Suatu
ketika, seorang ustadz menolak permintaan warga untuk mengisi sebuah pengajian
di kampungnya. Menurutnya, ia tak layak menyuruh orang berbuat baik, jika
keluarganya sendiri belum betul-betul melakukan perbuatan baik dan mengikuti
syari’at Allah secara benar. Sebagian orang yang mengetahui keadaan keluarga
sang ustadz kemudian manggut-manggut seraya berkata, ”Pantas saja sang ustadz
tidak mau memberi ceramah. Sebab, keluarganya sendiri susah ia ceramahi.”
Sekilas, tak ada yang keliru dari komentar tersebut.
Juga, tak ada yang keliru dari keputusan sang ustadz ketika menolak untuk
memberi ceramah di depan masyarakat. Akan tetapi, makna apa yang kita petik
dari kejadian tersebut?
Dalam cerita yang berbeda, ada seorang guru agama yang
tampaknya memahami ajaran agamanya dengan baik. Ia kerapkali menyampaikan
ajaran tentang akhlak kepada murid-muridnya. Namun, ternyata sang guru juga
melanggar ajaran tentang akhlak yang ia berikan kepada muridnya. Mendengar
kasus tersebut, sebagian orang ada yang berkata, ”Padahal guru agama, tapi
kenapa akhlaknya tidak mencerminkan ajaran di dalam agamanya sendiri?”
Makna Peristiwa
Sama
seperti sebelumnya. Tak ada yang salah dari komentar tersebut. Akan tetapi, tak
ada gunanya berkomentar, jika tujuannya bukan untuk kebaikan. Persoalannya
adalah, makna apa yang dapat kita petik dari peristiwa tersebut?
Pertama, sejatinya, tak ada orang yang bisa mempraktekkan ilmunya tanpa adanya
pertolongan Allah. Alhasil, jika kita melihat ada orang lain belum bisa
mempraktekkan ilmu agama yang dimilikinya, maka jangan sampai kita mencela atau
meremehkannya. Sebaliknya, do’akanlah ia agar dapat memperoleh pertolongan
Allah, sehingga ia bisa mempraktekkan ilmu yang dimiliknya itu.
Kedua, di dalam menuntut ilmu, jangan sampai kita seperti orang yang mengejar
layang-layang putus, tapi tak berhasil memperoleh layang-layangnya. Sudahlah
kita lelah mengejar, namun ketika kita tarik benangnya, kita justru hanya
mendapatkan benangnya saja. Sedangkan layang-layangnya sendiri sudah rusak dan
tak bisa diambil. Maksudnya, jangan sampai kita hanya rajin menumpuk ilmu, tapi
tidak mau belajar mempraktekkannya. Sebab, akibatnya adalah, kita tetap saja
tidak memperoleh sesuatu yang berarti.
Orang yang bijak justru berkata, lebih baik engkau memiliki sedikit ilmu,
namun engkau praktekkan dengan sungguh-sungguh, sehingga ilmu yang engkau
miliki itu benar-benar berarti. Misalnya, kita hanya tahu tentang ilmu menanam
pohon semangka. Namun, kita menanam berbagai macam pohon. Maka hasilnya akan
berbeda jika kita hanya menanam pohon semangka dan kemudian menekuninya dengan
sungguh-sungguh. Sebab, kita memiliki ilmunya.
Jangan Menghakimi
Ketiga, jangan cepat-cepat menghakimi perjalanan hidup seseorang. Sebab, setiap
perjalanan hidup manusia itu merupakan takdir Tuhan yang harus ia lalui. Dalam
hal ini, sebetulnya, Allah sudah memberikan i’tibar kepada kita, agar
tidak menjadi hamba yang senang menghakimi perjalanan hidup orang lain. Cobalah
kita perhatikan, bagaimana perjalanan hidup para Nabi dan Rasul yang diutus
oleh Allah di muka bumi ini.
Nabi Adam asw, misalnya, beliau menjadi hamba yang melakukan perbuatan
dosa dan mengakibatkan beliau diusir dari surga. Hal itu merupakan i’tibar
bagi kita, sehingga kita tidak meremehkan orang yang berbuat dosa. Sebab, siapa
tahu Allah menggerakkan hatinya untuk bertaubat dan kita tidak tahu akan hal
itu. Sementara kita masih meremehkan orang, boleh jadi ia sudah mendapatkan
ampunan Allah, sehingga kita sendirilah yang justru memanen dosa.
Begitu pula dengan Nabi Luth asw. Istri beliau tidak mau mengikuti ajaran
yang beliau sampaikan. Hingga akhirnya, istri bersama umat beliau yang ingkar
mendapat kutukan dari Allah. Hal ini merupakan i’tibar, jika kita
melihat istri seorang ulama, misalnya, melakukan perbuatan yang melanggar hukum
agama, maka kita tidak harus meremehkannya, baik terhadap sang ulama, maupun
terhadap istri dan keluarganya.
Masih banyak contoh lainnya. Misalnya, ada Nabi Allah yang terbunuh. Hal
itu untuk menjadi i’tibar bagi kita agar bisa memaklumi ketika keluarga
atau tetangga kita mati terbunuh. Sampai dengan melalui Nabi Muhammad SAW pun,
Allah juga memberikan i’tibar kepada manusia. Rasulullah SAW itu
merupakan kekasihNya. Namun, toh masih ada dari kalangan keluarga
beliau yang tetap ingkar kepada ajaran yang beliau sampaikan. Meskipun kekasih
Allah, namun beliau toh juga pernah diludahi orang, dilempari batu dan
dihina orang-orang yang tidak mau mendengarkan ajaran Islam. Hal itu menjadi i’tibar
bagi kita, bahwasanya, kita tidak sepatutnya meremehkan orang lain yang
mengalami nasib seperti itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar