Jalan-jalan
sambil mencuci mata dan keluar masuk maal adalah hobi anak-anak muda
abad mutakhir ini. Meski sekedar melihat-lihat barang di maal dan tak
bisa membeli apapun, namun hobi satu ini bisa membuat mereka jadi merasa senang
alias happy. Rasa-rasanya, hidup
penuh dengan kegembiraan dan tak kenal rasa sedih.
Setumpuk masalah
bisa menjadi hilang begitu mereka memasuki maal atau menghabiskan waktu
dengan berjalan-jalan seraya menikmati pemandangan kota yang sibuk dan
hingar-bingar. Pada saat itu, hati tampak merasa senang dan riang gembira.
Di
dalam hati itu, di samping ada iman dan keyakinan, juga di sanalah tempat
bermukimnya hawa nafsu. Persoalannya adalah, apakah kesenangan kita saat itu
telah membuat bertambahnya keimanan yang kita miliki ataukah membuat semakin
berkobarnya hawa nafsu kita? Tampaknya, justru hawa nafsu kitalah yang lebih
banyak mengambil keuntungan dari rasa senang yang kita miliki tersebut.
Tak heran, jika
setelah merasa happy karena
berjalan-jalan seharian, hati kita toh tetap saja tidak merasa damai. Sebab,
hati kita masih tetap kosong dan tidak terisi oleh nilai-nilai yang sepatutnya
dimiliki oleh hati. Apakah nilai-nilai yang diperlukan oleh hati itu? Yakni,
nilai-nilai kebajikan yang bersandar pada kebajikan Tuhan.
Misalnya,
tatkala kita berjalan-jalan, kita melihat banyak orang berseliweran dan juga
melihat aneka tingkah orang di jalan. Apabila pada saat itu kita berdoa dan
memohon kepada Tuhan agar semua orang yang kita lihat itu memiliki hidup yang
damai dan selamat di dunia hingga akhirat nanti, maka pada saat yang bersamaan,
kita telah mengisi hati kita dengan nilai-nilai kebajikan.
Akan tetapi, jika
hanya sampai di situ saja, maka nilai-nilai kebajikan itu belum sepenuhnya
bersandar pada kebajikan Tuhan. Bagaimana caranya agar kebajikan yang kita
lakukan itu bersandar pada kebajikan Tuhan? Apabila do’a itu kita haturkan
kepadaNya karena kita menyadari bahwa setiap makhluk di muka bumi ini adalah
ciptaanNya dan kita menghormati ciptaanNya sebagai tanda pengagungan kita atas
kebesaranNya, maka itu berarti, kita telah mengisi hati kita dengan nilai-nilai
kebajikan yang bersandar pada kebajikan Tuhan.
Allah itu Maha
Mengasihi kepada seluruh makhlukNya. Oleh karena itu, Dia paling senang dengan
hambaNya yang pandai menghormati dan mengasihi makhlukNya.
Kepekaan
Rasa
Sampai di sini,
kita dapat memahami bahwasanya, bersenang-senang itu dapat membuat hati menjadi
terisi atau kosong sama sekali, bergantung pada bagaimana cara kita dalam
melihat dan mendudukan sebuah kesenangan di dalam diri kita. Apabila kesenangan
itu hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsu, maka tak ubahnya kita telah
menjadikan diri sebagai hamba dari hawa nafsu kita.
Berapa banyak orang
yang melakukan sesuatu bukan berangkat dari semangat keimanannya kepada Tuhan,
melainkan demi untuk bisa memenuhi bisikan hawa nafsunya? Bagaimana
ciri-cirinya suatu tindakan, perbuatan atau perkataan yang bertujuan untuk
memenuhi keinginan hawa nafsu? Apakah kita dapat membedakannya dengan sesuatu
yang kita sandarkan pada nilai-nilai keimanan kita?
Sudah barang tentu,
kita tidak bisa membedakan secara mutlak apakah tindakan, perbuatan atau
perkataan kita itu hanyalah memperturutkan hawa nafsu atau tidak. Sebab, dalam
hal ini, kepekaan rasa yang kita miliki sangat mempengaruhinya. Semakin tajam
rasa yang dimiliki oleh seseorang itu, maka ia akan semakin dapat memahami
perbedaan yang ada. Ia akan dapat merasakan apakah perbuatannya saat itu hanya
karena desakan hawa nafsunya ataukah karena nilai keimanannya.
Untuk bisa
memperoleh ketajaman rasa itu, kita bisa belajar mengasah rasa yang kita miliki
dengan cara belajar merasakan di dalam hati kita masing-masing, apakah suatu
perbuatan yang kita lakukan itu berdasarkan hawa nafsu ataukah tidak. Secara
garis besar, ada beberapa ciri yang dapat kita kenali sebagai desakan hawa
nafsu, manakala kita melakukan sesuatu.
Pertama, pada saat itu, kita merasa bahwa kitalah yang
benar. Perasaan ini kerapkali muncul manakala kita dihadapkan pada suatu
kondisi yang bersebelahan atau berseberangan dengan orang lain. Apalagi ketika
ada orang lain yang ikut memberi angin segar dan membenarkan tindakan atau
perkataan kita, maka biasanya, kita semakin merasa berada pada posisi yang
paling benar dan tidak memiliki celah untuk disalahkan.
Mengapa kita tidak
boleh merasa sebagai pihak yang benar? Sebab, pada saat yang bersamaan, kita
akan memposisikan orang lain sebagai pihak yang salah. Manakala kita melihat
orang lain sebagai pihak yang salah, maka pada saat itu, kita sudah meremehkan
orang lain. Tindakan meremehkan orang lain, sama saja dengan tidak menghormati
sesama makhluk Tuhan. Lalu bagaimana jika kita tidak boleh merasa benar?
Bukankah dengan merasa benar, kita akan memiliki semangat keberanian untuk
membela kebenaran?
Jangan
Keliru
Jangan sampai kita
keliru dalam menafsirkan kalimat membela kebenaran. Sebab, membela kebenaran
yang kita maksudkan itu, belum tentu membela kebenaran menurut keinginan Allah.
Boleh jadi, membela kebenaran yang kita pahami itu adalah membela kebenaran
menurut kebenaran yang diyakini oleh hawa nafsu kita.
Seorang ibu
misalnya, membangunkan anaknya untuk menunaikan shalat Shubuh. Tindakan ini,
secara syar’i adalah benar. Sudah selayaknya jika seorang ibu mengajarkan
kepada anaknya ajaran agama dengan baik. Akan tetapi, anaknya tidak mau bangun.
Akhirnya ia ketinggalan shalat Shubuhnya. Sang ibu memarahi anaknya. Ia merasa
telah berlaku benar, yakni membangunkan anaknya untuk shalat shubuh. Ia pun
merasa berhak untuk marah, karena tindakannya telah benar dan yang
diperintahkan kepada si anak adalah sebuah kebenaran, yakni shalat.
Namun, ketika si ibu
merasa dirinya benar, maka pada saat itu, ia telah menjatuhkan vonis kesalahan
kepada anaknya. Pada saat itu, aslinya si ibu telah meremehkan anaknya dan
mengadili kesalahan anaknya. Padahal, Tuhan saja mau mema’afkan hambaNya. Maka,
mengapa kita tidak melihat pada sifat Allah Yang Maha Pengampun? Bukankah kasih
sayang Allah itu lebih besar daripada murkaNya?
Apabila kita
menyadari gerak hawa nafsu kitalah yang lebih mendominasi pada saat itu, maka
segeralah mohon ampun kepadaNya dan mengakui bahwa tidak mau bangunnya anak
kita itu, sejatinya karena kitalah yang salah. Tuhan sedang memberi pelajaran
berharga kepada kita lewat gerak anak kita tersebut. Pada tataran ini,
janganlah terpaku pada kesalahan orang lain, agar kita bisa mengakui kesalahan
diri kita sendiri.
Merasa Lebih
Tahu
Ciri yang kedua dari perbuatan yang berdasarkan
hawa nafsu itu adalah, merasa lebih tahu. Apabila kita merasa lebih tahu, maka
sadarilah, bahwa hal itu muncul karena adanya desakan hawa nafsu. Orang yang
merasa lebih tahu, pada dasarnya ia tengah menganggap orang lain tidak tahu
atau kurang paham. Tindakan ini, sama saja dengan menganggap remeh orang lain
dan itu berarti rasa penghormatan menjadi berkurang.
Misalnya, seorang
mahasiswa tengah mengikuti kuliah dari salah seorang dosennya. Setiap dosennya
memberi penekanan pada materi kuliahnya, ia tersenyum seraya berkata di dalam
hati, ”Saya sudah memahami hal itu, meski bapak dosen tidak mengatakannya.”
Contoh lainnya,
seorang ayah memaksa anaknya memakai sepatu karena akan diajak pergi bertandang
ke rumah kerabat mereka. Sang ayah merasa lebih tahu tentang apa yang
seharusnya dipakai atau dilakukan oleh si anak. Kejadian ini pernah terjadi
beberapa tahun lalu dan sempat ditulis di sebuah surat kabar. Dimana seorang
ayah memukul anak balitanya dengan kalap karena sang anak tidak mau menuruti
keinginan sang ayah untuk memakai sepatu.
Jika
melihat pada perbuatan sang ayah yang sampai memukul anak balitanya itu, maka
kebanyakan orang akan secara kompak mengatakan, bahwa perbuatan sang ayah telah
didasarkan pada hawa nafsunya. Akan tetapi, tidak banyak orang yang menyadari
bahwa munculnya tindakan pemukulan tersebut, karena sang ayah merasa lebih tahu
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh si anak. Perasaan merasa lebih tahu
itulah yang membuat sang ayah akhirnya meremehkan anaknya.
Karena perasaan itu
begitu kuat, maka sang ayah tidak dapat menguasainya sehingga meluap dalam
bentuk kemarahan. Oleh karena kemarahan itu pun tidak bisa dibendungnya, maka
terjadilah tindakan pemukulan terhadap anaknya sendiri. Pada kawasan ini, kita
dapat melihat dengan jelas, bahwasanya perasaan merasa lebih tahu itu merupakan
desakan dari hawa nafsu.
Apabila
kita menyadari kehadiran perasaan merasa lebih tahu itu, maka segeralah memohon
ampunanNya dan mengaliri hati dengan doa untuk kebaikan dan keselamatan orang
lain. Bersegeralah meraba hati kita sendiri dan menyadari bahwa tidak ada yang
memberi ilmu kecuali yang Maha Mengetahui. Tak ada yang bisa memberi kepahaman
kepada satu orang pun, kecuali atas pertolongan Yang Maha Berkehendak.
Merasa Mampu
Ciri
yang ketiga adalah, merasa lebih
mampu atau kuasa. Apabila di dalam
bertindak atau berkata Anda merasa diri Anda lebih mampu dalam melakukan
sesuatu, karena Anda memiliki ilmu, ketrampilan dan potensi yang cemerlang,
maka sadarilah, bahwasanya hal itu merupakan cikal-bakal ulah dari hawa nafsu.
Mengapa demikian? Apakah kita tidak boleh memiliki rasa percaya diri?
Yang perlu diingat
adalah, bahwasanya merasa diri lebih mampu itu berbeda dengan memiliki rasa
percaya diri. Rasa percaya diri itu muncul karena Anda memiliki pemahaman bahwa
setiap individu itu telah dianugerahi Allah berbagai macam potensi dan
kemampuan yang berbeda antara satu sama lainnya. Termasuk diri Anda sendiri.
Sedangkan merasa lebih mampu itu adalah suatu perasaan yang menafikan akan
adanya pertolongan dari Allah di dalam kemampuan yang ia miliki.
Sebagai
contoh, seseorang yang bekerja dari pagi sampai sore dengan disertai rasa lebih
mampu dalam mencari uang dan menafkahi keluarganya, maka pada saat itu ia telah
termakan oleh desakan hawa nafsunya. Akibatnya, ia merasa bahwa karena
dirinyalah, maka keluarganya bisa hidup secara layak. Sekiranya ia tidak
bekerja, demikian konsekuensi dari perasaan merasa mampu itu, maka keluarganya
akan terlantar dan tak terpenuhi kebutuhannya. Pada saat itulah, ia merasa bahwa
kehidupan keluarganya bergantung kepada dirinya.
Jika
dilihat secara sepintas, memang benar, dalam kenyataannya, dari uang hasil
kerjanya itulah, maka keluarganya bisa memperoleh makanan dan kebutuhan
sehari-hari. Akan tetapi, sejatinya, ia merupakan perantara bagi turunnya
rezeki dari Tuhan untuk dirinya dan keluarganya. Sebagai perantara, maka sudah
barang tentu, ia hanyalah bertugas untuk menyalurkan atau membagikan.
Sedangkan asal
rezeki itu, mutlak dari Tuhan Yang Sebenarnya. Juga, adalah mutlak hak Tuhan
pula untuk menjadikan siapa saja sebagai perantara yang akan menyalurkan rezeki
kepada makhlukNya. Apabila ia dibuat sakit atau lumpuh dan tak mampu bekerja
lagi, maka toh ia pun tak bisa memberikan nafkah kepada keluarganya.
Namun, bukankah itu tidak berarti bahwa rezeki telah dihentikan oleh Allah atas
diri dan keluargaNya? Allah akan tetap memberikan rezeki lewat perantara yang
lainnya.
Bukan
Apa-apa
Dengan demikian,
sejatinya, kita ini bukanlah apa-apa dan bukanlah siapa-siapa. Segalanya
kembali kepada pertolongan dan kemurahan Allah. Tak ada seorang pun yang mampu
berbuat sesuatu melainkan atas pertolonganNya. Jangan sampai hawa nafsu
membutakan mata hati kita, sehingga kita tidak bisa melihat pertolongan Allah
dalam setiap aktivitas kita di muka bumi ini. Bahkan hingga di akhirat nanti
pun, kita tetap hanya akan mengandalkan pertolonganNya.
Sebagai bahan renungan, barangkali, hingga
detik ini, kita masih kerapkali merasa lebih benar dalam berbuat sesuatu, lebih
tahu terhadap sesuatu dan lebih mampu menguasai sesuatu. Apabila perasaan itu
kita biarkan menguasai hati kita, maka sejatinya, kita telah menjadikan hawa
nafsu sebagai Tuhan kita.
Ternyata kita
bertutur, berbuat, bertindak dan beraktivitas hanya untuk menyenangkan hawa
nafsu kita. Yakni membuat hawa nafsu semakin merasa lebih benar, lebih tahu dan
lebih mampu. Padahal, sejatinya, kita bisa menapak di jalan yang benar karena
adanya hidayah dari Allah.Begitu
pula, kita bisa tahu, karena ilmu yang dianugerahkan oleh Yang Maha Tahu, dan kita
bisa mampu berbuat sesuatu, karena kita diberi kemampuan oleh Yang Maha
Berkehendak. Ya Tuhan Yang Sebenarnya, ampunilah nafsu kami dan jadikanlah kami
orang-orang yang dapat melemahkan keinginan hawa nafsu kami sendiri. Allaahumma amiin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar