           Jalan-jalan sambil mencuci mata dan keluar masuk maal adalah hobi anak-anak muda abad mutakhir ini. Meski sekedar melihat-lihat barang di maal dan tak bisa membeli apapun, namun hobi satu ini bisa membuat mereka jadi merasa senang alias happy. Rasa-rasanya, hidup penuh dengan kegembiraan dan tak kenal rasa sedih.
Setumpuk masalah bisa menjadi hilang begitu mereka memasuki maal atau menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan seraya menikmati pemandangan kota yang sibuk dan hingar-bingar. Pada saat itu, hati tampak merasa senang dan riang gembira.
            Di dalam hati itu, di samping ada iman dan keyakinan, juga di sanalah tempat bermukimnya hawa nafsu. Persoalannya adalah, apakah kesenangan kita saat itu telah membuat bertambahnya keimanan yang kita miliki ataukah membuat semakin berkobarnya hawa nafsu kita? Tampaknya, justru hawa nafsu kitalah yang lebih banyak mengambil keuntungan dari rasa senang yang kita miliki tersebut.
Tak heran, jika setelah merasa happy karena berjalan-jalan seharian, hati kita toh tetap saja tidak merasa damai. Sebab, hati kita masih tetap kosong dan tidak terisi oleh nilai-nilai yang sepatutnya dimiliki oleh hati. Apakah nilai-nilai yang diperlukan oleh hati itu? Yakni, nilai-nilai kebajikan yang bersandar pada kebajikan Tuhan.
            Misalnya, tatkala kita berjalan-jalan, kita melihat banyak orang berseliweran dan juga melihat aneka tingkah orang di jalan. Apabila pada saat itu kita berdoa dan memohon kepada Tuhan agar semua orang yang kita lihat itu memiliki hidup yang damai dan selamat di dunia hingga akhirat nanti, maka pada saat yang bersamaan, kita telah mengisi hati kita dengan nilai-nilai kebajikan.
Akan tetapi, jika hanya sampai di situ saja, maka nilai-nilai kebajikan itu belum sepenuhnya bersandar pada kebajikan Tuhan. Bagaimana caranya agar kebajikan yang kita lakukan itu bersandar pada kebajikan Tuhan? Apabila do’a itu kita haturkan kepadaNya karena kita menyadari bahwa setiap makhluk di muka bumi ini adalah ciptaanNya dan kita menghormati ciptaanNya sebagai tanda pengagungan kita atas kebesaranNya, maka itu berarti, kita telah mengisi hati kita dengan nilai-nilai kebajikan yang bersandar pada kebajikan Tuhan. 
Allah itu Maha Mengasihi kepada seluruh makhlukNya. Oleh karena itu, Dia paling senang dengan hambaNya yang pandai menghormati dan mengasihi makhlukNya.
Kepekaan Rasa
Sampai di sini, kita dapat memahami bahwasanya, bersenang-senang itu dapat membuat hati menjadi terisi atau kosong sama sekali, bergantung pada bagaimana cara kita dalam melihat dan mendudukan sebuah kesenangan di dalam diri kita. Apabila kesenangan itu hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, maka tak ubahnya kita telah menjadikan diri sebagai hamba dari hawa nafsu kita.
Berapa banyak orang yang melakukan sesuatu bukan berangkat dari semangat keimanannya kepada Tuhan, melainkan demi untuk bisa memenuhi bisikan hawa nafsunya? Bagaimana ciri-cirinya suatu tindakan, perbuatan atau perkataan yang bertujuan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu? Apakah kita dapat membedakannya dengan sesuatu yang kita sandarkan pada nilai-nilai keimanan kita?
Sudah barang tentu, kita tidak bisa membedakan secara mutlak apakah tindakan, perbuatan atau perkataan kita itu hanyalah memperturutkan hawa nafsu atau tidak. Sebab, dalam hal ini, kepekaan rasa yang kita miliki sangat mempengaruhinya. Semakin tajam rasa yang dimiliki oleh seseorang itu, maka ia akan semakin dapat memahami perbedaan yang ada. Ia akan dapat merasakan apakah perbuatannya saat itu hanya karena desakan hawa nafsunya ataukah karena nilai keimanannya.
Untuk bisa memperoleh ketajaman rasa itu, kita bisa belajar mengasah rasa yang kita miliki dengan cara belajar merasakan di dalam hati kita masing-masing, apakah suatu perbuatan yang kita lakukan itu berdasarkan hawa nafsu ataukah tidak. Secara garis besar, ada beberapa ciri yang dapat kita kenali sebagai desakan hawa nafsu, manakala kita melakukan sesuatu.
Pertama, pada saat itu, kita merasa bahwa kitalah yang benar. Perasaan ini kerapkali muncul manakala kita dihadapkan pada suatu kondisi yang bersebelahan atau berseberangan dengan orang lain. Apalagi ketika ada orang lain yang ikut memberi angin segar dan membenarkan tindakan atau perkataan kita, maka biasanya, kita semakin merasa berada pada posisi yang paling benar dan tidak memiliki celah untuk disalahkan.
Mengapa kita tidak boleh merasa sebagai pihak yang benar? Sebab, pada saat yang bersamaan, kita akan memposisikan orang lain sebagai pihak yang salah. Manakala kita melihat orang lain sebagai pihak yang salah, maka pada saat itu, kita sudah meremehkan orang lain. Tindakan meremehkan orang lain, sama saja dengan tidak menghormati sesama makhluk Tuhan. Lalu bagaimana jika kita tidak boleh merasa benar? Bukankah dengan merasa benar, kita akan memiliki semangat keberanian untuk membela kebenaran?
 Jangan Keliru
Jangan sampai kita keliru dalam menafsirkan kalimat membela kebenaran. Sebab, membela kebenaran yang kita maksudkan itu, belum tentu membela kebenaran menurut keinginan Allah. Boleh jadi, membela kebenaran yang kita pahami itu adalah membela kebenaran menurut kebenaran yang diyakini oleh hawa nafsu kita.
Seorang ibu misalnya, membangunkan anaknya untuk menunaikan shalat Shubuh. Tindakan ini, secara syar’i adalah benar. Sudah selayaknya jika seorang ibu mengajarkan kepada anaknya ajaran agama dengan baik. Akan tetapi, anaknya tidak mau bangun. Akhirnya ia ketinggalan shalat Shubuhnya. Sang ibu memarahi anaknya. Ia merasa telah berlaku benar, yakni membangunkan anaknya untuk shalat shubuh. Ia pun merasa berhak untuk marah, karena tindakannya telah benar dan yang diperintahkan kepada si anak adalah sebuah kebenaran, yakni shalat.
Namun, ketika si ibu merasa dirinya benar, maka pada saat itu, ia telah menjatuhkan vonis kesalahan kepada anaknya. Pada saat itu, aslinya si ibu telah meremehkan anaknya dan mengadili kesalahan anaknya. Padahal, Tuhan saja mau mema’afkan hambaNya. Maka, mengapa kita tidak melihat pada sifat Allah Yang Maha Pengampun? Bukankah kasih sayang Allah itu lebih besar daripada murkaNya?
Apabila kita menyadari gerak hawa nafsu kitalah yang lebih mendominasi pada saat itu, maka segeralah mohon ampun kepadaNya dan mengakui bahwa tidak mau bangunnya anak kita itu, sejatinya karena kitalah yang salah. Tuhan sedang memberi pelajaran berharga kepada kita lewat gerak anak kita tersebut. Pada tataran ini, janganlah terpaku pada kesalahan orang lain, agar kita bisa mengakui kesalahan diri kita sendiri.
Merasa Lebih Tahu
Ciri yang kedua dari perbuatan yang berdasarkan hawa nafsu itu adalah, merasa lebih tahu. Apabila kita merasa lebih tahu, maka sadarilah, bahwa hal itu muncul karena adanya desakan hawa nafsu. Orang yang merasa lebih tahu, pada dasarnya ia tengah menganggap orang lain tidak tahu atau kurang paham. Tindakan ini, sama saja dengan menganggap remeh orang lain dan itu berarti rasa penghormatan menjadi berkurang.
Misalnya, seorang mahasiswa tengah mengikuti kuliah dari salah seorang dosennya. Setiap dosennya memberi penekanan pada materi kuliahnya, ia tersenyum seraya berkata di dalam hati, ”Saya sudah memahami hal itu, meski bapak dosen tidak mengatakannya.”
Contoh lainnya, seorang ayah memaksa anaknya memakai sepatu karena akan diajak pergi bertandang ke rumah kerabat mereka. Sang ayah merasa lebih tahu tentang apa yang seharusnya dipakai atau dilakukan oleh si anak. Kejadian ini pernah terjadi beberapa tahun lalu dan sempat ditulis di sebuah surat kabar. Dimana seorang ayah memukul anak balitanya dengan kalap karena sang anak tidak mau menuruti keinginan sang ayah untuk memakai sepatu.
            Jika melihat pada perbuatan sang ayah yang sampai memukul anak balitanya itu, maka kebanyakan orang akan secara kompak mengatakan, bahwa perbuatan sang ayah telah didasarkan pada hawa nafsunya. Akan tetapi, tidak banyak orang yang menyadari bahwa munculnya tindakan pemukulan tersebut, karena sang ayah merasa lebih tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Perasaan merasa lebih tahu itulah yang membuat sang ayah akhirnya meremehkan anaknya.
Karena perasaan itu begitu kuat, maka sang ayah tidak dapat menguasainya sehingga meluap dalam bentuk kemarahan. Oleh karena kemarahan itu pun tidak bisa dibendungnya, maka terjadilah tindakan pemukulan terhadap anaknya sendiri. Pada kawasan ini, kita dapat melihat dengan jelas, bahwasanya perasaan merasa lebih tahu itu merupakan desakan dari hawa nafsu.
            Apabila kita menyadari kehadiran perasaan merasa lebih tahu itu, maka segeralah memohon ampunanNya dan mengaliri hati dengan doa untuk kebaikan dan keselamatan orang lain. Bersegeralah meraba hati kita sendiri dan menyadari bahwa tidak ada yang memberi ilmu kecuali yang Maha Mengetahui. Tak ada yang bisa memberi kepahaman kepada satu orang pun, kecuali atas pertolongan Yang Maha Berkehendak.
 Merasa Mampu
            Ciri yang ketiga adalah, merasa lebih mampu atau kuasa.  Apabila di dalam bertindak atau berkata Anda merasa diri Anda lebih mampu dalam melakukan sesuatu, karena Anda memiliki ilmu, ketrampilan dan potensi yang cemerlang, maka sadarilah, bahwasanya hal itu merupakan cikal-bakal ulah dari hawa nafsu. Mengapa demikian? Apakah kita tidak boleh memiliki rasa percaya diri?
Yang perlu diingat adalah, bahwasanya merasa diri lebih mampu itu berbeda dengan memiliki rasa percaya diri. Rasa percaya diri itu muncul karena Anda memiliki pemahaman bahwa setiap individu itu telah dianugerahi Allah berbagai macam potensi dan kemampuan yang berbeda antara satu sama lainnya. Termasuk diri Anda sendiri. Sedangkan merasa lebih mampu itu adalah suatu perasaan yang menafikan akan adanya pertolongan dari Allah di dalam kemampuan yang ia miliki.
            Sebagai contoh, seseorang yang bekerja dari pagi sampai sore dengan disertai rasa lebih mampu dalam mencari uang dan menafkahi keluarganya, maka pada saat itu ia telah termakan oleh desakan hawa nafsunya. Akibatnya, ia merasa bahwa karena dirinyalah, maka keluarganya bisa hidup secara layak. Sekiranya ia tidak bekerja, demikian konsekuensi dari perasaan merasa mampu itu, maka keluarganya akan terlantar dan tak terpenuhi kebutuhannya. Pada saat itulah, ia merasa bahwa kehidupan keluarganya bergantung kepada dirinya.
            Jika dilihat secara sepintas, memang benar, dalam kenyataannya, dari uang hasil kerjanya itulah, maka keluarganya bisa memperoleh makanan dan kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, sejatinya, ia merupakan perantara bagi turunnya rezeki dari Tuhan untuk dirinya dan keluarganya. Sebagai perantara, maka sudah barang tentu, ia hanyalah bertugas untuk menyalurkan atau membagikan.
Sedangkan asal rezeki itu, mutlak dari Tuhan Yang Sebenarnya. Juga, adalah mutlak hak Tuhan pula untuk menjadikan siapa saja sebagai perantara yang akan menyalurkan rezeki kepada makhlukNya. Apabila ia dibuat sakit atau lumpuh dan tak mampu bekerja lagi, maka toh ia pun tak bisa memberikan nafkah kepada keluarganya. Namun, bukankah itu tidak berarti bahwa rezeki telah dihentikan oleh Allah atas diri dan keluargaNya? Allah akan tetap memberikan rezeki lewat perantara yang lainnya.
 Bukan Apa-apa
Dengan demikian, sejatinya, kita ini bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa. Segalanya kembali kepada pertolongan dan kemurahan Allah. Tak ada seorang pun yang mampu berbuat sesuatu melainkan atas pertolonganNya. Jangan sampai hawa nafsu membutakan mata hati kita, sehingga kita tidak bisa melihat pertolongan Allah dalam setiap aktivitas kita di muka bumi ini. Bahkan hingga di akhirat nanti pun, kita tetap hanya akan mengandalkan pertolonganNya.
             Sebagai bahan renungan, barangkali, hingga detik ini, kita masih kerapkali merasa lebih benar dalam berbuat sesuatu, lebih tahu terhadap sesuatu dan lebih mampu menguasai sesuatu. Apabila perasaan itu kita biarkan menguasai hati kita, maka sejatinya, kita telah menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan kita.
Ternyata kita bertutur, berbuat, bertindak dan beraktivitas hanya untuk menyenangkan hawa nafsu kita. Yakni membuat hawa nafsu semakin merasa lebih benar, lebih tahu dan lebih mampu. Padahal, sejatinya, kita bisa menapak di jalan yang benar karena adanya hidayah dari Allah.Begitu pula, kita bisa tahu, karena ilmu yang dianugerahkan oleh Yang Maha Tahu, dan kita bisa mampu berbuat sesuatu, karena kita diberi kemampuan oleh Yang Maha Berkehendak. Ya Tuhan Yang Sebenarnya, ampunilah nafsu kami dan jadikanlah kami orang-orang yang dapat melemahkan keinginan hawa nafsu kami sendiri. Allaahumma amiin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar