Adalah
seorang pedagang yang sederhana cara berpikirnya dan selalu memberi peringatan
kepada hawa nafsunya. Suatu ketika, ia menjajakan barang dagangannya dan ada
pembeli yang tertarik ingin melihat barang-barangnya. Muncul niat dalam diri si
pedagang untuk mempropagandakan barang dagangannya dengan melebih-lebihkan dari
keadaan yang sebenarnya, agar si pembeli tertarik membelinya. Namun, ketika ia
akan membuka mulutnya untuk berbicara, ia justru tidak berkata apa-apa selain
untuk dirinya sendiri.
”Hai nafsu, takutlah
kepada Allah,” ujarnya lirih kepada dirinya sendiri. Alhasil, ia tidak berkata
apa-apa selain mengenai keadaan yang sebenarnya dari barang dagangannya.
Tatkala si pembeli memegang dan menawar harga kain sarung yang dijualnya,
teringatlah si pedagang dengan cacat yang ada pada kain sarung itu. Yakni, ada
sedikit robekan pada jahitan kain sarung tersebut. Terbetik di hatinya, untuk
tidak memberitahukan cacat barangnya itu kepada si pembeli. Dengan demikian, pikirnya,
si pembeli tetap jadi membeli kain sarung itu dan ia tetap memperoleh
keuntungan yang besar.
Takutlah
Kepada Allah
Akan tetapi,
lagi-lagi si pedagang itu mengurungkan niatnya dan ia justru berkata lirih
kepada dirinya sendiri: ”Hai nafsu, takutlah kepada Allah.” Kemudian ia pun
memperlihatkan robekan yang ada pada kain sarung itu kepada si pembeli,
sehingga si pembeli menukarnya dengan kain sarung lainnya. Ia tidak merasa
kecewa dan bahkan bersyukur karena merasa telah selamat dari keinginan buruk
hawa nafsunya.
Demikianlah si
pedagang itu melalui hari-harinya. Ia selalu saja memperingatkan dirinya
sendiri tatkala memiliki keinginan untuk berbuat dosa dengan berkata kepada
dirinya sendiri, ”Hai nafsu, takutlah kepada Allah.” Hingga suatu ketika, si
pedagang itu tiba di depan sebuah rumah mewah milik seorang wanita cantik.
Ia pun kemudian
dipanggil masuk ke dalam rumah wanita itu dan menggelar barang dagangannya di
hadapan wanita itu. Namun, entah karena ingin menguji si pedagang yang terkenal
akan kejujurannya itu, atau karena memang tergoda dengan sinar wajah si
pedagang yang berbinar-binar, maka wanita cantik itu menggoda sang pedagang
tersebut.
Kali ini, si
pedagang itu terperangah. Namun, sekali lagi, ia segera memperingatkan dirinya
sendiri: ”Hai nafsu, takutlah kepada Allah.” Maka ia pun, segera berlalu dari
situ sambil membawa barang dagangannya, seraya bersyukur karena telah selamat
dari perbuatan dosa.
Barangkali, kisah semacam itu terdengar klise di telinga sebagian orang. Sebab,
jika menilik kondisi zaman seperti sekarang ini, meskipun bukan hal yang
mustahil, namun banyak orang menganggap bahwa orang seperti itu cukup langka
dan susah ditemukan di zaman sekarang ini. Apalagi, godaan yang muncul di masa
sekarang, jauh lebih pelik, lebih memukau, lebih kompleks dan lebih gencar
serangannya.
Jangankan ada godaan. Tidak ada godaan
pun, manusia zaman sekarang sudah banyak yang tergelincir dengan sendirinya.
Apalagi jika ada godaan yang sangat kuat serangannya, maka boleh jadi orang
akan dibuat jadi jungkir balik. Tak lagi bisa membedakan, mana petunjuk dan mana
perangkap, mana atas dan mana bawah, mana jalan lurus dan mana jalan berkelok.
Semuanya diterabas begitu saja.
Akan tetapi,
sebagian orang lagi ada yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mudah
dilakukan. Ia merasa, jika dirinya berada dalam keadaan yang dilingkupi godaan
semacam itu, maka ia akan melawan dan tak akan mau terperangkap dalam godaan
itu. Ia merasa sangat yakin, bahwa jika ia berada dalam kondisi seperti si
pedagang tadi, maka ia akan bisa menyelamatkan dirinya dari perbuatan dosa.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari saja, ternyata ia lebih banyak
memperturutkan hawa nafsunya. Ia mengira berbicara yang menyakitkan hati orang
lain itu bukan termasuk godaan hawa nafsu.
Patutkah
Mendurhakai Allah?
Ia juga
menyangka, meremehkan orang lain itu – meski orang lain itu telah melakukan
kesalahan terhadap dirinya – bukan termasuk memperturutkan hawa nafsu. Ia tak
mengira bahwa sejatinya, ia telah terperangkap dalam keinginan hawa nafsunya.
Pada tataran inilah, adalah tidak bijaksana jika kita merasa yakin akan
terlepas dari perbuatan dosa.
Seakan-akan, kita
bisa terhindar dari perbuatan dosa itu adalah semata-mata karena kemampuan dan
kekuatan iman yang kita miliki. Padahal, aslinya, seseorang bisa terhindarkan
dari perbuatan dosa itu tiada lain adalah karena adanya kemurahan pertolongan
dari Allah Yang Maha Penyayang. Begitu pula dengan keimanan yang kita miliki,
tiada lain merupakan karuniaNya yang besar bagi diri dan kehidupan kita.
Sampai di sini,
mudah-mudahan dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua. Bahwasanya,
perbuatan dosa itu merupakan salah satu takdir yang ada pada setiap diri
manusia. Sedang pendukung bagi terlaksananya perbuatan dosa itu adalah hawa
nafsu manusia sendiri. Karenanya, jika Anda merasa tidak pernah punya dosa,
maka itu berarti Anda bukan manusia yang merasa jadi manusia. Tetapi,
barangkali, Anda adalah manusia yang merasa jadi malaikat.
Apabila
Anda merasa jadi manusia, maka tak usah enggan memperingatkan hawa nafsu Anda
sendiri, ketika ia ingin menggelincirkan Anda ke dalam perbuatan dosa.
Katakanlah, ”Hai nafsu, takutlah kepada Allah. Bukan sekedar takut siksaan
seperti seorang budak yang takut pada hukuman majikannya. Akan tetapi takut
karena memahami betapa besarnya kekuasaan Allah atas diri kita, dan betapa
besarnya kasih sayang yang Dia limpahkan kepada kita. Patutkah Engkau
mendurhakai Zat yang memberi kehidupan dan penghidupan kepadamu?” ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar