Rabu, 07 Maret 2012

| Punya Ilmu, Belum Tentu Bisa Praktek |

    Suatu ketika, seorang ustadz menolak permintaan warga untuk mengisi sebuah pengajian di kampungnya. Menurutnya, ia tak layak menyuruh orang berbuat baik, jika keluarganya sendiri belum betul-betul melakukan perbuatan baik dan mengikuti syari’at Allah secara benar. Sebagian orang yang mengetahui keadaan keluarga sang ustadz kemudian manggut-manggut seraya berkata, ”Pantas saja sang ustadz tidak mau memberi ceramah. Sebab, keluarganya sendiri susah ia ceramahi.”
   Sekilas, tak ada yang keliru dari komentar tersebut. Juga, tak ada yang keliru dari keputusan sang ustadz ketika menolak untuk memberi ceramah di depan masyarakat. Akan tetapi, makna apa yang kita petik dari kejadian tersebut?
   Dalam cerita yang berbeda, ada seorang guru agama yang tampaknya memahami ajaran agamanya dengan baik. Ia kerapkali menyampaikan ajaran tentang akhlak kepada murid-muridnya. Namun, ternyata sang guru juga melanggar ajaran tentang akhlak yang ia berikan kepada muridnya. Mendengar kasus tersebut, sebagian orang ada yang berkata, ”Padahal guru agama, tapi kenapa akhlaknya tidak mencerminkan ajaran di dalam agamanya sendiri?”

Makna Peristiwa
Sama seperti sebelumnya. Tak ada yang salah dari komentar tersebut. Akan tetapi, tak ada gunanya berkomentar, jika tujuannya bukan untuk kebaikan. Persoalannya adalah, makna apa yang dapat kita petik dari peristiwa tersebut? 
Pertama, sejatinya, tak ada orang yang bisa mempraktekkan ilmunya tanpa adanya pertolongan Allah. Alhasil, jika kita melihat ada orang lain belum bisa mempraktekkan ilmu agama yang dimilikinya, maka jangan sampai kita mencela atau meremehkannya. Sebaliknya, do’akanlah ia agar dapat memperoleh pertolongan Allah, sehingga ia bisa mempraktekkan ilmu yang dimiliknya itu.
          Kedua, di dalam menuntut ilmu, jangan sampai kita seperti orang yang mengejar layang-layang putus, tapi tak berhasil memperoleh layang-layangnya. Sudahlah kita lelah mengejar, namun ketika kita tarik benangnya, kita justru hanya mendapatkan benangnya saja. Sedangkan layang-layangnya sendiri sudah rusak dan tak bisa diambil. Maksudnya, jangan sampai kita hanya rajin menumpuk ilmu, tapi tidak mau belajar mempraktekkannya. Sebab, akibatnya adalah, kita tetap saja tidak memperoleh sesuatu yang berarti.
Orang yang bijak justru berkata, lebih baik engkau memiliki sedikit ilmu, namun engkau praktekkan dengan sungguh-sungguh, sehingga ilmu yang engkau miliki itu benar-benar berarti. Misalnya, kita hanya tahu tentang ilmu menanam pohon semangka. Namun, kita menanam berbagai macam pohon. Maka hasilnya akan berbeda jika kita hanya menanam pohon semangka dan kemudian menekuninya dengan sungguh-sungguh. Sebab, kita memiliki ilmunya.

Jangan Menghakimi
Ketiga, jangan cepat-cepat menghakimi perjalanan hidup seseorang. Sebab, setiap perjalanan hidup manusia itu merupakan takdir Tuhan yang harus ia lalui. Dalam hal ini, sebetulnya, Allah sudah memberikan i’tibar kepada kita, agar tidak menjadi hamba yang senang menghakimi perjalanan hidup orang lain. Cobalah kita perhatikan, bagaimana perjalanan hidup para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah di muka bumi ini.
Nabi Adam asw, misalnya, beliau menjadi hamba yang melakukan perbuatan dosa dan mengakibatkan beliau diusir dari surga. Hal itu merupakan i’tibar bagi kita, sehingga kita tidak meremehkan orang yang berbuat dosa. Sebab, siapa tahu Allah menggerakkan hatinya untuk bertaubat dan kita tidak tahu akan hal itu. Sementara kita masih meremehkan orang, boleh jadi ia sudah mendapatkan ampunan Allah, sehingga kita sendirilah yang justru memanen dosa.
Begitu pula dengan Nabi Luth asw. Istri beliau tidak mau mengikuti ajaran yang beliau sampaikan. Hingga akhirnya, istri bersama umat beliau yang ingkar mendapat kutukan dari Allah. Hal ini merupakan i’tibar, jika kita melihat istri seorang ulama, misalnya, melakukan perbuatan yang melanggar hukum agama, maka kita tidak harus meremehkannya, baik terhadap sang ulama, maupun terhadap istri dan keluarganya.
Masih banyak contoh lainnya. Misalnya, ada Nabi Allah yang terbunuh. Hal itu untuk menjadi i’tibar bagi kita agar bisa memaklumi ketika keluarga atau tetangga kita mati terbunuh. Sampai dengan melalui Nabi Muhammad SAW pun, Allah juga memberikan i’tibar kepada manusia. Rasulullah SAW itu merupakan kekasihNya. Namun, toh masih ada dari kalangan keluarga beliau yang tetap ingkar kepada ajaran yang beliau sampaikan. Meskipun kekasih Allah, namun beliau toh juga pernah diludahi orang, dilempari batu dan dihina orang-orang yang tidak mau mendengarkan ajaran Islam. Hal itu menjadi i’tibar bagi kita, bahwasanya, kita tidak sepatutnya meremehkan orang lain yang mengalami nasib seperti itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar